Share

-SEMUA PENGEN KAYA KAMU-

>>>

Hari berikutnya berjalan seperti biasa, sudah satu bulan berlalu. Semenjak hari itu, hari di saat Livia mulai membuka dirinya terhadap Rafael. Livia mengurungkan niatnya setelah mendapati pesan entah dari siapa itu. Dia kembali bersikap dingin juga acuh terhadap Rafael. Namun, laki-laki itu tak sedikitpun menyerah, dia selalu mengikuti Livia kemanapun dia pergi, membuat ricuh kehidupannya.

Kemanapun Livia pergi, dia terus bertemu atau mungkin melihat Rafael yang selalu dia pergoki sedang mengikutinya. Rasanya jengkel juga, namun apalah daya. Sikap Rafael yang degil itu, membuat dia susah untuk di hentikan.

"Livia!" teriak Rafael memanggil Livia yang sedang duduk di antara angin sepoi di siang hari.

Livia meoleh datar, melihat  Rafael yang sedang berlari mendekatinya.

"Hem ... Apa?" tanya Livia setelah Rafael sampai.

"Gausah judes, udah! Ga abis-abis tuh sikap dingin lo," lontar Rafael.

"Oke, sekarang, Mau apa?" Livia mengangkat alis kanannya, memperhatikan Rafael.

"Nih, minuman buat lo!" ujarnya sambil mengulurkan lengannya, memberikan satu botol minuman coklat.

"Oke, makasi."

Livia membawa Minuman yang Rafael berikan, membukanya perlahan juga meminumnya.

Rafael memperhatikan Livia saat meminum minuman yang dia berikan, rasanya sangat indah melihat seseorang yang di cintai menghargai apa pun pemberian kita.

"Manis kan?" tanya Rafael sembari tersenyum lembut.

Livia mengangguk,

"Iyalah. kan cokelat seduh," jawabnya.

"Bukan gara-gara itu, Liv!" elak Rafael menggeleng.

"Hah? Apa dong?"

"Gara-gara lo minum sambil liat muka gue lah," Rafael terkekeh dengan wajah tanpa dosa, memperhatikan ekspresi yang Livia keluarkan.

"Hah? Elah. Padahal gue serius juga," kesal Livia sambil meminumnya kembali.

"Gue juga serius, kali!" jawab kembali Rafael.

Terlihat sisa coklat berada di ujung bibir Livia. Rafael dengan gesit mulai mengulurkan tangannya, berusaha menghapus noda coklat itu. Namun, Livia yang kaget mulai menangkis lengan itu.

"Ngapain sih?" tekan Livia kesal.

"Diem deh, lo kalo minum tuh jangan kaya anak kecil dong. Itu di bibir lo ada bekas coklatnya," ujar Rafael dijulurkan tangannya kembali, menyentuh bibir Livia.

"Eh? udah-udah. Gue bisa sendiri ...," Livia mulai menghentikan gerakan Rafael.

" ... Gue duluan."

Sepertinya Livia benar-benar gugup, tak habis pikir apa yang telah Rafael lakukan. Perasaannya kini tidak karuan, pipinya mulai memerah seperti tomat, juga hatinya yang menggerutu tiada henti.

'Ngapain si tuh anak, baru kali ini ada cowo yang berani sama gua ...,'

' ... Kalo dari deket, emang dia ganteng sih,'

'Eh apaan sih Liv , sadar Liv, sadar!'

Melihat tingkah laku Livia yang tersipu itu membuat Rafael tersenyum gemas.

"Huhu, masyaallah lucu banget Liv. Fiks deh harus jadi doi gue!" gerutu Rafael.

*

Jam sekolah pun berakhir, Livia bergegas untuk langsung pulang. Karena Rama sepertinya sudah kembali dengan beberapa orang pernting itu. Tidak lupa dengan kenyataan tentang kehidupan Livia, selalu saja ada beberapa staf yang menyambutnya saat pulang, lalu memberikan beberapa baju ganti untuknya.

"Aku pulang!" ujar Livia.

