“A—apa maksudmu? Istri pertama Mas Janu?"
Kafe yang sebelumnya terasa dingin, seketika menjadi panas saat Gemintang Larasati mendengar ucapan wanita asing di hadapannya.
Karena membawa kata “utang”, Gemintang pikir sang suami melakukan kesalahan besar terhadap Rosaline yang tadi mencegatnya saat hendak menjemput sang putri dari sekolah. Akan tetapi, dugaan Gemintang salah besar!
“Ya. Mungkin kamu tidak percaya, tetapi inilah yang terjadi. Aku dan Mas Janu adalah suami-istri,” balas Rosaline tenang sembari mengangkat tangan kirinya, menunjukkan sebuah cincin berlian melingkar di jari manisnya.
Mata Gemintang membelalak. “Rosaline, mungkin kamu salah orang. Suamiku hanya seorang pekerja kantoran biasa. Kami hanya orang sederhana. Berbeda dengan kamu yang—”
“Suami kita, bukan orang sembarangan. Dia adalah pemilik sekaligus CEO Ferinco Steel, perusahaan industri baja ringan yang cukup besar di Indonesia,” potong wanita asing di hadapan Gemintang.
“Tidak mungkin!” ujar Gemintang dengan suara rendah.
Sekali lagi, ibu satu anak itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, berusaha menyangkal pernyataan Rosaline.
Ferinco memang nama perusahaan tempat Janu bekerja. Akan tetapi, yang ia tahu Janu hanya pegawai biasa dan baru naik jabatan sebagai manager saat putri mereka lahir.
Namun, Gemintang justru melihat Rosaline mendengkus ke arahnya.
Wanita itu segera mengeluarkan ponselnya detik berikutnya mengetik kata kunci pada sebuah kolom pencarian internet. Rosaline sengaja membuka situs resmi Ferinco Steel. Selanjutnya, dia meminta Gemintang untuk membaca semua informasi tentang Ferinco, termasuk identitas pemiliknya yang tercantum jelas di laman itu dengan seksama.
Dan … Rosaline ternyata tidak berbohong.
Januartha Dananjaya, pria sederhana yang hidup bersamanya bertahun-tahun, ternyata bukan orang biasa.
Mungkin ini konyol, tetapi Gemintang tidak pernah berpikiran macam-macam. Ia bahkan tidak pernah kepikiran untuk mencari nama suaminya dan perusahaannya di internet. Sebab, Gemintang pikir Janu adalah pria biasa saja….
“Sekarang kau masih tidak ingin percaya? Lihat foto itu! Dia Janu, suami kita berdua,” ucap Rosaline penuh penekanan.
“Aku sudah menikah dengan Mas Janu selama lima tahun,” Gemintang berkata lirih, suaminya terdengar bergetar menahan air yang menggenang di pelupuk matanya. “Dan selama ini, rumah tangga kami tidak memiliki masalah apa pun.”
“Apa tidak memiliki masalah bisa jadi jaminan suamimu tak memiliki wanita lain?” tanya Rosaline retoris. “Aku tidak berbohong, Gemintang. Seperti yang kubilang, aku istri pertama Mas Janu. Kami sudah menikah bahkan lebih lama dari pernikahanmu.”
“Berapa? Berapa lama kalian menikah?” tanya Gemintang, menahan sakit.
“Sepuluh tahun.”
Deg!
Pernyataan Rosaline bagaikan bom yang meledak di dalam kepala Gemintang.
Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Ia masih belum mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi? Mengapa Janu menikahinya jika sudah memiliki istri lain? Ini tak masuk akal bagi Gemintang.
Ibu dari Maura itu bahkan sampai menelan ludah dengan susah payah, berusaha meredakan rasa kering di tenggorokannya.
Dia ingin marah dan menangis sekeras-kerasnya. Tapi dia tahu dia harus tetap tenang, setidaknya sampai dia mendapatkan bukti.
“Kalau begitu…” Gemintang berkata dengan suara tercekat, “Buktikan bahwa kamu memang istri sah Mas Janu!”
