Aku tidak tahu pasti sejak kapan chat dan telepon dari Bang Ayas menjadi hal yang paling aku tunggu sepanjang hari. Aku tidak tahu mengapa obrolan kami menjadi begitu hangat dan menyenangkan setiap malam. Anehnya, aku tidak bisa tidur sampai pagi jika belum mendengar suaranya dan melihat senyumnya. Mungkin, aku sudah gila. Atau terjangkit virus langka yang membuat tempurung kepalaku seperti dijejali bayang-bayang Bang Ayas. Dan yang paling konyol adalah aku ingin menjadi alasan bagi pria jutek itu tersenyum. Entahlah, aku merasa melambung ke nirwana setiap kali Bang Ayas mengulas senyum meskipun hanya setipis kulit ari. Siapa pun, tolong jelaskan apa yang sedang kurasakan sekarang ini? Aku mohon, bilang kalau ini bukanlah cinta. Iya, kan? Aku tidak mungkin jatuh cinta kepada Bang Ayas. Itu adalah mantra yang selalu kurapalkan di setiap pertemuan kami. Aku hanya … merasa nelangsa kalau tidak bisa menjumpainya di mana-mana; di parkiran fakultas ekonomi, di deretan notifikasi, ataupun
"Kita ke dokter, ya?"Sembari memegangi selimut, aku menggeleng. Hanya demam biasa dan sepertinya akan sembuh setelah dibawa tidur. Kalau bukan atas desakan Bang Ayas yang melihatku masih meringkuk di kasur ketika kami video call, aku pun tak akan mengaku sakit. "Terus saya harus gimana biar bisa ketemu kamu? Memangnya boleh masuk ke kamar?"Lagi-lagi pertanyaan Bang Ayas kurespons dengan gelengan. Di kos-kosan ini, Tante Elin melarang keras laki-laki masuk kamar. Bahkan petugas kebersihan yang berada di sini juga perempuan paruh baya yang sudah sangat terpercaya. Berani menerobos masuk kamar sama saja cari mati, satpam tidak akan segan-segan menyeret ke luar. "Resva, saya harus gimana?"Aku bergumam saja. Memangnya harus bagaimana? Bang Ayas tidak perlu melakukan apa pun meski semua ini bisa dibilang karena ulahnya kemarin sore. Jika mengingat itu, rasanya suhu tubuhku semakin naik. Bisa-bisanya aku diam saja waktu dicium. Kami kan tidak pacaran! Oke. Ini aneh sekali. Bang Ayas
"Nggak tau kenapa, aku yakin banget Bang Ayas lagi deket sama cewek."Air yang berada di mulutku muncrat, untung tidak mengenai permukaan meja kantin yang saat ini sedang kutempati bersama Acha. Untuk menyembunyikan keterkejutan yang mungkin terlihat, aku buru-buru mengambil tisu untuk mengelap bibir. "Dekat sama siapa?" pancingku untuk mengetahui sejauh mana kecurigaan Acha. Acha menggulung spaghetti menggunakan garpu, lalu menyuapkan ke mulutnya sendiri. Sembari mengunyah, dia tampak berpikir. "Gini." Acha meletakkan garpu ke piring dan beralih meraih sedotan dari gelas minumannya. "Tadi pagi waktu masuk ke mobil Bang Ayas, jok depan tuh kayak habis buat rebahan gitu."Gadis bermata belo itu memicing. "Kira-kira apa yang dilakukan Bang Ayas sama ceweknya?""Tidur," sahutku di luar kendali. Maksudnya, aku hanya ingin menyangkal pikiran negatif yang Acha punya. Aku ingat betul, kemarin Bang Ayas sengaja merendahkan sandaran kursi agar aku bisa tidur dengan nyaman. Sepulang dari kl
Aku sudah kebal dengan semua gombalan Bang Ayas tentang nikah. Ya, walaupun masih sering membuat deg-degan, tapi aku berusaha untuk tidak tersipu. Mungkin candaan laki-laki yang sudah berkepala tiga seperti itu kali, ya. Dikit-dikit nikah, dikit-dikit lamaran. Wajar sih, pasti karena tuntutan keluarga, atau iri dengan teman-teman sebaya. Menurut penuturan Acha, sejak Bang Ayas tinggal di apartemen, belum ada perempuan yang dijodohkan lagi dengannya. Kemungkinan besar karena Tante Fatma dan Om Adnan takut anak sulungnya itu kabur lagi. Terlebih, perseteruan mereka dengan Tante Windi belum mereda. "Kayaknya bakal tetep keduluan Bang Ezra," kata Acha. Menurutnya, kakak keduanya itu akan melangsungkan pertunangan dalam waktu dekat. "Pasti ntar Bang Ayas yang jadi sorotan. Ditanya kapan nikah, mana calonnya. Aku yang denger aja ikutan enek!""Gitu banget keluarga kamu?" tanyaku. Acha mengangguk. "Yang paling rese keluarga Papa. Mungkin karena mereka rata-rata nikah dua lima, atau mento
Ganjaran apa yang pantas buat manusia seperti Bang Ayas? Sudah membuat aku malu setengah mati di depan keluarganya, sekarang dia malah tertawa tanpa merasa dosa. "Udah jangan nangis."Aku menepis tangannya yang hendak menyentuh pipiku. Enak saja pegang-pegang. Memangnya situ siapa? Lagi-lagi Bang Ayas tertawa. "Kenapa nangis, sih? Orang nggak ada yang marahin kamu juga.""Tau, ah!" Aku duduk menyerong, membelakangi Bang Ayas yang tadi langsung menyusulku ke teras belakang. Keluarga Bang Ayas memang tidak ada yang marah. Mereka juga tidak terkesan kaget seolah apa yang diucapkan Bang Ayas adalah sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya, termasuk Acha. Gadis itu malah mengangguk-angguk seakan mengatakan, "Bener tebakan gue."Aku tidak tahu bagaimana raut wajah Om Adnan dan Tante Fatma karena terlalu takut. Hanya saja, Tante Fatma berkata, "Semoga lulus tahun ini ya, Va."Bisa dibayangkan dong betapa malunya aku? Sumpah, jangankan lanjut makan, untuk menelan ludah saja aku kepayahan.
