Share

-NOW ARE YOU MINE-

Sebelum mendengar penjelasan Livia. Rama, benar-benar pergi meninggalkan Livia di ruang pribadinya itu. Niat awal Livia adalah hendak pergi menuju sekolah, namun perkataan Rama dapat menyayat hatinya kecewa, Livia bahkan menahan tangisnya di sepanjang jalan menuju sekolah.

'Andai Papa ngertiin gue sedikit aja ...,' 

' ... Gue udah cukup kesepian, semenjak Mama, sama Kaka pergi! Dan sekarang, di saat gue udah punya sumber kebahagiaan? Gue harus kembali jauh dengannya?'

Matanya kini memerah, menggenang air mata yang dia tahan. Livia berusaha menekan kedua rahangnya, menahan semua rasa sakit yang dia lalui.

'Udah cukup.' 

Livia seperti digiring dalam kesepian yang kekal, di paksa untuk berpisah dengan Rafael. 

Rafael yang melihat Livia, kini mulai tersenyum cerah, 

"Livia!" teriak Rafael dari kejauhan. Namun, entahlah Livia sama sekali tidak mengdengarnya, membuat Rafael mempercepat langkahnya.

"Heh! Sayang" ucapan ulangan itu kembali terdengar dari bibir Rafael.

"My Queen?" 

Kebudekan yang Livia lakukan membuat Rafael menggibaskan lengannya dihadapan wajah Livia. Namun, lagi-lagi semua itu gagal.

"Why?" gumam Rafael heran.

Livia terus berjalan menuju kelasnya, menghiraukan apa pun yang Rafael lakukan. Namun, Rafael memang bukan lelaki yang mudah menyerah,dia terus memanggil nama Livia tanpa henti.

"Livia?" panggil Rafael sembari mengikuti langkahnya kembali.

Kini langkah Livia menuju meja yang biasa dia duduki, Rafael mengikutinya juga duduk di hadapannya, memandangi Livia yang bersikap sangat aneh.

"Kenapa lagi?" tanya sekali lagi Rafael,

"Mau taruhan? Siapa yang paling lama ga ngomong? Kalo gitu, lo yang menang! Mana mungkin gue bisa?"

"Gue ga bisa liat lo dengan sikap yang lebih dingin lagi sama gue, please!" 

"Nggak papa. Lo balik ke meja lo aja ya," jawab Livia sembari tersenyum tipis.

[Ha?!] Jarang sekali Livia menarik bibirnya tersenyum di hadapan seseorang. Ini adalah pertama kalinya Rafael melihat semua itu,

'Ga beres nih!' begitulah pikir Rafael berulang.

"Sini ikut sebentar!" Rafael yang cemas mulai mengajak Livia pergi, menyeretnya agar menuruti apa yang dia inginkan. 

"Mau ngapain sih?" tanya Livia.

Merasakannya saja Rafael sudah tahu, jika Livia hari ini betul-betul tidak bertenaga. Tidak melawan ataupun bersikap kesal terhadapnya. Livia tidak banyak bicara, dia mengikuti alur yang Rafael tuntun untuknya.  

"Bilang!" lontar Rafael setalah sampai pada Rooftop yang sekolah sediakan.

Rafael menyimpan tangannya pada bahu Livia, menekannya pelan, hendak menyuruh duduk di kursi yang sedari tadi berada di belakangnya. Livia dengan gampang terduduk manis, menuruti segala yang Rafael perintahkan padanya.

"Gue? Mau lo diemin lagi?" tanya Rafael sambil menunjukan wajahnya yang sedih melihat tingkah laku Livia.

"Engga gitu ...," 

" ... Lagian masa Mas Badboy tingkahnya kaya gini, sih? Gue diemin dikit aja langsung melow?" jawab Livia.

"Dengerin yah, gue mungkin bisa kalau orang lain diemin, atau bahkan gue yang diemin mereka. Tapi gue ga bisa kalau lo yang diemin gue!" tegas Rafael.

Mendengar semua itu, hati Livia seperti tersayat. Dirinya sangat merasa bersalah atas sikap yang dia keluarkan. Namun, dia mengelak, tidak menjawab semua pernyataan Rafael.

"Ngapain, ngajak gue kesini?" 