"Cepet ganti baju! Bentar lagi sesi potret di mulai," pintah Rama sembari memberikan satu baju untuk Livia.

"Iya."

Memang untuk setiap harinya, dia tidak bisa beristirahat setelah pulang sekolah. Semakin remaja, dia terus semakin sibuk dengan pekerjaannya, sehingga menghiraukan waktu istirahat.

'Apa gue gabisa, main kaya orang seumuran gue?' gumamnya kesal.

Rama terlalu tegas pada Livia, sehingga membuatnya sedikit tertekan. Apalagi dia memang tau sejak awal prilaku Rama seperti apa. Ketegasan dan keinginannya tidak dapat di ganggu gugat, walaupun sikap lembutnya terhadap Livia, jika telah menyangkut pekerjaan, apa pun bisa berubah.

Pemotretan untuk kali ini selesai begitu cepat, hari pun sudah mulai gelap. Livia yang kesal, lebih memilih untuk mencari angin segar, mengelilingi taman untuk meregangkan pikiran yang tertumpuk itu.

"Cape banget hidup. Tiap kali harus di atur sama Papa, tiap hari, tiap waktu, tiap detik. Dia selalu mantau gue. Nyuruh gue ini lah, itulah," kesal bercampur lelah.

"Kalo Mama ga pergi. Mungkin gaakan kaya gini kan? Tapi gue juga kasian sama Mama," sambungnya kembali

"Kesel banget, tapi!" Livia mulai bermonolog sendirian. Duduk di antara kursi kosong yang tidak begitu ramai.

Kekesalan itu tidak terasa sampai menjatuhkan beberapa tetes air matanya. Semua itu terjadi begitu saja, entah dirinya yang sudah tidak kuat menahan rindu ataupun segala yang selama ini dia lalui sendirian.

Tak jauh dari situ, Rafael yang sedang berjalan dengan Aka. Nampak melihat Livia yang sedang sendirian di taman itu. Dia segera berpamit meninggalkan Aka.

"Ka, gue duluan yah," pamit Rafael sembali meninggalkan Aka.

"Eh, Raf mau kemana?" tekan Aka melihat Rafael yang tiba-tiba pergi.

Betul sekali, Rafael hanya melihat Livia berada tanpa mengingat kenyataan bahwa dirinya bersama Aka, Dia meninggalkan Aka tanpa rasa berlasah.

"Ngapain anak cewe malem-malem di taman? Sendirian lagi," lontar Rafael sambil duduk di sebelah Livia.

Livia yang sontak melihat ke arah suara itu, tanpa sadar belum menghapus bekas air matanya, melihat Rafael yang tiba-tiba datang dan berada di sebelahnya. Sungguh laki-laki ini membuat Livia sulit berfikir.

Terkejutnya Rafael yang melihat pipi Livia kini dibasahi oleh air mata,

"Lah, lo kenapa?"

"Eh, elo? gue gapapa ko," jawab Livia sambil menghapus bekas air matanya.

"Serius? ...,"

" ... Gue liat lo ga baik-baik aja sih," Matanya kini terus memandangi Livia tanpa memalingkan sedikitpun ke arah lain.

Livia benar-benar tidak mengerti dan tidak tau harus berbuat apa.

"Kenapa sih? Lo baik banget sama gue? Gue kan ga pernah baik sama lo, gue bersikap dingin dan cuek, tapi kenapa lo baik banget?" Mata Livia mulai bergetar, sudah cukup banyak hal yang dia tutupi, hal yang membuatnya sakit. Namun orang ini, dia selalu berada di sampingnya.

"Karena, gue suka sama lo!" celetuk Rafael.

"Ngapain sih? gausah becanda!" titah Livia.

Rafael menggeleng, dia memegangi lengan Livia dan tersenyum lembut.

"Gue ga becanda Liv. Gue gaakan maksa lo, ko. Lo boleh pikirin semua nya," paparnya.

Mata Livia kembali bergetar mendengar ungkapan perasaan Rafael, tidak di sangka secepat ini Rafael akan berbicara. Dan setelah waktu yang cukup lama dengan sikap Livia yang tetep dingin, namun tetap saja Rafael teguh.

