"Bu Marisa yakin akan mengambil jalan itu?"Mata Ustazah Kamila menatap tepat di pupil Marisa. Guru mengaji berusia akhir tiga puluhan itu mengamati perubahan wajah Marisa. Dia ingin tahu sejauh mana keseriusan Marisa dalam mengambil keputusan itu. Dia tidak ingin Marisa kecewa dan menyesal setelah semua sudah terlambat. "Saya yakin, Ustazah. Banyak hal yang menjadi dasar saya ingin berpisah dengan suami saya. Kalau sekadar tidak ingin dimadu atau tidak mau terus dimusuhi ibu mertua, saya masih bisa bersabar dan bertahan." "Jadi masih ada alasan lainnya?" "Iya. Salah satunya adalah suami saya tidak mau salat. Dulu saya memang tidak pernah keberatan, karena saya pun juga sering meninggalkan salat.""Astaghfirullah." Meski lirih, tetapi istighfar yang dibaca Ustazah Kamila masih bisa ditangkap oleh telinga Marisa. "Namun, sekarang ceritanya berbeda. Alhamdulillah semenjak suami saya mengalami kecelakaan dan koma, saya sudah tidak pernah lagi meninggalkan salat. Sekarang saya menya
"Mas, saya mau ngomong sesuatu yang penting. Tolong jangan potong dulu ucapan saya," pinta Marisa.Irawan menatap Marisa dengan penasaran, tetapi tidak berkata apa pun juga. Dia hanya memberi isyarat dengan matanya agar istrinya itu melanjutkan ucapannya. "Besok saya mau ganti penampilan, Mas!""Ganti penampilan? Apa maksudmu?" sergah Irawan."Kan, sudah saya bilang jangan potong dulu!" omel Marisa. "Aku penasaran. Makanya cepetan jelaskan maksudmu!""Mulai besok saya akan mengenakan hijab. Saya harap Mas tidak menghalangi niat saya ini?" Irawan tertegun mendengar kata-kata Marisa. "Sejak kapan istrinya ini berubah makin religius?" batinnya.Irawan menatap istrinya yang masih berselimut mukena setelah pulang dari masjid. "Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mau berhijab? Memangnya ada yang salah dengan bajumu selama ini? Bukankah bajumu tidak pernah terbuka dan seksi?" "Sebagai muslimah iya … ada yang salah dengan pakaianku, Mas. Bagi orang lain mungkin baju yang kupakai selama ini sud
"Sepertinya Mas Irawan sulit berubah. Apakah itu artinya aku benar-benar harus mengajukan gugatan perceraian?" gumam Marisa. "Atau apakah aku harus cerita ke ibu sebelum mengambil keputusan? Barangkali Ibu mempunyai sudut pandang lain," batin Marisa lagi.Satu jam kemudian Marisa sudah dalam perjalanan menuju ke rumah ibunya. Hari ini kebetulan jam mengajarnya hanya sampai pukul dua dan tidak ada agenda penting, jadi dia bisa izin pulang lebih cepat. "Loh, Marisa … tumben kamu ke sini tanpa ngabarin Ibu lebih dulu." Bu Rahmi mengerutkan keningnya ketika membuka pintu dan melihat putri sulungnya berdiri di teras. Matanya menelusuri penampilan Marisa yang berbeda. "Kamu sekarang pakai hijab?""Iya, Bu. Tadi mendadak Marisa kepikiran mau ke sini. Alhamdulillah mulai hari ini Marisa berhijab." Bu Rahmi membuka pintu lebih lebar dan meminta Marisa masuk. Setelah menutup pintu Bu Rahmi mengekori anaknya sambil berkata, "Kamu makan malam di sini, ya, temani Ibu. Adikmu pulang agak malam k
"Seorang anak itu bukan hanya tanda bukti cinta kasih sepasang lelaki dan perempuan yang menjadi kedua orang tuanya, tetapi anak adalah penerus garis keturunan. Jadi, benarkah kamu rela tidak bisa meneruskan garis keturunan kami?" Bu Marisa memindai mata putri sulungnya dan meminta kepastian. Marisa tergeragap mendapat pertanyaan tersebut dari ibunya. Marisa baru sadar bahwa penerus garis keturunan kedua orang tuanya terletak di pundak dia dan adiknya. Jadi, tentu saja menjadi sebuah pukulan berat untuk ibunya seandainya Marisa tetap memilih menjadi istri Irawan yang mandul. "Marisa belum tahu, Bu. Marisa masih bingung." "Ya sudah … kalau begitu salatlah dan minta petunjuk. Semoga kamu segera mendapatkan jawaban," ucap Bu Rahmi penuh harap yang diaminkan oleh Marisa. Setelah menemani ibunya makan malam, Marisa pun kembali ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan, Marisa berulangkali melihat pergelangan tangannya. Matanya yang menatap nanar jam yang melingkar di pergelangan tanganny
