Pov Bumi“Maaf, tidak bisa. Mira bukan muhrim kamu, sebagai suami, saya harus menjaga kehormatannya.”Perih. Hatiku bagaikan ditusuk belati. Tak menyangka hari paling meyedihkan ini terjadi. Kekasih yang dicinta malah jadi milik orang lain. Aku memang pria lemah. Tidak bisa memperjuangkan apa yang menjadi keinginanku.“Baiklah. Selamat untuk kalian. Semoga kalian bisa bahagia, walaupun menjalani pernikahan tanpa cinta,” ucapku dengan senyum miring.Mira hanya membisu. Begitu pula dengan suaminya. Mungkin mereka sadar atas uacapanku. Semuanya sudah menjadi bubur. Pernikahan di anatra Mira dan Hfidz sudah terlaksana. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Namun, niat buruk ingin memisahkan mereka tetap ada.“Bumi, lu harus sabar, yah,” ujar Tiara menghampiriku di luar.“Kenapa kamu tidak jujur soal semua ini, Ra? Kamu pasti tahu banyak tentang semua ini. Apa alasan Mira menikah dengan mantan kakak iparnya?”“Sudahlah, lu fokus aja sama masa depan lu. Gak usah kepo soal hidup Mira lagi
“Mau ke mana pun saya, bukan urusan Anda. Kalau Anda mau tetap kerja sama sama perusahaan ini, tunggu besok, kalau tidak, terserah.”“Stres lu. Gua tahu lu CEO di sini, tapi gak bisa seenaknya gini dong.”“Ini hidup saya, jadi terserah saya.”“Wah, parah, gara-gara ditinggal nikah sama Mira, lu jadi kurang sekilo kaya gini.”Aku diam, mendekati Tiara. Menatapnya dengan tajam. Tubuh perempuan itu mepet di mobil. Dia menujukan ekspresi ketakutan. Raut mukanya tegang. Sementara aku, terus membulatkan bola mata, dengan pancaran amarah.“Jangan pernah sebut nama perempuan itu lagi, paham?” tanyaku dengan intonasi tinggi.“I-iya, Bumi. Le-lepasin tangan gua.”“Arggh!” teriak perempuan itu kesakitan saat aku mencengkram tangannya sekuat tenaga. Saat dilepaskan, Pergelangan tangannya memerah.“Dasar stres!” umpat perempuan itu saat mobilku melaju.Aku tak tahu siapa diriku saat ini. Merasa menyesal atas perbuatanku, tetapi aku tidak tahu cara mengontrol emosi. Di hati hanya ada amarah, benci,
“Tenang yah, Mas. Saat ini yang paling penting, Mas harus sehat dulu. Jangan banyak pikiran.”“Tapi aku mau kamu di sampingku, Mir.” Mira mengangguk samar. Dia memanggil suster untuk membenarkan selang infusku. Mamah dan Tiara menyaksikan aku bersama Mira dari pintu. Aku tak peduli kehadiran mereka. Hanya kedatangan Mira yang membuatku bahagia. Suasana di ruang rawat ini menjadi hangat. Layaknya suasana musim semi yang dipenuhi kelopak bungan yang berguguran.“Kamu belum makan, Mas?” Aku mengangguk.“Ya sudah, kita makan dulu, yah.”“Suapin?”“Iya aku suapin. Asal Mas Bumi janji makan yang banyak terus minum obat.”“Siap.” Aku mengacungkan satu jempol.Mira menyuapiku bubur. Rasa makanan ini terasa sangat lezat saat dia yang menyuapi. Kecelakaan malah membawa berkah untukku. Bak mimpi, aku bisa bersama Mira lagi.“Kamu tidur Mas.”“Jangan pergi.” Saat menjelang malam, mata mulai ngantuk. Aku pegang erat tangan Mira. Tak mau dia pergi sedetik pun dariku. Cinta ini begitu dalam. Sampa
Pov Naya“Kamu kenapa diam saja, Mir?”“Gak papa, Mas.”“Apa masih berat meninggalkan Bumi?”“Kamu ngomong apa sih, Mas?” tanyaku sedikit marah.Marah pada diri sendiri. Ditambah rasa malu, karena Mas Hfidz bisa menelaah hatiku.Jiwa rasanya bergoyang. Mungkin ini termasuk cobaan dalam pernikahanku yang kedua. Suami baik, ekonomi lancar, tapi hati imbang. Antara belajar mencintai, tapi masih tertaut di masa lalu.“Mas paham, pernikahan ini rumit. Satu hal yang harus kamu tahu, Mas mantap menikahimu bukan hanya semata-mata karena wasiat, tapi memang niat Mas untuk beribadah, Mir.”Aku tersenyum manis pada suamiku. Memegang tangan. Selama satu bulan pernikahan, Mas Hfidz memang memperlakukanku layaknya seorang istri. Dia memberikan nafkah lahir maupun batin. Meskipun tidak bisa dipungkiri, hati kami mungkin masih terikat dengan pasangan masing-masing.“Bimbing aku jadi istri yang salehah, Mas.”“Bismillah, kita sama-sama belajar lebih baik. Mas tahu, seseorang di masa lalu kita memang ti
