Share

@+62XXXX

"Jadi kan?" tanya Rafael kembali.

Livia menyergit menanggapi semua pertanyaan Rafael.

"Jangan-jangan lo, lupa?" tanya kembali Rafael memastikan.

Livia menggeleng,

"Apa?" tanyanya kembali datar.

"Iya, kan, kamu beneran lupa," Rafael kini mengerang kesal, menampilkan raut wajah marahnya.

"Kan udah janji," sambungnya

"Bentar ...," tahan Livia yang berusaha mulai mengingat, kapan dia menjanjikan sesuatu hal yang ekstrem. (HA!) Benar, dia menjanjikan semua itu saat berusaha mengusir Rafael kemarin malam.

'Kenapa bisa gue ngomong gitu,' batin Livia merintih, karena ketakutannya pada malam itu, dia mulai berbicara omong kosong, dan semua itu Rafael anggap serius?.

Livia menghela nafasnya prustasi,

"Gue becanda, masa iya gue beneran!" tolak Livia datar.

Rafael mengangkat satu alis kanannya, dia memegangi lengan Livia, menampilkan raut wajah yang sangat marah kepadanya. Lensa mata diantara mereka saling bertemu.

"Matanyaaaa! Gue colok, baru tau rasa, lo!" tantang Livia.

Bukannya alih-alih membuat Livia menurut, itu semua hanya menjadikan Livia lebih menantang. Kini yang Rafael bisa lakukan adalah menampilkan raut wajah kekecewaan dalam dirinya.

"Oke. Ternyata, lo itu type orang yang ga suka tepatin janji," lontarnya pergi meninggalkan Livia sendiri.

"Rafael!" teriak Livia, sebelum Rafael betu-betul menjauh. Ternyata ucapan itu berhasil mengguncang dirinya, bagaimana mungkin ucapan mengesalkan itu, sanggup Livia tahan.

Rafael tersenyum sebelum membalik badannya,

'Kena, kan, lo!' pikir Rafael yang kini merasakan keberhasilan dalam dirinya, kali ini dia dapat membuat Livia meng iyakan ajakannya.

"Iya, kenapa?" jawab Rafael.

"Y-yaudah ayo!"

"Nanti malem gue tunggu, di taman yah!" papar Rafael girang, dia kembali berjalan dengan melompat senang.

"Skakmate," decak Livia kesal.

>>>

Malam telah datang, bersama indahnya bulan purnama yang terang, dihiasi bintang-bintang yang bertaburan. Berkali-kali getaran dari gadget Livia datang, namun belum satu pun yang Livia lihat.

"Untung aja, malam ini Papa ada tugas di luar kota," gumam Livia yang  sedang bersiap-siap.

"Gue aman!" sambungnya.

Livia mengambil gadgetnya, berniat memeriksa siapa saja yang memberinya pesan, sampai-sampai getaran itu tak berhenti bergetar.

@FROG 🐸

Liv!

Udah siap kan?

Hati-hati di jalannya,

Gue tungguin di tempat janjian, yah!

Cepet ... Gue kangen!

Oh iya, jangan dandan terlalu cantik, gue takut sesek,

Seeyou, My Prince<3.

Yang benar saja, semua getaran itu berasal dari pesan Rafael seorang. Livia menggeleng tidak percaya, dia mulai terkekeh melihat kelakuan lelaki satu itu.

@Liv

Heh! Berisik! Gue otw sekarang.

Livia kini mulai melangkah menjauhi rumah gedongnya, berjalan ke arah taman. Mencari-cari sosok Rafael yang menyebalkan di seluruh taman itu.

"Disini, Liv!" teriak Rafael yang tengah terduduk di square table, pemandangan malam hari memang sangat berbeda. Melihatnya saja membuat Livia takjub. Rafael memberikan senyuman lembutnya, tersorotnya wajah itu dengan remang-remang lampu taman ini membuat Rafael sangat manis. Livia saja sempat terdiam sejenak, sebelum melangkahkan kakinya kembali.

Dari sudut pandang Rafael, Livia juga tak kalah cantik dari hari-hari biasanya, atau foto-foto hasil potret Livia yang biasa Rafael lihat di papan Billboard. Dirinya mulai terkesima, takjub. Sempat ternganga, sebelum kembali tersenyum.

Kecanggungan hampir saja menguncang keduanya, namun Rafael tidak menginginkan hal itu mengganggu waktu teristimewa dalam hidupnya.