l"Apa itu tadi? Kalian menjalin hubungan selama aku koma?" tuduh Irawan. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Dia menatap Marisa yang tengah memperhatikan pintu yang baru saja menutup. Marisa menoleh mendengar seruan suaminya. Wajahnya menatap Irawan dengan keheranan. "Maksud kamu apa, Mas?" "Ada hubungan apa kamu dengan Dokter Harun? Kenapa dia berkomentar seperti itu? Dia juga tampak terpesona dengan penampilan barumu," selidik Irawan. "Hubungan? Aku dan Dokter Harun? Hubungan apa? Kamu ngomong apa, sih, Mas?" Memangnya ada yang salah dengan komentarnya tadi? Marisa menatap Irawan dengan kesal. Sementara itu Irawan ganti menatap Marisa dengan mata melotot. "Memangnya kamu nggak sadar bagaimana cara dia ngeliatin kamu?""Dokter Harun itu lelaki saleh. Dia tidak akan menatap perempuan yang bukan mahramnya. Dia hanya akan melihat sewajarnya lantas menundukkan pandangan. Bukan seperti lelaki lain yang menatap penuh nafsu. Apalagi kalau perempuan yang ditemui berpakaian terbu
"Astaghfirullah … aku ketiduran." Marisa tergeragap dari tidurnya ketika dia mendengar alarm ponselnya yang berbunyi tepat pukul empat. Setelah membaca doa bangun tidur yang baru dihafalnya, Marisa memilih segera bangun dan duduk di pinggir sofa bed. "Enak sekali tidurku hari ini. Padahal cuma tidur satu setengah jam, tapi badanku rasanya segar. Mungkin ini yang disebut dengan tidur berkualitas," gumam Marisa, sambil meregangkan tubuhnya."Rasanya baru tadi malam aku bisa tidur senyenyak itu. Setelah masalah demi masalah menderaku, bisa tidur berkualitas adalah impian yang selama ini sulit kuraih. Rupanya melakukan garpu tala membuat hatiku merasa tenang dan bisa tidur nyenyak."Marisa tersenyum dan bergegas bangkit. "Lebih baik aku segera berwudhu dan mendirikan Salat Subuh." Perempuan berkulit kuning langsat itu pun lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia sempat menengok ke arah suaminya sebelum masuk ke toilet. Irawan tampak tertidur pulas seperti biasanya. Marisa mendecih ke
"Mas, tolong ceraikan aku." Irawan terbelalak mendengar permintaan Marisa. Dia tidak menyangka istrinya yang selama ini penurut berani meminta cerai. Lelaki itu membuka mulutnya tapi urung berbicara dan memilih mengatupkan bibirnya kembali. "Mas … Mas Irawan dengar ucapanku barusan?" tanya Marisa sekali lagi. "Iya. Aku dengar." "Terus … kenapa diam aja, Mas? Jangan pura-pura lupa kalau aku ini istrimu, karena aku tahu kamu sudah ingat siapa aku. Jangan juga pura-pura nggak ngerti apa yang aku minta tadi." Marisa berkata dengan tegas. Terdengar helaan napas berat meluncur dari mulut Irawan sebelum dia berkata, "Nggak. Aku nggak pura-pura. Aku ingat siapa kamu dan ngerti apa yang kamu minta. Aku hanya sedang berpikir." Marisa menatap tajam Irawan. Dia menunggu kata-kata selanjutnya dari lelaki yang sudah mendampinginya selama lima tahun itu. Irawan balas menatap wajah perempuan yang selalu ada di sisinya selama lima tahun ini. Dia menemukan aura yang berbeda dari biasanya. Dul
"Bu … ini ditaruh di mana, ya?" "O itu taruh di koper merah kotak-kotak aja, Bi," jawab Marisa ke Bik Siti. Saat ini Marisa dibantu asisten rumah tangganya tengah mengemasi barang-barangnya. Mereka akan pindah ke rumah ibu marisa. Sementara rumah yang pernah ditempati Marisa ini akan dijual beserta perabotnya. Sejak enam bulan lalu ditalak oleh Irawan, Marisa memang memutuskan untuk tinggal dengan ibunya. Jadi, ketika Bu Rahmi menjemputnya di rumah sakit sampai dengan sekarang ini, dia kembali ke kamarnya semasa masih belum menikah. Setelah melewati proses perceraian yang tidak berbelit-belit, Irawan memberikan sejumlah harta gono-gini kepada mantan istrinya itu. Meskipun ditentang oleh Bu Santi dan ditolak oleh Marisa, Irawan tetap kukuh untuk memberikan harta gono-gini. Alasannya itu adalah hadiah sekaligus tanda permohonan maaf dari Irawan. Salah satu harta gono-gini yang diberikan Irawan adalah rumah mewah yang selama lima tahun pernikahan ditempatinya bersama Marisa. Awaln