Tanpa basa-basi, Rosaline membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebuah map berwarna putih susu. Di dalamnya, terdapat lembaran dokumen dan dua buku kecil berwarna hijau dan merah marun.
“Lihat!” Rosaline mendorong map itu ke arah Gemintang. “Ini bukti bahwa aku memang istri sah Mas Janu. Sepuluh tahun yang lalu, kami menikah secara resmi di Bali.”
Gemintang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih map itu. Dengan tangan gemetar, dia mengambil dokumen bertuliskan “Akta Perkawinan”.
Matanya bergerak mengeja dengan seksama setiap kata dan kalimat yang tercetak rapi di sana. Sekali lagi Rosaline tidak berbohong, nama lengkap Janu tertera jelas sebagai suami sah Rosaline.
Tanggal pernikahan mereka tercantum sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 17 Januari 2014. Hari itu, bertepatan dengan ulang tahun Janu.
Oh, Tuhan!
Air mata Gemintang bagai bendungan yang runtuh. Tidak peduli dengan beberapa pegawai restoran yang sedang memperhatikannya, ia sudah tak bisa menahan lagi. Hatinya terasa diremas mendapati kenyataan bahwa pernikahan yang selama ini dibinanya dengan penuh cinta, ternyata didirikan di atas kebohongan.
Janu, suami yang selalu dia percaya dan hormati, ternyata telah memiliki istri lain sebelum menikahinya.
“Kalau kamu sudah menikah lebih dulu dengan Mas Janu …. Apa kamu juga tahu Mas Janu menikahiku sejak lama, Rosaline?" Gemintang bertanya dengan suara serak, air matanya semakin deras.
Sedangkan Rosaline terdiam sejenak. Pandangannya terlempar ke luar ruangan. Dia mengangguk pelan sebelum menjawab, "Aku tahu semuanya dan aku yang menyetujui pernikahan kalian terjadi."
Bibir Gemintang ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Bagaimana mungkin? Tidak ada istri yang rela suaminya menikah lagi, dengan atau tanpa izin.
"Kamu tahu pernikahan kami? Lantas, bagaimana bisa kamu mengijinkan Mas Janu menikahiku? Suamimu mendua dan kamu tidak keberatan?" Gemintang mencecar, menuntut penjelasan.
“Hai, Maura! Aku punya hadiah untukmu!” Alih-alih menjawab, Rosaline tiba-tiba memberi anak Gemintang dua buah coklat dalam bungkusan emas.“Thank you, Aunty.”“Ah, sama-sama, Sayang!” Rosaline mengusap pipi Maura. “Lucunya! Mata, hidung dan bibirnya sangat mirip dengan Mas Janu," puji wanita itu.Namun, Maura malah menjauh.Gemintang sadar anaknya tidak terlalu nyaman dengan orang asing. Jadi, dia menyuruh Maura untuk pergi sesaat ke playground yang tersedia di kafe."Mari kita lanjutkan pembicaraan tadi. Kenapa kamu membiarkan Mas Janu mendua?" ujar Gemintang kembali pada Rosaline.Jika tadi wanita itu menampilkan senyum yang ramah pada sang putri, kali ini Rosaline kembali menatap sinis Gemintang."Mas Janu tidak sebrengsek yang kamu kira, Gemintang," ucap Rosaline begitu tenang, "Dia pria yang baik. Dia menerima diriku ini apa adanya dan tidak pernah ingin menikahi wanita lain. Justru aku yang meminta dan memaksa Mas Janu menikahimu."Deg!Walau hatinya sedang kecewa, Gemintang s
