Pov Rani"Jali, Nak!" panggil seseorang, yang kuyakini adalah Bu Samini.Saat ini, aku sedang duduk di dalam kedai Bulek Nunik. Tadi aku dimintanya untuk menjaga warung sebentar karena dia sedang buang air besar.Tak menyangka, jika lelaki yang sangat kuhindari datang dengan mendorong sepeda motornya, lalu berhenti langsung mengisikan bensin.Aku sengaja tidak ke luar, dan bersembunyi di dalam kedai karena takut dia berbuat nekat lagi. Biar bagaimana pun, masih ada rasa was-was jika bertemu dengannya."Kenapa, Bu?" tanya Bang Jali pada sang Ibu mertua.Entah dari mana datangnya, tau-tau Bu Samini sudah berada di dekat bang Jali. Aku hanya bisa mengintip mereka dari cela papan yang sudah bolong dimakan rayap."Putri kemana ya? Kenapa nggak pernah datang jenguk Ibu?" tanya Bu Samini, cemas."Mana kutau, Bu. Mungkin dia sibuk," jawab Bang Jali ketus.Duh, sama mertua sendiri aja, ketusnya minta ampun. Untung nggak jadi suamiku. Menghargai mertua saja dia nggak bisa. Apalagi menghargai is
"Assalamu'alaikum, Bu!" salamku saat sudah sampai rumah. Sudah jam 6 sore dan aku baru aja pulang, dikarenakan lembur. Ya, lumayanlah. Untuk tambahan beli beras, selebihnya beli mobil. Amin.Sebelum sah menikah, aku akan tetap bekerja. Sayang banget, kalau harus keluar sekarang. Kan uangnya bisa untuk tambahan belanja Ibu. Lagian nunggu sampe hari H tanpa ada kegiatan tuh, yang ada bosen. Makan tidur, makan tidur, yang ada badan tambah bulat, kayak badak bercula satu."Waalaikumsalam," sahut Ibu dari dalam.Aku membuka sepatu dan masuk ke dalam. Kulihat Ibu sedang bersantai menonton drama Korea. Meskipun udah tuir, ibuku ini masih suka kalau lihat yang bening-bening. Katanya bikin seger, kayak minum cendol di siang bolong.Entahlah siapa pencetus pertama siang bolong. Aku heran, emang ada siang pake bolong? Udah kayak daster emakku aja, bolong-bolong."Tadi, Bu Samini datang ke sini. Dia pinjam duit untuk berobat suaminya. Katanya kena asam urat," ucap Ibu, memberi tahuku, saat aku ba
"Oalah, Sam, Sam. Ini bawa aja sayurnya. Nggak usah dibayar." Bude Juni, masukkan sayuran ke dalam plastik, dan memberikannya pada Bu Samini."Nggak usah, Mbak.""Wes, nggak papa. Ambil aja. Rezeki, nggak boleh ditolak.""Suwon, yo Mbak!"Aku yang dari tadi melihat mereka, ikut terharu. Air mata tanpa disuruh, ikutan jatuh. Roda bener-bener berputar. Semoga aja, Bu Samini sadar kalau ini teguran dari Tuhan atas semua perbuatannya selama ini. Dan kedepannya, ia bisa menjadi orang yang lebih baik lagi."Iyo, podo-podo, Sam." Bude Juni tersenyum hangat. Biarpun dia warung, tapi tetap sanggup memberikan dagangannya secara cuma-cuma kepada orang yang membutuhkan.Memang, saat bersedekah, janganlah kita mengharapkan balasan. Ikhlas saja, karena Tuhan yang akan membalasnya dengan cara-NYA, tanpa kita minta."Seandainya dulu aku punya anak banyak, pasti hidupku nggak akan kayak gini," keluh Bu Samini sambil melamun."Yo, urong tentu, Sam," sahut Bude Juni, menyangkalnya."Tapi seenggaknya,
"Kalau salah, aku minta maaf, Tun. Mungkin omonganku nyakiti hatimu," ucap Bu Samini penuh sesal. Wajahnya masih nampak sangat sedih."Lah, memang salah. Bukan cuma mungkin!" jawab Bi Atun ketus. "Ya, wes, aku minta maaf," ucap Bu Za Samini lagi. "Halah, males aku maafin. Lagian sampean itu, nggak penting juga. Udah males aku bekawan sama sampean. Nggak ada untungnya juga. Yang ada nanti malah mau ngutang lagi!" celetuknya sinis."Terserahmu Tun. Mau berkawan atau enggak sama aku. Yang penting aku udah minta maaf,""Ya, iyalah terserahku. Masa terserah sampean!" ucap Bi Atun nyolot. "Oalah, Bi Atun. Mulut sampean itu, kok ya nggak pernah berubah. Nggak selamanya loh kita berada di atas. Tunggu aja, cepat atau lambat, sampean pasti ngerasain apa yang Bu Samnini rasain," celetukku yang baru aja datang dari persembunyian. Nggak tahan lihat mulut Bi Atun, yang udah keterlaluan itu."Koe arek cilik, nyumpahi aku?" tanya Bi Atun marah."Bukan nyumpahi. Cuma memperingati," jawabku, berd
