Wanita itu semakin dekat. Berjalan dengan handuk membelit tubuhnya. Tatapan kami seolah bertemu. Aku mundur, hingga menyentuh kayu belakang.
Jika aku ketahuan, maka akan kuseret mereka keluar rumah ini! Bagaimanapun aku lebih punya hak disini!Kleek... pintu lemari dibuka, hanya setengah. Tertahan karena panggilan lelaki dibelakangnya."Kau sedang apa sayang?" Lelaki diranjang itu bangun memakai celana boxernya, lalu turun dari ranjang."Mau melihat baju-baju dilemari. Aku selalu memperhatikan penampilang Lia. Dia nampak sangat berkelas"Wanita itu membuka lemari lebih lebar. Jantungku serasa berhenti berdetak. Mataku tepat di depan gantungan baju. Jika dia mengambil baju tepat didepanku, aku pasti ketahuan.Blak... Dengan cepat lelaki itu menutup pintu lemari. Kini mereka kembali bercumbu di depanku. Menjijikan!"Jangan menyentuh apapun, aku bisa kena masalah, jika Lia tau barangnya dPak Sur kembali. Membawa empat satpam lama. Dari mereka yang datang, hanya satu yang masih gagah, mas Arif. Yang lain seumuran pas Sur, tak lagi punya kekuatan untuk melawan jika terjadi sesuatu. Mas Erlan memang tak memberhentikan mereka. Sebab mereka kawan mas Erlan dulu selama jadi kuli di proyek. Meski menyebalkan dan mudah terhasut ibunya, dia masih punga sedikit sisi baik."Hanya ini?"" Iya bu, yang lain sudah diberhentikan. "Aku ambil kertas dan bolpoin dalam laci dan memaruhnya diatas meja. "Mas Arif, kemari. Tolong tulis siapa saja kawan kalian yang dikeluarkan. Tulis bersama alasan mereka dipecat" Arif satpam yang terbilang paling muda berjalan mendekat. Aku memintanya mencatat semua nama rekannya. Dia berjalan mengambil Kertas dan bolpoin di meja.Jeni datang dengan setumpuk berkas berwarna merah dan kuning. Di belakangnya berdiri seorang wanita yang baru kulihat beberapa saat lalu. Sarah."Silahkan duduk disana dulu bapak-bapak, saya ada tamu lagi."Lima satpam itu ber
Aku duduk dalam ruangan, melihat kantor tempatku duduk tak lagi aku kenal. Semuanya di ganti begitu saja!" Katakan, haruskah aku memecatmu juga?" Aku bertanya pada Andi. Setelah semau urusanku selesai, kini hanya tinggal aku dan dirinya diruanganku."Jangan pecat saya bu, saya mohon""Setelah apa yang kamu lakukan pada perusahaanku, kau bilang aku jangan memecatmu?""Maafkan saya bu, saya janji akan memperbaiki diri"Aku ingin sekali tertawa mendengarnya. "Baiklah, apa yang akan kamu perbaiki?" Aku menatapnya tajam. "Kamu, memecat orang - orang kompeten di perusahaan ini, dan menggantinya dengan puluhan orang tolol! Apa hakmu membuat semua keputusan itu?""Semua atas izin bu Lia bu."Aku membelalak tak percaya. Lia memberikan izin Pada? Kurang ajar sekali wanita satu itu.Aku bersandar pada kursi dan menatap lelaki yang menyebut dirinya direktur itu. Dia be
Pesan dari Andi membuat hatiku memanas. Bagaimana bisa dia membuat keputusan tanpa bertanya dahulu! Sementara aku belum menemukan setempel atas nama mas Erlan. Bagaimana bisa aku mengambil alih seluruh asetnya dirumahku. Jika tak ada setempelnya sebagai pemilik yang sah.Dua minggu. Andi bilang dua minggu adalah waktu yang dia berikan pada mbak Wita untuk mengadakan rapat pemegang saham. Bagaimana akan aku menangkan hati mereka semua? Sementata tak satupun kukenal meteka secara pribadi. Terlebih istri mereka semua pasti ada dipihak mbak Wita![Harusnya kau tak membuat keputusan sendiri Sayang, aku bisa mati berdiri disini. Mbak Wita atau ibu bisa saja menyiksaku nanti]Kukirim pesanku pada Andi, kami menjalin hubungan cukup lama. Namun belakangan ini dia begitu sulit dihubungi. Terlebih ketika aku diBali. Dia bilang sedang ada urusan di Malaysia, sehingga tak bisa dihubungi lagi.[Kau mau aku dipecat si Wita itu? Bisa-bisa kita gagal menjadi pewaris kekayaan Erlansyah. Kau singkirkan
Aku pulang kerumah ibu. Lagi-lagi aku harus mengawasi dua perempuan licik itu. Lia tak terlihat saat aku datang. Sementara ibu terlihat bahagianya menyiram tanamanya yang begitu subur."Sedang apa bu?" Aku duduk diteras rumah. Meletakkan tasku dimeja dan memyandarkan punggung ini pada kursi.Ibu mematikan kran air dan. Duduk di depanku. " menyiram tanaman, lama sekali ibu tak bisa menikmati sore yang damai. Kamu dari mana?""Dari kantor mas Erlan.""Apa ada masalah?" Ibu bertanya.Aku menggelengkan kepala cepat. Saat ini aku tak percaya pada ibu, mana mungkin aku membagikan masalahku padanya. "Tak ada masalah apa-apa bu, hanya melihat kadaan."Dia hanya menganggukkan kepala pelan. " Mau ibu bawakan teh hangat atau es?" Tawarnya.Aku tertegun, beberapa tahun jadi menantunya, sepertinya baru kali ini ibu menawariku minum dan menganggapku sebagai menantunya. " Tumben sekali ibu perduli padaku?"Dia terdiam sebentar, kudengan hembusan nafas halus dan dalam. "Ibu merasa bersalah Wita. Ibu