Aku tidak tahu yang dimaksud aneh versi Acha itu seperti apa karena sejauh ini apa yang dilakukan Bang Ayas masih dalam batas normal. Atau jangan-jangan, mengajak makan malam di dalam mobil yang terparkir di depan minimarket adalah suatu keanehan? Bagi sebagian orang, termasuk Acha, mungkin itu aneh, sih. Tapi menurut aku biasa-biasa saja. Aku dan Bang Ayas tidak memiliki tempat favorit untuk sekadar makan malam. Lagi pula, belakangan ini aku semakin sibuk dan hanya punya sedikit waktu untuk bertemu, paling lama satu jam, setelah itu Bang Ayas akan mengantarku pulang ke kos-kosan. Menjadi mahasiswi tingkat akhir membuat aku ketar-ketir dan tidak bisa berleha-leha seperti sebelumnya. Asli, aktivitasku dalam dua minggu terakhir ini hanya berfokus pada kampus dan perpus. Jalan-jalan ke mal dan nonton di bioskop menjadi hasrat yang harus aku tahan mati-matian. Walaupun Acha mengajak, dengan berat hati aku menolak. "Sekali ini aja, Va. Buat refreshing. Emangnya kamu nggak stres apa?"Ak
Kalau menurutku, Bang Ayas itu tidak aneh. Hanya saja kadang-kadang dia meresahkan. Setelah beberapa menit lalu menyenggol Galih dan seperti hendak menabuh genderang perang, sekarang pria itu juga tidak membawaku pulang. Mobil yang seharusnya lurus, malah berbelok ke kanan. "Kita mau ke mana?" tanyaku sambil memegangi perut yang rasanya kembali nyeri. Padahal tadi sempat hilang. Atau itu karena efek tegang? "Pulang."Singkat, padat, tapi tidak jelas. Pulang ke mana? Mobil yang kami tumpangi sudah ke luar dari jalur yang semestinya, lho! Aku sudah ingin tiba di kos-kosan dan rebahan. Rasanya tidak sanggup kalau harus mampir meski sekedar makan. Dan yang aku tahu, jalur tercepat untuk segera tiba di kos-kosanku ya seperti biasanya, bukan malah belok-belok ke arah … eh ke mana sih, ini? Dengan punggung yang bersandar di kursi, aku menoleh ke arah Bang Ayas yang sedang mengemudi. "Mas …." "Kita pulang ke apartemen, Resva.""Hah?" Aku melotot dan langsung menegakkan tubuh. Bukankah
"Saya akan jelaskan." Bang Ayas bersuara setelah sekian lama kami membisu. Sepeninggal Tante Windi, aku melarangnya mendekat. Aku butuh waktu untuk menata hati yang baru saja diporakporandakan wanita itu. Aku tidak menangisi Bang Ayas. Tidak. Aku cukup tahu diri untuk tidak terlalu berharap pada laki-laki yang sudah mapan dan berasal dari keluarga terpandang. Aku merasa sangat terguncang karena kata-kata Tante Windi yang menusuk, seperti ujung pedang yang dihunjamkan tanpa ampunan. Aku jadi bertanya-tanya, apa benar aku murahan? Apa benar aku mirip perempuan jalang? Apa ini gara-gara celana pendek yang kukenakan? Atau lantaran aku ditemukan berada di apartemen laki-laki? "Resva …." Bang Ayas memanggil lagi. Tanpa menoleh ke arah lelaki yang duduk di stool, aku berkata, "Bang Ayas nggak perlu jelasin apa-apa."Kenyataannya, berat sekali mengucapkan itu. Aku sampai harus menahan napas dan mati-matian mengontrol agar suaraku tidak terdengar bergelombang. "Aku mau pulang." Aku suda