Rafael menghela nafasnya,

"Lo, ada masalah kan?" 

Livia menyergit, 

"Gue? Engga ko, ngawur banget sih!" 

"Coba, kalo iya gaada. Lo harus ngomong sambil natap mata gue! Sini ngomong, dan gue bakal percaya," pinta nya.

"Ngapain? Gamau! Dimata lo, kan ada beleknya," Livia mengatakan semuanya dengan santai di hadapan Rafael.

Rafael memelotot tak percaya, 

"Sialan! Gue serius Livia!" pintahnya sekali lagi.

Dia tau sejak pagi tadi, matanya memerah, menahan genangan air yang sepertinya sudah ingin keluar. Tapi, tak banyak yang bisa Rafael lakukan, dia hanya bisa menunggu Livia untuk bercerita kepadanya.

"Yauda, kalo gamau nyerita gapapa. Gue gaakan maksa lo, ko. Tapi lo harus tau, gue gabisa liat cewe yang gue sayang kaya gini," ujarnya. 

Sedetik setelah hembusan nafas yang begitu panjang, akhirnya Livia mulai memanggil nama Rafael lembut. "Raf ...,"

" ... Gue sayang sama lo, ta-tapi gue gabisa terima lo,"

Terus, terus menahan air matanya agar tidak terjatuh. Livia menggigit pelan bibirnya, berusaha menahan semua rasa pahit itu. 

"Maksud lo apa sih?" kaget Rafael,

"Liv, untuk beberapa masalah, lo gaakan jadi lemah, cuman gara-gara air mata yang jatuh. Lo malu? Gue bisa ngebelakangin lo, lo boleh nangis, lo boleh berbagi. Lo ga boleh lewatin semuanya sendirian, walau gue gatau apa masalah lo, tapi ...,"

Rafael memutar badannya membelakangi Livia.

" ... Sekarang lo boleh nangis, gue udah putar badan gue. Biar lo bisa leluasa,"  

Livia kini bisa melihat punggung Rafael yang lebar juga kekar, membelakanginya. Untuk beberapa detik, ucapan Rafael benar-benar membuat hatinya begitu rapuh. Tenggorokannya mulai panas, matanya memerah dan bibirnya bergetar menahan tangisan. Tidak sanggup lagi, pada akhirnya Livia menjatuhkan air matanya.

Menangis dengan punggung kekar yang bersedia menyaksikan kelelahan itu. Livia mulai tersedan-sedan dengan suara yang begitu sakit, lengan hingga ujung kakinya kini bergetar tidak karuan. Dia menutup kedua matanya menggunakan tangan.

Suara isakan tangis yang begitu sakit terdengar oleh Rafael. Dia tidak tau apa alasannya, namun dia seperti merasakan apa yang Livia rasakan kini. Hatinya berontak ketika mendengar isak tangis gadis yang ia sayang mulai tersedan-sedan. Rafael memilih membalik badannya, menarik Livia kedalam dekapannya erat. Rafael berusaha mengelus perlahan punggung gadis itu. Dekapan itu terasa sangat nyaman bagi Livia, dia terus menumpahkan air matanya, menumpahkan seluruh kesedihan yang ia sembunyikan sebelumnya.

"Gu-gue, gu-gue kesel banget. Gu-gue gamau pindah, dan gu-gue pengen sama-sama terus sama lo," ucap Livia yang tersedan-sedan.

Rafael yang mendengar perkataan yang datang dari mulut Livia, hanya menepuk dan mengelus bagian kepala gadisnya berulang.

"Iya-iya. Gue bakalan selalu di sini,"

Livia kini mulai melepaskan pelukannya, mulai menatap Rafael sendu dengan pipinya yang basah.

"Raf, but we can't be with. Papa will send me to Australia if I'm still close to you," 

"Hah? Kenapa?"

Livia memiringkan kepalanya, meletakkannya di bahu Rafael. Livia kini mulai menjelaskan tentang keadaan dirinya, menceritakan apa yang Rama pikir tentang siapapun yang mendekati keluarganya. 

"Liv, kamu itu anak yang baik, ga seharusnya lo nutup diri sama orang lain. Oke, untuk kali ini kita bakal hadapin bareng-bareng!"

