"Maaf, Tante, kami saling mencintai. Apa janda seperti saya sangat buruk di mata Tante?""Maaf, Nak Mira. Bukan begitu maksud Tante. Hanya saja, Bumi anak satu-satunya, dia juga pewaris tunggal. Tante ingin menantu yang terbaik untuknya. Sementara kamu, sudah pernah dimiliki orang lain. Bukan perawan lagi. Kasihan anak Tante."Pembawaan ibunya Bumi memang ramah. Namun, perkataannya sangat nyelekit. Bagai anak panah yang menancap dan merobek hati. "Baik, Tante. Saya akan membicarakannya sama Mas Bumi.""Tolong jangan bilang Tante ke sini. Dia bisa marah. Nanti kamu akan merasakan, dilema menjadi orang tua seperti Tante. Jadi, tolong permudah kemauan Tante, yah."Aku tersenyum kecut. Menahan kesal. Ingin melawan, tetapi tak mau menambah masalah. Apa mungkin ini jawaban atas kebingunganku terkait jodoh? apa aku harus mengabulkan wasiat Mbak Rina?"Tante pulang dulu, yah. Terima kasih sudah mau bekerja sama. Ini cek, kamu mau minta berapa pun, pasti Tante berikan. Tulis saja."Aku ambil
"Soal itu, bapak serahkan sama kamu, Fidz. Bicarakan dulu sama orang tua kamu. Kalau sudah yakin dan setuju, datanglah ke sini untuk melamar.""Baik, Pak."Percakapan mereka selesai. Mas Hafidz mau masuk ke ruang keluarga tempatku mengintip. Aku segera pergi ke kamar. Baru mau memejamkan mata, ponsel berdering. Tiara menelponku. Aku geser tombol hijau. "Akhirnya diangkat.""Kenapa, Ra?""Aduh, lu malah nanya kenapa. Lu tuh, yang kenapa? cerita, Mir. Kenapa putus. Kesian Bumi.""Orang tua Bumi tidak merestui, Ra.""Ya elah, masih bisa negosiasi kalau gitu. Lu ko, jadi lembek sih.""Aku sudah punya pria pilihanku, Ra.""Hah? ma-maksudnya.""Kamu bisa bantuin aku gak?""Bantuin apa?""Tolong bantu Bumi biar pergi jauh dari aku. Jangan sampai dia ke sini.""Emang kenapa sih, sumpah kepala gua pusing. Lu aneh banget. Demi Alex."Aku ceritakan semuanya. Tentang wasiat, perasaanku, keputusan dan pilihan yang sudah dipilih. Tiara mendengarkan dengan serius. Berkali-kali dia menyayangkan pil
"Apa kamu yakin, Mir?" tanya Mas Hafidz untuk sekian kalinya. Kami duduk berdua di ruang tamu. Sementara Om dan Ibu Mas Hafidz sudah pulang. Bapak dan Mamah di kamar. "Insyallah Mas Demi Nayla."Mas Hafidz hanya menampakan senyuman. Lalu, dia pamit pulang ke rumahnya. Sementara Nayla, tidur di kamarku. "Anak cantik," ujarku mengelus kepala Nayla yang sedang terlelap. Aku melihat wajahnya, seolah-olah sedang melihat Kak Rina. "Kak, Mira bakal jaga Nayla terus. Kakak jangan khawatir, yah."Air mata menetes. Meskipun Mbak Rina sudah pergi berbulan-bulan, kesedihan tetap tidak bisa menghilang. Sosok Mbak Rina selalu melekat diingatan. Sejak kecil, kami selalu melakukan apapun bersama. Layaknya anak kembar. Saat dipisahkan seperti ini, tentu sakitnya luar biasa. [Mir, Si Bumi mau ke tempat lu. Gimana dong.]Mataku melotot membaca pesan dari Bumi. Setelah hampir tiga bulan, Bumi tidak menghampiriku, kenapa dia mendadak mau ke sini?[Satu bulan lagi aku mau menikah dengan Mas Hafidz. Tol
Pov Bumi“Maaf, tidak bisa. Mira bukan muhrim kamu, sebagai suami, saya harus menjaga kehormatannya.”Perih. Hatiku bagaikan ditusuk belati. Tak menyangka hari paling meyedihkan ini terjadi. Kekasih yang dicinta malah jadi milik orang lain. Aku memang pria lemah. Tidak bisa memperjuangkan apa yang menjadi keinginanku.“Baiklah. Selamat untuk kalian. Semoga kalian bisa bahagia, walaupun menjalani pernikahan tanpa cinta,” ucapku dengan senyum miring.Mira hanya membisu. Begitu pula dengan suaminya. Mungkin mereka sadar atas uacapanku. Semuanya sudah menjadi bubur. Pernikahan di anatra Mira dan Hfidz sudah terlaksana. Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Namun, niat buruk ingin memisahkan mereka tetap ada.“Bumi, lu harus sabar, yah,” ujar Tiara menghampiriku di luar.“Kenapa kamu tidak jujur soal semua ini, Ra? Kamu pasti tahu banyak tentang semua ini. Apa alasan Mira menikah dengan mantan kakak iparnya?”“Sudahlah, lu fokus aja sama masa depan lu. Gak usah kepo soal hidup Mira lagi