"Makasi ya, Lo tuh temen pertama gue yang bertahan. Lo itu laki-laki yang baik, gue  gamau kehilangan lo, tapi gue ga bisa  jawab semuanya sekarang," jawab Livia.

"Gapapa," jawab Rafael tersenyum lembut.

"Terus lo disini ngapain? Mana kek abis nangis lagi?" tanyanya kembali.

"Ah itu? Gue cuman nyari angin malem. Tapi tadi debu masuk ke mata gue, makannya kelilipan," elak Livia untuk menjelaskan yang sebenarnya.

"Kelilipan?"

"Iya,"

"Coba sini!" titahnya juga mulai bergeser mendekati  Livia

"Mau ngapain?" kaget Livia melihat gerakan Rafael.

"Diem dulu!" Rafael yang sontak membuka mata Livia dan meniup perlahan matanya dengan lembut.

"Udah kan? Gasakit lagi?" tanya Rafael kembali.

Livia benar-benar kaget, dia terdiam untuk beberapa saat, memandangi Rafael yang lebih dekat dari sebelumnya.

"Gue gapapa ko, makasi," jawabnya masih setengah terdiam.

"Syukur deh," jawab Rafael tersenyum.

"Lo seneng banget ya, senyum gitu ke cewe?" tanya Livia.

"Nggak ko. cuman ke elo aja,"

"Lo bego ya?"

"Ko bego sih?"

"Ga mikir banget ngomongnya," ucap Livia tersipu malu.

"Gapapa, kan cuman ke lo!"

Tanpa mendengarkan perkataan Rafael, Livia hanya mengelak, memalingkan wajahnya, juga mengalihkan pembicaraan. Beralasan untuk kembali pulang.

"Gue pulang duluan yah," ujar Livia hendak beranjak pergi dan melambaikan tangannya.

"Tungguin gue! gue anterin lo" jawab Rafael sambil menahan lengan Livia.

Livia menggeleng,

"Gapapa, gausah," namun wajah menyeramkan yang Rafael buat berhasil membuat Livia kaget.

"Iya, yaudah ayo," jawabnya dengan terpaksa.

"Nah gitu dong!"

Kini Livia benar-benar tidak peduli siapa pun yang telah memberinya pesan, dia tahu jika sang Ibu, tidak mungkin membencinya karena keputusan Livia dulu. Seperti ini saja sudah menjadikan Livia bahagia, berjalan bergandengan dengan Rafael juga mulai bercerita hal yang membosankan.

"By, gue balik dulu ya," pamit Rafael yang terus menerus memberi senyuman manis terhadapnya.

*

"Tadi malem kamu dari mana?" Tanya Rama sambil menatap livia.

"Nyari angin aja ko," jawab Livia

Entahlah, masih pagi rasanya, namun Rama sudah menyuruh Livia untuk menemui dirinya.

"Gausah bohong, Papa tau ko. Akhir-akhir ini kamu deket sama satu cowo kan? Papa kan udah bilang kamu ga usah main-main ga jelas!" tegas Rama.

"T-tapi Pa, Livia juga pengen rasain apa yang dirasain temen-temen Livia. Main dan have fun bareng," jelas Livia.

"Kamu tau? Semua orang itu pengen hidup enak kaya kamu, dan kamu pengen kaya mereka? Papa gapeduli alasan kamu apa! Kamu itu satu-satunya buat Papa sekarang, kamu harus jadi modeling yang sukses, jadi penerus di perusahaan kita!" Jelas Rama  panjang lebar dan menekan nadanya di setiap kalimat.

"Ta-tapi yah-"

"Pokonya Papa gamau liat kamu deket sama siapa tuh? Temen cowo kamu. Kalo Papa tau, Papa bakal kirim kamu ke Australia, biar kamu diem disana dan bisa lebih fokus sama karir kamu!" ancam Rama

Lengan Livia mengepal kesal, air matanya terjatuh mendengarkan semua hal yang Rama katakan.

"Gue harus gimana? ...."

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status