“Kenapa kalian membuat permainan tanpa peduli dengan perasaan orang lain?” lirih Gemintang, pedih. “Kamu juga seorang wanita, Rosaline! Seharusnya–”“Tidak terbalik? Seharusnya aku yang berkata seperti itu,” potong Rosaline, “Tidak ada istri yang sanggup diduakan seumur hidup. Aku justru membiarkan kalian selama ini.”“Jika kau tidak ingin masalah ini berbuntut panjang, kau hanya perlu tinggalkan Janu dan serahkan Maura padaku,” ucapnya lagi.Mendengar itu, kepala Gemintang rasanya ingin meledak.Bahkan setelah pulang dari kafe wanita itu tak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Rosaline.Kalimat demi kalimatnya terus saja terngiang di kepala. Ia tak memiliki daya untuk melakukan apa pun. Bahkan saat Maura mengacak-acak mainannya, Gemintang hanya bisa memandangi tanpa mengeluarkan komentar satu pun.Bagaimana bisa ia menyerahkan putrinya begitu saja?Mungkin dia bisa terima jika Janu meninggalkannya, tetapi ia tak akan sanggup hidup tanpa Maura.Memikirkan itu membuat Geminta
Untuk sesaat Maura terdiam. Seolah sedang mengingat nama seseorang yang memberinya coklat itu tadi siang. “Maura tidak tahu namanya. Tapi tadi ibu ber—”“Itu coklat dari wali murid, Mas. Mungkin Maura mengira kami berteman.” Gemintang menyahut sebelum Maura melanjutkan jawabannya. “Katanya baru pulang liburan ke luar negeri. Kebetulan Maura dapat dua, yang satu sudah dimakan tadi.”Gemintang sudah mencari tahu merk coklat itu, sehingga bisa memberikan jawaban masuk akal kepada suaminya dan ia berharap alasan itu tak membuat Janu curiga. Untungnya, Maura tidak menginterupsi. Gadis kecil itu hanya meminta lagi agar Janu membelikan cokelat serupa.Janu lantas mengambil cokelat yang dipegang Maura dan mengamatinya sebentar. “Nanti kalau Ayah sudah gajian, pasti belikan. Tapi, cokelat ini tidak dijual di negara kita.”“Memangnya yang dijual di mana, Ayah?” Gadis itu tampak kecewa.“Di Singapura. Apa kamu tahu? Maura sering belajar nama negara bersama ibu, kan?”Maura mengangguk cepat. “Ya
Tiba-tiba saja Janu terkekeh pelan... “Jangan khawatir, Sayang. Sebelum membahasnya, aku ingin memberikan sesuatu kepadamu.”Lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu mengambil paper bag hitam dan mendorongnya ke arah Gemintang. Dengan hati-hati, Gemintang membuka isinya. Sebuah kotak beludru hitam dengan logo bunga emas terpatri di atasnya.Tanpa perlu penjelasan pun, Gemintang tahu isi kotak itu. ”Mas, ini untukku?” tanyanya ragu.Janu mengangguk. “Bukalah, lihat apakah kamu suka atau tidak dengan model yang aku pilih?”Gemintang lalu membuka penutup kotak itu. Ia takjub kala melihat set perhiasan dengan permata merah yang berkilauan itu tertata rapi di dalamnya. Sungguh, itu barang mahal yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Ini bahkan bukan hari yang spesial baginya.“Bagaimana? Apakah kamu menyukainya?” tanya Janu, mengamati reaksi istrinya.“Su-suka, Mas. Tapi ini terlalu berlebihan, bukan? Kamu—”“Jangan pikirkan berapa harganya. Aku tahu, kamu pasti merisaukan itu,” potong le
Keinginan Janu untuk memiliki anak terus mengganggu pikiran Gemintang. Bahkan, sampai keduanya di rumah. Bayangan Janu yang terlihat bersemangat untuk menambah anak lagi sungguh menyesakkan.Apa yang sebenarnya direncanakan pria berstatus suaminya itu?Kriet!Suara pintu yang terbuka membuat Gemintang terkejut dan spontan menoleh ke arah sumber suara. “Maaf, aku mengejutkanmu?” tanya Janu usai menutup pintu kamar mereka kembali. Pria itu baru saja menemani Maura, membacakan dongeng sebelum putrinya terlelap.“Tidak kok,” jawab Gemintang, “Maura sudah tidur?”“Sudah, baru saja.”Janu lalu meletakkan ponsel ke atas nakas, bergerak menuju ranjang, dan mendaratkan tubuhnya di sisi Gemintang. Dengan satu gerakan ia membalikan tubuh mungil itu agar menghadap ke arahnya. “Kenapa belum tidur, hm?” tanya lelaki itu seraya melingkarkan lengan kekarnya ke pinggang Gemintang. Mereka saling menatap dalam. Entah sihir apa yang dimiliki Janu. Dua manik hitam itu selalu mampu menenggelamkan Gemi
