Seumur hidupnya tidak pernah sekalipun Julvri merasakan cinta yang sesungguhnya. Di kehidupan yang monoton ini, Julvri memang terlihat begitu sempurna dari segala aspek. Fisik dan juga otak bagai tiada tanding.
Bruk!
Julvri menjatuhkan diri di lantai, seketika ia tersadar adanya darah di bagian punggung tangannya.
“Lecet ... pantas saja terasa perih.”
Sembari memandang arah luar di balik jendela, dengan tatapan kebosanan itu ia menjilat darahnya sendiri. Menikmati apa yang bisa dinikmati tapi tetap saja perasaan bosan terus saja melanda dirinya.
Pesan singkat mengambang di notifikasi layar ponselnya. Tidak tertera nama melainkan hanya nomor.
Pesan itu terbaca, [Sepertinya kau melakukannya lagi. Tidak ada bosan-bosannya ya?]
Julvri tersenyum tanpa membalas pesan singkat itu. Ia lantas bersandar di
Hiruk-pikuk di dalam maupun luar kafe membuat suasana hidup namun tidak tenang. Kebisingan dari segala jenis macam suara dari luar, meski hanya samar-samar tetap tidak terasa nyaman. Arum hanya duduk manis sambil memeluk dirinya sendiri dengan pandangan mengarah ke lain dan tidak pada kencan triple ini.“Arum, kenapa kamu malah buang muka begitu?” tanya salah satu temannya yang berkuncir kuda. Ia tampak cemas karena Arum tidak terlihat senang sama sekali.“Apa? Oh, aku? Ya ampun, maafkan aku. Aku nggak terbiasa dengan hal semacam ini,” jelas Arum sedikit kaku dan gugup.“Dasar kamu ini. Pasti perutmu sakit lagi.”“Kenapa sampai harus sakit perutku?”“Ya, jelas saja. Setiap kali gugup pasti semua orang akan sakit perut tahu,” tutur temannya itu dengan kesal.Ia menyodorkan air putih
Masa lalu tidak terhitung banyaknya aib di sana, masing-masing dari mereka yakni Arum dan Julvri tentu saja memiliki aib terbesar dan terburuk mereka. Cepat atau lambat pasti akan terbongkar dan sekarang sudah semuanya dibongkar habis-habisan.Setelah Julvri menceritakan masa lalunya sendiri, saat itu Arum hanya bisa tertunduk dengan hati gundah hingga membuat tubuhnya gemetaran. Ia takut itu benar tapi sulit mengekspresikan itu sekarang di sini.***Sebuah pagar hitam dibuka oleh bibi selebar mungkin agar kendaraan kuda besi milik Tuan Julvri dapat masuk ke dalam. Kedua orang tua Julvri yang berada di dalam pun sontak terkejut, mereka bergegas keluar kamar dan menghampiri putra sekaligus menantu mereka yang tengah hamil itu.“Julvri! Arum!” seru Ibu mertua yang memanggil, berlari pelan menghampiri mereka yang baru saja keluar dari mobil.Terlihat ada sebu
Sebagai seorang istri, Arum seharusnya sangat senang dengan mengetahui bahwa dirinya sedang hamil akan tetapi mengingat siapa itu Julvri, Arum tidak bisa berekspresi bahagia sedikit pun. Hanya ada kata-kata yang berkaitan dengan "kematian."Terlintas dalam benak bahwa dirinya yang lemah akan segera hancur dalam genggaman tangan sang suami. Ekspresi, tindakan dan cara bicara itu sungguh berbeda dan berbanding terbalik dengan sifat yang dulu pernah Arum ketahui.“Kamu sudah berubah. Sebenarnya sejak kapan?”“Lucu sekali. Kamu pikir aku berubah setelah menikah denganmu? Itu tidak mungkin karena sejak awal aku pun seperti ini. Seharusnya kamu tidak melupakan ceritaku saat itu.”Arum tercengang diam, begitu kagetnya mendengar Julvri mengatakan itu dengan mudah. Sejenak situasi di antara mereka hening tak bersuara, selang beberapa saat Arum kembali membuka mulut.
