Motoris speedboat sudah siap dengan kemudinya. Dua orang lainnya pun telah duduk di atas speed. Tinggal aku yang ditunggu. Setelah memasang pelampung, aku menaiki Speedboat itu dengan sedikit meloncat. Barang bawaan diikat di bagian belakang.Jujur ini pertama kali aku naik speedboat kecil dengan kapasitas empat orang. Jantungku sempat berdebar-debar melihat gulungan ombak yang besar di depan sana. Belum lagi posisi seperti duduk di atas air membuat suasana hati makin tak karuan. Ya Allah semoga selamat sampai tujuan. Ini semua demi Berlian.Mesin mulai dihidupkan lalu ditambah volumenya, dalam sekejap speedboat ini melesat jauh meninggalkan dermaga. Wajahku tertampar angin laut tanpa henti. Setiap kali ada gelombang, peganganku makin kuat, lalu isi perut seperti diaduk-aduk, memberontak ingin mengeluarkan semua isi di dalamnya. Sekuat tenaga kutahan agar tenggorokanku bisa sedikit bersabar. Sedikit lagi tiba di tujuan.Kurang dari dua puluh menit, speedboat merapat di dermaga Tanekek
"Uhuk!"Berlian dan ayahnya spontan terbatuk bersamaan. Lantas mereka saling berpandangan dan tawanya pecah. Lho? Aku salah apa? Kupandangi mereka secara bergantian dengan tatapan heran. "Ehm, ada yang salah?" tanyaku dengan menggaruk-garuk kening."Hasyim, masa iddahku belum selesai lagian aku juga belum ngasih jawaban mau apa tidak." Nyaliku sedikit menciut mendengar pernyataan Lian. Ya, sedikit saja. Selebihnya masih berkobar seperti api yang disiram bensin."Kamu sabar aja dulu, jawabannya nanti setelah masa iddah habis langsung kuberitahu. Kamu siapkan mental jangan sampai pingsan." "Gak bisa jawab sekarang biar tidurku tenang, begitu?""Tidak bisa. Seorang wanita yang ditinggal mati atau cerai dengan suaminya, tidak boleh membahas masalah pinangan sebelum masa iddahnya berakhir. Itu yang kutahu dari ceramahnya para Ustaz. Meski jawabannya sudah kupersiapkan, tetapi nantilah kujawab jika waktunya sudah tiba.""Ehm, anu … maksudku, kasi bocoran sedikit saja." Aiih, bicara apa a
Aku dan Pak Makkatutu memasuki taman baca yang sudah mulai sepi. Maklum sudah mulai petang. Pengunjung tahu jika taman baca sebentar lagi akan ditutup.Jejeran buku terpajang rapi di atas rak. Kursi-kursi untuk pembaca di letakkan di bagian tengah, dikelilingi oleh tanaman bunga asoka di dalam pot besar juga rintik air buatan yang terus menetes di bagian dalam tembok. Suasananya adem. Siapapun yang datang akan betah."Kalau Nak Hasyim mau baca buku-buku tulisan Berlian, ada di rak warna putih itu." "Berlian jadi penulis?""Masin dalam tahap belajar. Beberapa tulisannya sudah dibukukan dan bisa dibaca gratis di taman baca ini.""Hebat.""Alhamdulillah. Ia memang sangat menyukai dunia pendidikan. Meski tidak sempat kuliah, tetapi paling tidak ilmunya yang sekarang bisa bermanfaat buat masyarakat di sini.""Wah, luar biasa ini, Pak. Saya saja yang kuliah tinggi-tinggi nggak kepikiran buat taman baca gratis untuk warga.""Nak Hasyim beda. Ruang lingkup Dokter lain juga. Tidak kepikiran b
Wah. Terima kasih banyak, ini pasti enak.""Iya. Sama-sama."Oleh-oleh itu diletakkan dalam kotak makanan yang yang bersusun lalu dilapisi tas bekal yang ada resletingnya. Biar aman sampai di tujuan."Aku pamit dulu. Assalamu alaikum.""Waalaikum salam." Lian, Ahmad, dan ayahnya kompak menjawab salamku.Segera aku menaiki ojek yang sudah sejak subuh kuorder. Ini saat yang paling kubenci, meninggalkan Tanakeke untuk waktu yang lama. Berjumpa hanya sehari, berpisah berminggu-minggu. Beraaaat!***Saat di dermaga semua penumpang sudah mengambil tempat. Seperti biasa aku duduk paling ujung agar leluasa menatap hamparan laut lepas, sesekali gemercik air mengenai wajahku. Kudekap erat-erat oleh-oleh yang diberikan Berlian. Jangan sampai ketinggalan. Aku pasti akan merutuki diri habis-habisan.Tak terasa perahu dompeng sudah tiba di tujuan. Lekas aku menuju mobil yang masih setia terparkir sejak kemarin. Setelah membayar biaya penitipan, kupacu ia menuju rumah. Perutku mendadak keroncongan.