“Mau ke mana pun saya, bukan urusan Anda. Kalau Anda mau tetap kerja sama sama perusahaan ini, tunggu besok, kalau tidak, terserah.”“Stres lu. Gua tahu lu CEO di sini, tapi gak bisa seenaknya gini dong.”“Ini hidup saya, jadi terserah saya.”“Wah, parah, gara-gara ditinggal nikah sama Mira, lu jadi kurang sekilo kaya gini.”Aku diam, mendekati Tiara. Menatapnya dengan tajam. Tubuh perempuan itu mepet di mobil. Dia menujukan ekspresi ketakutan. Raut mukanya tegang. Sementara aku, terus membulatkan bola mata, dengan pancaran amarah.“Jangan pernah sebut nama perempuan itu lagi, paham?” tanyaku dengan intonasi tinggi.“I-iya, Bumi. Le-lepasin tangan gua.”“Arggh!” teriak perempuan itu kesakitan saat aku mencengkram tangannya sekuat tenaga. Saat dilepaskan, Pergelangan tangannya memerah.“Dasar stres!” umpat perempuan itu saat mobilku melaju.Aku tak tahu siapa diriku saat ini. Merasa menyesal atas perbuatanku, tetapi aku tidak tahu cara mengontrol emosi. Di hati hanya ada amarah, benci,
“Tenang yah, Mas. Saat ini yang paling penting, Mas harus sehat dulu. Jangan banyak pikiran.”“Tapi aku mau kamu di sampingku, Mir.” Mira mengangguk samar. Dia memanggil suster untuk membenarkan selang infusku. Mamah dan Tiara menyaksikan aku bersama Mira dari pintu. Aku tak peduli kehadiran mereka. Hanya kedatangan Mira yang membuatku bahagia. Suasana di ruang rawat ini menjadi hangat. Layaknya suasana musim semi yang dipenuhi kelopak bungan yang berguguran.“Kamu belum makan, Mas?” Aku mengangguk.“Ya sudah, kita makan dulu, yah.”“Suapin?”“Iya aku suapin. Asal Mas Bumi janji makan yang banyak terus minum obat.”“Siap.” Aku mengacungkan satu jempol.Mira menyuapiku bubur. Rasa makanan ini terasa sangat lezat saat dia yang menyuapi. Kecelakaan malah membawa berkah untukku. Bak mimpi, aku bisa bersama Mira lagi.“Kamu tidur Mas.”“Jangan pergi.” Saat menjelang malam, mata mulai ngantuk. Aku pegang erat tangan Mira. Tak mau dia pergi sedetik pun dariku. Cinta ini begitu dalam. Sampa
Pov Naya“Kamu kenapa diam saja, Mir?”“Gak papa, Mas.”“Apa masih berat meninggalkan Bumi?”“Kamu ngomong apa sih, Mas?” tanyaku sedikit marah.Marah pada diri sendiri. Ditambah rasa malu, karena Mas Hfidz bisa menelaah hatiku.Jiwa rasanya bergoyang. Mungkin ini termasuk cobaan dalam pernikahanku yang kedua. Suami baik, ekonomi lancar, tapi hati imbang. Antara belajar mencintai, tapi masih tertaut di masa lalu.“Mas paham, pernikahan ini rumit. Satu hal yang harus kamu tahu, Mas mantap menikahimu bukan hanya semata-mata karena wasiat, tapi memang niat Mas untuk beribadah, Mir.”Aku tersenyum manis pada suamiku. Memegang tangan. Selama satu bulan pernikahan, Mas Hfidz memang memperlakukanku layaknya seorang istri. Dia memberikan nafkah lahir maupun batin. Meskipun tidak bisa dipungkiri, hati kami mungkin masih terikat dengan pasangan masing-masing.“Bimbing aku jadi istri yang salehah, Mas.”“Bismillah, kita sama-sama belajar lebih baik. Mas tahu, seseorang di masa lalu kita memang ti
"Aku butuh waktu sendiri, Mas.""Dengarkan dulu penjelasan Mas, Mir.""Jangan halangi aku, Mas."Aku pergi begitu saja. Butuh waktu sendiri. Cukup kaget dengan sikap Mas Hafidz. Aku memang belum sepenuhnya mencintai dia. Namun, seharusnya dia tidak seenaknya. "Assalamu'alaikum, Ra, tunggu aku.""Waalaikumsalam, maksudnya apa?""Malam ini juga aku sampai di rumah kamu.""Hah, serius?""Iya.""Ada apaan, tumben banget lu kaya gini.""Nanti aku cerita."Entah setan apa yang merasuki, aku hanya ingin menjauh. Tak mau pulang ke rumah Mamah dan Bapak, takut mereka cemas dengan pernikahan ini. Lebih baik sejenak menenangkan diri di Jakarta.Selama perjalanan menggunakan bus, aku banyak merenung. Menyadari kesalahanku, belum sempurna menjadi istri. Sesekali Mas Bumi masih menganggu. Sehingga, kadang kami bertukar pesan. Namun, aku berani bersumpah, tidak ada niat mengakhiri pernikahan ini. Aku malu, jika harus gagal lagi. "Ah, masa Mas Hafidz tiba-tiba mau cerai sama lu? gua gak percaya di