Livia yang mendengar kata kata itu sempat terheran-heran dan kagum. Dari sekian banyak laki-laki, Rafael adalah orang yang sempat dia benci, tapi pada akhirnya dia adalah orang pertama yang memberinya semangat.

Kali ini dekapan itu berasal dari Livia. Wanita itu dengan tiba-tiba memeluk Rafael, mengucapkan terima kasih dan menguatkan dekapannya. Rafael yang kaget hanya bisa membalas pelukan Livia, tersenyum.

"Makasih, lagi!" ujar Livia sambil menatap wajah Rafael, tersenyum.

Rafael yang melihatnya hanya bisa melontarkan senyumannya dan memeluk lebih dalam. Menikmati beberapa detik kehangatan yang Livia berikan.

"Masuk kelas yu," ajak Rafael.

"Iya, ayo!" jawab Livia, melepas pelukannya.

"Jangan nangis lagi ya, kalo ada masalah nyerita aja, jangan di simpen sendiri!" ujarnya memegangi pipi Livia, menghapus bekas air mata yang membasahi pipinya.

Livia hanya menganggukan kepalanya. Mereka akhirnya memasuki kelas dan memulai mengikuti pelajarannya. 

*

Sekolah pun selesai dan bel pulang berbunyi. 

"Raf, balik? Main PS yuak," ajak Aka 

"Lo aja deh sendiri, gue ada urusan nih," 

"Anjeng kau, so sibuk banget sih!" kesal Aka

"Uda yah, gue duluan."

Perginya Rafael di sertai tepukan pelan terhadap bahu Aka, menandakan dirinya pamit.

"My Queen!" teriak Rafael kepada Livia,namun Livia tak kunjung mendengarnya.

"Eh kan, di anggurin lagi," gerutu Rafael terus menyamai langkah Livia.

"Heh! Ga denger gue ya?" kesalnya memiringkan kepalanya pada Livia dengan matanya yang memelotot.

Livia yang kaget mulai terjerit,memukul Rafael,

"Astaghfirullah, Hantuuuuu!" 

"Aww, sakit anjir," kesal Rafael mengelus pipinya kesakitan.

"Ah, maaf, makannya jangan kaya hantu dong muncul tiba-tiba gitu," kesal Livia kembali.

"Gue udah panggil lo. Lo nya aja budeg. Mana gue digeplak lagi, jahat banget sih pacar gue." ucapnya sambil mengelus wajah yang kesakitan

"Ah, kasian pacar gueeeee," ujarnya gemas.

"Tapi gue ga punya pacar tuh," sambungnya.

"Ihhhh, gue di gosting nih gue!" kesal Rafael.

Terkekehnya Livia terhadap Rafael, 

"Lo, emang ghost kan?" 

"Heh, sembarangan!" 

"Gue pengen pegang tangan lo, lo jangan nolak! Ini permintaan pertama dari pacar lo yang ganteng ini!" 

Rafael mulai menggenggam tangan Livia perlahan, 'HANGAT' itulah yang keduanya rasakan. Kehangatan juga kenyamanan, ada dalam diri mereka, melengkapi satu sama lain di dalam kekurangannya.

*

"Udah nyampe," ucap Livia.

"Iya, cepet banget," kesal Rafael.

"Yauda gue pamit yah, My, Prince" ucap Rafael sambil meninggalkan Livia.

Sembarinya dia pergi, dia terus menggerutu,berharap Livia memanggil namanya kembali.

'Ayo panggil gue dong, Liv!'

"Raf!"

Panggilan itu benar-benar terjadi, Livia yang tiba-tiba memanggilnya. Semua itu, membuat Rafael tersenyum lebar, sebelum membalik badannya.'Yes'

Kagetnya Rafael melihat Livia yang mulai berlari mendekati Rafael, mulai memeluknya beberapa detik, berbisik pada daun telinganya.

"Now, you are mine, oke! ...,"

" ... See you tomorrow" ucapnya.

setelah mengatakan semua itu, Livia mulai berlari membalik meninggalkan Rafael. Dia tersipu dengan kelakuannya sendiri, yang tidak sadar telah melakukan hal ektrim. 

'Hah, ektrem. Gue ngapain kaya gitu? Malu Liv, malu ....'

Livia menggerutu kesal juga malu.

"Hahhhh, gila nih ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status