Kurang ajar si Wita. Rusak Ponselku sekarang! Aarkk!"Aku jatuhkan badan di kamar pembantu. Menyebalkan sekali, satu-satunya kamar yang tersisa hanya kamar ini. Tadinya mereka mau aku di kamar mas Erlan saja. Namun siapa yang betah ada disana semalaman?Bagaimana bisa aku menghubungi Andi sekarang?Aku tak bisa keluar dari sini dengan mudah. Pengawal Wita saja sudah seperti tugu kecamatan. Tak bergerak di pagar depan! Lagi pula, stempel sialan itu belum juga aku temukan. Dimana sih lelaki lumpuh itu menyembunyikannya?Brak!Aku terduduk, nenek sihir itu sudah ada didepan pintu. Untungnya aku pinya jantung cadangan. Jika tidak bisa mati berdiri aku. Semua orang dirumah ini tak pernah benar saat membuka pintu!"Kenapa bu? Gak pernah lihat wanita cantik?" Tak salahkan aku tanya begitu. Ibu saja memandangku tanpa berkedip."Cantik dari Hongkong!" Ucapnya sembari berkacak pinggangDih, jawaban apa itu? Lupa dia pernah memujiku sampai lupa daratan. Dasar nenek pikun!"Aku kesini bukan mau b
Kutinggalkan Wanita tak tau diri itu diruang tengah. Aku biarkan dia terkejut dan berfikir dengan ketakutannya sendiri. Memikirkan aku yang memiliki stempel itu, pasti membuatnya tak bisa tidur nyenyak malam ini.Aku berjalan kedalam kamar, merebahkan sebentar tubuh ini di atas ranjang. Hari ini aku berfikir sangat keras. Terlebih aku masih belum tau juga dimana stempel itu berada. Ingin rasa memejamkan mata sejenak, namun tidak, tak sekarang. Aku tak mau lenggah sedikitpun.Aku berdiri, mengganti bajuku dengan yang bersih. Aku bawa tumpukan pakaian kotor itu kedalam plastik besar. Aku akan meminta pak Budi membawanya pulang kerumahku sendiri.Aku keluar kamar. Menyeret kantong plastik berukuran cukup besar dan sebuah tas koper kosong di tangan satunya."Mau kemana Wit?""Mau pergi bu""Pergi dari rumah ini?"Aku menggelengkan kepala. "Pergi kedepan. Supirku akan mengambil baju-baju kotor ini kerumahku."Ibu hanya menganggukkan kepala. Wanita itu sekarang tak terlalu banyak memberika
"Bu, Wita berangkat dulu bu"Aku berpamitan pada ibu yang sedang menyiram tanaman. Ibu tersenyum dan beralan kearahku. "Iya Wit, pergilah. Hati-hati yaa""Iya bu, ibu juga ya. Ingat yang sudah kira bicarakan tadi malam. Ibu harus fokus melihat kemana Lia bergerak dirumah ini.""Iya, tenang saja. Ibu akan awasi.""Jaga mas Erlan, Wita sudah pamit, dia tak akan mecari nanti. Pastikan Lia menganti popoknya dengan benar.""Iya, jangan khawatir yaa Wita"Aku tersenyum dan berjalan masuk kedalam mobil. Melambaikan tangan pada ibu dan mobilku melaju keluar gerbang.Berpura-pura baik pada orang yang sudah menghancurkan hidupmu itu penting. Karena aku tak akan membiarkan dia tenang dengan harta melimpah. Akan aku rampas segalanya, tak tersisa!"Kemantor bu?" Pak Budi bertanya. Membuatku melihat kearahnya."Iya... em, mungkin kebutik sebentar." Ucapku sembari memberi pesan pada Jeni untuk datang kebutik saja hari ini.Aku sandarkan tubuhku di kursi. Kemarin, aku dan ibu pulang larut malam. D
Aku kembali keluar rumah. Lebih tepatnya ke butikku sebentar. Setelah memastikan rekaman itu benar adanya. Aku tinggalkan rumah ibu mertuaku. Sekarang aku yakin, mas Erlan memang sudah bisa menggerakkan tubuh atasnya. Saat aku meletakkan tanganku dibawah telapaknya, dapat kurasakan dia memiliki tenaga. Telapak tangannya merespon telapak tanganku. Jika dia belum sembuh, harusnya hal itu tak bisa dia lakukan.Sampai di depan butik. Jeni menyambutku dan membuka buku agendanya hari ini. Gadis ini, tak pernah membiarkan aku istirahat barang sebentar!"Hari ini ibu ada agenda melihat hasil rancangan untuk fashion show nanti.""Apa sudah selesai?""Sudah, semua sudah selesai. Beberapa model akan datang juga untuk berlatih besok siang."Aku menganggukkan kepala. Bagaimanapun sibuknya aku, dengan urusan perusahaan mas Erlan, fashion adalah duniaku. Disinilah namaku besar dan berkembang.Aku masuk kedalam ruangan. Memeriksa beberapa dokumen. Dan teringat sesuatu. "Jen, sudah ada informasi tent