Siang hari yang begitu panas namun Arum merasakannya dingin. Hal tidak wajar selalu berada di sekelilingnya.“Arum,” ucap Julvri memanggilnya dengan suara pelan seraya ia mengulurkan tangannya.Bersamaan dengan pintu terbuka, Ibu mertua muncul di sana. Arum terkejut dengan mata terbelalak, lantas beranjak dari kasur dan berlari kecil tuk menghampirinya.“Ibu mertua!” seru Arum memanggilnya, suaranya sedikit sumbang. Kemudian memeluk mertuanya itu dengan erat seakan-akan ada seseorang yang mengejar.“Hei, hei, ada apa ini?” Ibu mertua bertanya lantaran ia bingung karena begitu masuk Arum sudah bermanja seperti ini.“Ibu, aku ingin memelukmu. Sekali ini saja,” pinta Arum.Pelukannya semakin erat, Arum terlihat sangat ketakutan tapi Ibu berpikir itu hanya asumsi berlebihan saja. Julvri
Senyum terukir di wajah Julvri sementara tatapan tajam dari Arum menyambutnya. Hubungan mereka sudah berbanding terbalik dari biasanya. Tidak ada kehangatan yang tersisa, selain rasa cinta yang membara diselingi kebencian tak tersirat.Saat itu Arum bertanya-tanya dalam hatinya, apakah pelukan ini akan membunuhnya ataukah tidak? Pikiran negatif semacam itu terus saja terlintas seolah-olah dirinya tengah mempersiapkan kematian itu juga.Secara perlahan jari-jemari Julvri masuk ke sela-sela pakaian, meraba bagian pinggang dan perutnya. Arum menahan rasa geli seraya meraih pergelangan tangan Julvri sebagai tanda agar suaminya itu berhenti tapi ia sama sekali tidak mau menggubrisnya.“Apa yang kamu lakukan? Jangan melakukan—”“Perutmu ternyata masih rata. Apa karena bayinya kecil? Aku sama sekali tidak sadar kalau ternyata kamu ini hamil.”
Kehamilan yang terjadi setelah beberapa minggu atau bulan menikah adalah hal yang entah itu terjadi sering atau jarang. Tapi untuk sebagian besar orang akan menganggap kejadian itu sangat langka, mengingat kehamilan itu dinantikan. Lalu sekarang, salah satu tetangga mereka bertanya tentang rahasia yang dimiliki Arum. Jujur saja Arum sangat terkejut, saking terkejutnya ia terdiam dengan tatapan tajam mengarah pada Julvri. “Baru satu bulan menikah sudah berisi, aku tahu itu pasti ada rahasianya.” Begitulah pikirnya. Jika diingat usia kandungan Arum juga masih sangat muda, meski janin itu baru saja terbentuk. Sejenak Arum memandangi perut dan membelainya pelan.“Itu ... saya ...,” Kalimat Arum terbata-bata, tidak jelas akan mengatakan apa. Sekali lagi ia menatap suaminya itu seakan berharap Julvri yang menjawabnya.“Istriku hamil begitu cepat mungkin karena kami sering melakukannya,” jawab Julvri seraya meraih pundak Arum dan mendapatkan kesempatan itu tuk kembali memeluknya. Denga
Ponsel Arum bergetar pelan tak bernada, saat dilihat terdapat sebuah nomor kontak beserta nama lengkap, "Detektif Jean Caspiro", sedang menghubungi. Julvri diam memandang tanpa niat mengangkat telepon itu tapi ia kemudian terpikirkan sesuatu sehingga mengangkatnya. “Wah, sudah lama ya?”***Beberapa jam sebelum Jean menghubungi ponsel Arum. Ia berada di kota kecil dekat dengan pantai, tengah merenungkan diri lantaran pikirannya berkecamuk sana-sini akibat kejadian pada malam tahun baru itu. Jean menghela napas, “Ha, ini di luar dugaan. Siapa yang berpikir kalau dia akan melindunginya?” tukas Jean. Jean sebagai seorang detektif, tentu harus melaksakan tugas dengan baik. Tapi jika pelakunya sudak bertindak di luar batas maka Jean tidak punya pilihan lain. Saat itu Jean kembali berpikir apakah tindakannya cukup sembrono?“Aku menembaknya ... tidak, aku sudah menghindarinya.” Posisi duduk di kursi seraya memegangi kepala yang tengah tertunduk lesu. Pikirannya berbayang akan kejadian
“Aku sungguh bodoh,” gerutu Jean. ["Ya, kau benar-benar bodoh. Bagaimana tidak? Kau dengan mudahnya percaya apa saja perkataanku."]Perkataan Juli cukup menusuk di dada. Jean tidak menyangkal dan sekarang hanya terdiam seribu kata. Tidak berniat mengatakan apa pun lagi dan hendak mematikan telepon tapi pria itu lagi-lagi mengatakan hal yang membuat Jean semakin marah.[" .... seandainya begitu, kau tahu 'kan? Itu cukup menarik."]“Apa katamu?” Jean tidak begitu mendengar ucapannya, sehingga bertanya.["Tadinya aku berniat menuntutmu. Terkecuali dengan Arum. Jika kau benar membunuh anakku maka aku akan menuntut tapi setelah dipikir itu sedikit mustahil."]“Aku tegaskan sekali lagi. Kenapa kau seolah-olah berharap dia mati?”["Karena aku tidak butuh."]Kata-kata yang cukup sombong dilontarkan, Julvri mengatakannya tanpa ragu dan Jean begitu terkejut hingga sulit mengontrol emosi. “Dasar pembunuh! Dia i