"Jangan pernah mengatur aku. Orang tuaku pasti juga ngerti kok, kalau anaknya ini masih sibuk kerja dan sibuk dengan keluarga barunya. Kamu jadi orang luar, jangan ikut campur. Biarkan ini jadi masalahku dan keluargaku. Kamu nggak usah terlalu sibuk!" sambungnya, dengan mata memerah.Dia bilang aku terlalu sibuk? Hufftt. Mungkin orang akan salah sangka dan berpikir aku terlalu ikut campur. Padahal, niat hati hanya ingin membantu Bu Samini. "Oke, mungkin orang tuamu akan mengerti dengan keadaanmu yang sibuk. Tapi apa kamu tau kenapa aku datang ke sini? Itu semua karena ibumu yang udah nggak tau gimana caranya agar bisa datang ke sini dan memintamu untuk pulang menemui ayahmu, yang sedang sakit," ucapku, juga mulai tersulut emosi.Bisa-bisanya dia mengatakan kalau aku ikut campur. Padahal, semua ini juga karena orang tuanya yang sedang sakit. Aku cuma kasihan dengan mereka. Makanya, dengan suka rela aku menyampaikannya sama dia. Ehh, malah tanggapannya seperti itu."Apa kamu nggak kasi
"Assalamu'alaikum," ucapku di teras rumah Bu Samini. Malam. ini, aku akan memberikan uang yang sudah dititipkan oleh Sinta untuk kedua orang tuanya. Tentu saja dengan ditemani Murti. Kalau sendiri, aku mana berani. Takut diganggu makhluk halus di bambuan. Sebenarnya, Murti nggak mau ikut karena dia juga takut. Tapi karena ku paksa, dengan iming-iming ditraktir bakso, makanya dia mau. Kalau urusan makanan, pasti dia nomor satu."Waalaikumsalam," sahut Bu Samini.Lalu tak lama, pintu terbuka."Oh, Rani. Ayo, masuk." Bu Samini mempersilahkan kami masuk, dia sudah jalan terlebih dahulu ke dalam. Sebenarnya, rumah ini cukup mewah untuk ukuran rumah di kampung. Karena lantainya, sudah keramik, bahkan tempat duduk juga sudah ada sofa, yang aku yakin harganya sekitar 5 juta. Biasanya, rumah di kampung rata-rata sederhana. Hanya berlantai semen, dan duduk lesehan di lantai. Kalau sudah seperti rumah Bu Samini ini, ya pasti sudah bisa dikatakan bagus."Maaf, Bu. Mengganggu waktunya malam-ma
Pov Putri"Dari mana aja kamu? Kenapa baru pulang?" tanya Ibu mertua ketus saat aku baru saja masuk ke dalam rumah.Setelah bertemu Rani, aku langsung pulang. Tak mampir kemana-mana lagi. Tapi, entah lah. Mertuaku ini mungkin tidak suka. Menurutnya sebagai menantu, aku harus di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah. Tak boleh sekalipun sekedar duduk bersama tetangga. Padahal, ia sendiri setiap hari selalu keluar rumah, untuk bergabung bersama teman satu rumpiannya. Memang, aku tadi keluar juga nggak izin dengannya. Main langsung pergi aja, saat dia sedang di kamar mandi, dan suamiku masih di dalam kamar. Karena aku tau, kalau izin, juga nggak bakal dikasih."Dari warung," jawabku singkat tak peduli dengan dia yang sudah berdiri berkacak pinggang.Sudah seperti tersangaka saja aku ini."Ngapain ke warung? Bukankah sayuran sudah selesai dimasak?" tanyanya, masih dengan posisi yang sama."Emang kalau ke warung, ibu harus tau apa alasannya?" Aku balik bertanya.Sepertinya Bang Jali udah ber
"Putri! Buka pintunya!" teriak Bang Jali, sambil menggedor pintu kamar dengan tak sabaran. Selama menikah, tak pernah sekali pun dia memanggil dek, atau sayang, atau sebutan mesra yang lainnya. Pasti selalu memanggil namaku. Aku yang sedang tertidur lelap, tentu saja terganggu dengan kelakuannya. Tak bisakah dia membiarkanku istirahat sebentar saja?Padahal nanti sore aku harus bekerja dan pulang pagi. Huuft. Andai kesabaran bisa di isi ulang. "Putri! Cepat buka pintunya!" teriaknya sekali lagi dengan nada marah.Apa dia pikir, cuma dia aja yang bisa marah? Dasar suami nggak ada akhlak. "Iya, sebentar." Dengan terpaksa, aku bangkit dan membukakan pintu. Daripada telinga budeg mendengar teriakannya. Laki-laki tapi kok sukanya teriak-teriak kayak di hutan.Cklek! "Kenapa lama sekali? Cuma buka pintu aja, leletnya minta ampun!" cerocosnya berang. Ingin rasanya kusumpal mulut itu, pakai serbet kotor. Biar nggak nyerocos kayak kenalpot rusak."Aku tadi ketiduran. Makanya lama bukain p