"Aku butuh waktu sendiri, Mas.""Dengarkan dulu penjelasan Mas, Mir.""Jangan halangi aku, Mas."Aku pergi begitu saja. Butuh waktu sendiri. Cukup kaget dengan sikap Mas Hafidz. Aku memang belum sepenuhnya mencintai dia. Namun, seharusnya dia tidak seenaknya. "Assalamu'alaikum, Ra, tunggu aku.""Waalaikumsalam, maksudnya apa?""Malam ini juga aku sampai di rumah kamu.""Hah, serius?""Iya.""Ada apaan, tumben banget lu kaya gini.""Nanti aku cerita."Entah setan apa yang merasuki, aku hanya ingin menjauh. Tak mau pulang ke rumah Mamah dan Bapak, takut mereka cemas dengan pernikahan ini. Lebih baik sejenak menenangkan diri di Jakarta.Selama perjalanan menggunakan bus, aku banyak merenung. Menyadari kesalahanku, belum sempurna menjadi istri. Sesekali Mas Bumi masih menganggu. Sehingga, kadang kami bertukar pesan. Namun, aku berani bersumpah, tidak ada niat mengakhiri pernikahan ini. Aku malu, jika harus gagal lagi. "Ah, masa Mas Hafidz tiba-tiba mau cerai sama lu? gua gak percaya di
"Bohong," ujarku ingin memastikan ucapan Mas Hafidz. "Kadang, kita tidak tahu kapan perasaan itu bisa datang. Yang pasti, Mas selalu mengamati kamu saat bersama Nayla, itu yang membuat rasa sayang ini jadi subur."“Hmmmm, entahlah, Mas. Bingung,” jawabku asal. Diriku sendiri tak tahu perasaan ini. "Mir, perasaan memang tak terlihat. Hanya bisa dirasakan hadirnya. Mari kita perbaiki rumah tangga kita.""Mas mau bercerai dariku bukan?""Itu dulu, Mir. Saat aku pikir kamu sangat mencintai Bumi. Namun, Mas mengubah pola pikir itu. Saat kita sudah menikah, maka apapun rintangannya harus dilewati. Mas tidak mau kandas begitu saja. Maka, Mas akan memperjuangkanmu, sampai kita benar-benar saling mencintai .""Hmmm. Aku juga tidak mau pernikahan ini hancur begitu saja, Mas. Malu. Ditambah lagi, aku tidak mau menyakiti Nayla.""Maka dari itu perbaiki semuanya. Kita pasti bisa."Aku mengangguk. Rumah tangga bukan arena permainan. Bisa bersatu seenak hati, lalu pisah begitu saja. Ada janji suci
POV Adam "Lepaskan!" "Penjarakan dia, Pak."Dewa berhasil aku giring ke dalam sel tahanan. Dasar pria brengsek. Bisa-bisanya dia melecehkan adikku. Kondisi ibu dan Ela sudah aman di rumah. Kerusuhan tadi, sungguh membuatku syok. Beruntung, aku bisa bergegas pulang. Segera menelpon polisi. "Pak, saya mau anak itu dipenjara. Dia sudah melecehkan adik saya, dan tidak mau bertanggung jawab.""Tenang, Pak. Laporan bapak akan kami proses. Kita tunggu dulu orang tua dari pihak saudara Dewa.""Baik, Pak. Saya akan menunggu."Aku sengaja tetap di sini, mau menemui orang tua Dewa yang terkenal sebagai bupati kota ini. Manusia macam apa orang tua Dewa, kenapa bisa melahirkan anak tidak bermoral seperti pria itu. Sebenarnya, ini juga salah Ela. Anak itu mau-maunya bertindak bodoh. Aku juga tak habis pikir kenapa ibu mengundang banyak warga sampai mengeroyok Dewa. Awalnya, aku sudah mengusulkan untuk kembali ke rumah Dewa. Beberapa hari lalu, kami sudah ke rumah orang tuanya, tetapi tidak dipe
"Lakukan yang terbaik untuk adik saya, Dok.""Tidak ... Ela tidak boleh keguguran," ujar ibu menangis. "Tenanglah, Bu. Demi kebaikan Ela."Dokter menyuruhku melakukan administrasi. Aku tarik Dewa, menyuruh dia membayar semuanya. Anak itu tidak banyak bicara, hanya mengeluarkan kartu ATM. Setelah pembayaran selesai, kami menunggu proses pembersihan janin yang gugur. "Apa yang kamu lakukan sama anak saya, hah?" tanya ibu mendekati Dewa. Amarah bagai kobaran api yang siap membakar. Sebagai seorang ibu, pasti sangat sedih dengan kondisi anaknya. Perih, melebihi belati yang menyayat kulit sendiri."Jawab, jangan diam saja!" sentak ibu emosi."Hei, jawab. Apa yang kamu lakukan pada adikku, hah?""Maaf, Bu, Mas, saya tidak melakukan apapun. Tadi, kami ke rumah orang tua saya untuk membicarakan soal pernikahan, saat jalan pulang, tiba-tiba perut Ela sakit dan mengeluarkan darah.""Halah, ini hanya akal-akalan kalian saja. Pasti kamu sekongkol dengan orang tuamu, untuk memberikan obat yang b