Keesokan harinya.Gemintang mengernyit kala menyadari sesuatu yang silau mengganggu tidurnya. Kesadarannya belum terkumpul penuh, tetapi ia tahu jika itu adalah sinar matahari yang menembus celah jendela kamarnya. Wanita itu lantas menggerakkan tangannya merasa sisi ranjang yang lain, tetapi tak menemukan seseorang di sana. “Matahari sudah menjulang tinggi dan kamar ini sudah kosong. Itu artinya, Janu sudah berangkat ke kantor,” gumamnya kemudian.Menyadari sesuatu, Gemintang segera melompat dari kasur. Wanita itu gegas mencari keberadaan Maura di kamar sebelah. Bagaimana bisa dia bangun kesiangan seperti ini?“Maura?” panggilnya, tetapi tidak ada jawaban, bocah itu sudah tidak ada. Gemintang lalu kembali ke kamar dan memeriksa ponselnya. Ia baru menyadari jika ini sudah pukul delapan lebih. Ada pesan suara yang dikirimkan suaminya. [“Ibu, aku sudah berangkat sekolah diantar Ayah. Jangan lupa jemput Maura ya.] Suara Maura terdengar ceria di sana. Lalu, ada sebuah pesan text yang d
“Rosaline?”Berbeda dengan Gemintang yang tergagap, wanita bergaun merah itu justru memberikan seringaian kecil. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan tatapannya begitu tegas. Entah apa yang akan dilakukan Rosaline kali ini. Raut wajahnya yang tenang membuat sikap wanita itu selalu tidak tertebak. “Bagaimana kau tahu rumahku?” tanya Gemintang lagi. Ia merasa belum pernah memberitahu alamat rumahnya kepada Rosaline. Mungkinkah wanita itu membuntutinya? Atau … dia sudah tahu sejak lama?“Apa yang tidak aku ketahui sebagai istri pertama Janu? Rumah ini bahkan aku yang membelinya bersama Janu.” Deg!Tanpa permisi, Rosaline seketika menerobos masuk ke dalam rumah. Dagunya terangkat tinggi saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati teras rumah Gemintang yang dipenuhi tanaman hias. Juga, beberapa bunga peony segar di hadapannya. Sementara Gemintang, seolah kehilangan daya walau untuk bicara. Bahkan rumah yang selama ini ditempatinya, sekarang terasa bukan miliknya. “M
Gemintang menghela napas panjang. Kembali dipaksanya diri untuk makan dan beraktivitas. Ibu Maura itu merapikan rumah sebisanya, lalu membersihkan diri sebelum menjemput sang putri di sekolah. Hanya saja, kala berdiri di antara para orang tua yang juga menunggu anak mereka, Gemintang tanpa sadar terus saja memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah dia harus meninggalkan Janu? Tapi, bagaimana jika Maura direbut? "Hore!!! Kita Pulang!" Suara bocah yang dikenal Gemintang sebagai teman sekelas sang putri, terdengar--membuatnya tersadar dari lamunan. Atensi wanita itu berpindah pada anak-anak yang sudah mulai menghampiri ibu dan pengasuh mereka. Hanya saja, putrinya tak kunjung kelihatan! Padahal, sekolah sudah mulai sepi. Deg! "Rosaline?" Seketika Gemintang cemas. Dia mendadak teringat pertemuannya dengan istri pertama suaminya itu tadi pagi. Bagaimana jika wanita itu bertindak nekat setelah Gemintang menjadikan Maura sebagai alasan utama? Pani