Aku makan dengan lahap sekali. Perpaduan rasa lapar dan citarasa masakan Berlian yang lezat membuatku menghabiskan porsi nasi yang lebih banyak dari biasanya.Berhubung hari ini dinasnya sampai malam, kuminta Bu Siah menyiapkannya untuk bekal. Oleh-oleh dari Berlian ini bisa untuk beberapa kali makan, porsinya banyak sekali."Pak Dokter mau bawa bekal?""Iya, Bu.""Tumben.""Anggap aja lagi latihan, Bu.""Latihan?""Lagi latihan kalau nanti sudah menikah, tidak kaku lagi bawa bekal buatan isteri, Bu.""Oalah. Mosok begituan pakai latihan segala. Ada-ada aja." Bu Siah terkekeh sembari menyiapkan bekal yang kuminta.Setelah semua siap, kotak bekal itu kuletakkan di jok depan kemudian kuhidupkan mesin mobil. Saatnya berangkat menjemput rezeki.***Tiba di rumah sakit dengan langkah cepat aku menuju ruanganku. Satu hal yang kuhindari adalah berjumpa dengan Dokter Farid. Aku belum siap dibully meski amunisi sudah terisi penuh. Tapi, yang kuhindari justru yang paling pertama menyambutku, "S
Mulai sekarang aku menandai kalender dengan tanda silang. Setiap berlalu satu hari aku langsung mengambil spidol warna merah lalu menyilang pada tanggal yang tertera di sana. Ini salah satu cara agar aku benar-benar mempersiapkan diri saat waktunya sudah mulai dekat.Salah satu yang membuat tim medis di rumah sakit sangat sibuk yakni ketika bencana alam berganti-ganti antar wilayah. Belum lagi, kasus diare, typus, cedera, patah tulang, dan ibu-ibu yang melahirkan dalam kondisi darurat membuat kami harus benar-benar sigap.Saat-saat seperti ini dibutuhkan stamina dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika dalam kondisi darurat, penanganannya tidak kenal waktu. Saat itu juga harus segera dieksekusi.Aku hanya pulang ke rumah saat ingin berganti pakaian. Terkadang untuk istirahat pun hanya sempat setelah salat lima waktu, sekadar berbaring sekitar sepuluh menit atau lebih sedikit. Selanjutnya langsung bekerja lagi.Berkali-kali aku menghubungi nomor Berlian, tetapi tidak pernah aktif. Mungkin
Mereka bertiga saling berpandangan, lalu Berlian meraih tangan Ahmad, putera semata wayangnya."Hasyim, aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum memberikan jawaban.""Iya. Aku siap mendengarkan."Berlian lalu menarik napas dalam-dalam kemudian memulai sesuatu yang hendak ia sampaikan."Syim, dulu sebelum aku menerima pinangan ayah Ahmad, rasa yang ada dalam hatiku murni karena Ahmad. Bayi kecil yang masih merah bahkan masih bau darah ditinggal meninggal oleh ibunya. Persis dengan kondisiku. Aku ingin menjadi ibunya yang siap merawat dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan satu-satunya cara hanyalah menikah dengan ayahnya. Seiring berjalannya waktu, orang-orang bilang kami mirip. Bisa jadi karena cinta yang sudah melekat, aku tak pernah menganggap Ahmad sebagai anak sambung meski aku sendiri sampai sekarang belum bisa punya anak. Tanganku merawatnya dan lisanku mendoakannya hingga ia berlimpah kasih sayang hingga detik ini. Sekarang, saat Allah mengambil ayahnya kembali, cintaku se
Bangkit aku dari sujud lalu duduk kembali di kursi, tak hentinya tangan ini menyapu mata yang terus berair. Aku terharu, bahagia, campur aduk rasanya di dalam dada ini."M-makasih, Lian.""Iya, Syim. Aku yang seharusnya berterima kasih, kamu datang di saat yang tepat.""Begitu juga denganmu.""Pak, terima kasih banyak." Aku menoleh ke Ayah Berlian."Keputusan ini sepenuhnya mutlak Berlian yang tentukan. Bapak hanya sekadar memberi saran saja. Ternyata ia memutuskan untuk menerimamu. Alhamdulillah.""Insya Allah aku akan pulang mengabarkan pada orang tua, kemungkinannya hari ini juga. Ada speedboat yang bisa disewa untuk balik nanti, tidak mesti menunggu jadwal perahu besok.""Oh, iya. Speedboat milik juragan ikan di sini, kapasitasnya hanya empat orang.""Iya, Pak. Waktu kunjungan kedua aku naik itu karena sudah ketinggalan perahu dompengnya.""Syim, sampaikan salamku sama Mamak dan Bapak.""Iya. Salam dari calon mantu. Begitu?" Berlian langsung menunduk. Mungkin malu. Tapi, mengapa p