"Kangennnn," ujar Rafael memanjang, bersikap manja  pada Livia.

"Hah! Udah gede juga? Kaya bocah," jawab Livia ketus.

'Syukurlah, semua kembali' pikir Rafael tersenyum manis.

Livia yang memperhatikannya saja sampai menyergitkan keningnya heran.

"Kenapa?" tanya Livia.

"Lo, cantik banget," papar Rafael secara  terang-terangan.

Wajah Livia mulai memerah, sepertinya dia tersipu malu, sampai detik ini pun tidak ada seseorang yang senekat ini dengannya.

Dia memejam sesaat,

"Ka, gue pengen pesen dong!" teriak Livia mengangkat tangannya, memanggil waiter.

Memperhatikam gelagat Livia, begitu membuat Rafael senang, untuk pertama kalinya dia merasakan jatuh cinta pada seorang gadis. Dengan hatinya yang tulus juga pengorbanan yang menyusahkan.

'Ahhhh, gemes.'

Batin Rafael, pikirannya hanya terus memutar raut wajah gemas Livia saat tersipu, wajahnya yang mulai memerah seperti tomat, dan sikapnya yang seolah salah tingkah.

'Cewe ini gemes banget please! Gue nyaman sama lo, Liv.'

"Raf!" panggil Livia, suara itu seperti tidak terdengar saat Rafael memandangi Livia. Benar-benar fokus dengan satu tujuan (xixi), Livia mengencangkan suaranya, memukul Rafael kesal "Raf, ih!"

Rafael akhirnya tersadar, dan mengedipkan matanya, mulai bertanya kembali apa yang Livia katakan, "Hah? Kenapa?"

"Lo, ngelamun yah? Pesen apa?"

"E-enggak. Samain aja deh," jawab Rafael mengelak sebisanya.

Sambil menunggu pesanan, Rafael mulai melontarkan beberapa obrolan ringan, dengan suasana malam yang sangat indah, membuat keduanya sangat releks menikmati pemandangan itu. Setelah minuman yang mereka pesan datang, mereka tetap meneruskan obrolannya sambil menikmati minuman segar itu. Juga sesekali saling memandang takjub dengan wajah yang berada di hadapannya. Keseruan itu terus berjalan, melibatkan waktu menjadi berlajan lebih cepat.

"Udah malem, pulang yu!" ujar Rafael.

Waktu seakan memaksa untuk memisahkan mereka berdua, menghentikan keseruan yang mereka obrolkan. Tak banyak, cuman obrolan receh yang sesekali membuat terkekeh karena tak dapat di mengerti.

"Sebenernya gue gamau pulang. Tapi ini udah malem, lo harus istirahat," ujar Rafael.

Kejujuran Rafael sangat berharga, Livia kadang memalingkan wajahnya untuk tersenyum, tanpa memperlihatkannya pada Rafael.

"Yaudah sih, besok juga ketemu kan?"

Rafael kembali tersenyum mendengar jawaban yang Livia berikan, jawaban itu terdengar seperti mulai membuka diri untuknya.

"Yauda."

*

"Jangan tidur terlalu malem yah, Liv!" ujar

Rafael mulai melambaikan tangannya. Dia berhendak pulang, namun sebelumnya sempat terus-terusan melambai tersenyum memperhatikan Livia.

"Gue pulang dulu, jangan kangen yaaaa," sambungnya.

"Heh, siapa juga yang bakal kangen sama lo? Gaada!"

"Yaudah, gue pulang dulu yah, babay My Prince!" pamit Rafael.

Kali ini dia benar-benar berjalan untuk pulang, meninggalkan Livia yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Setelah Rafael mulai tak terlihat, Livia menarik bibirnya tersenyum.

'Lo, udah berhasil ... bikin gue mulai buka hati ya, Raf."

Masuknya Livia ke dalam rumah, di barengi dengan getaran gadgetnya kembali, Livia benar-benar menarik bibirnya tersenyum, memikirkan bahwa pengirim pesan ini adalah Rafael.

@+62XXXX

LO GA BERHAK BUAT BAHAGIA ... LO INGET KAN MAMA SAMA KAKA LO PERGI, DAN ENTAH TINGGAL DI TEMPAT YANG NYAMAN ATAU ENGGA. ITU SEMUA GARA-GARA KEEGOISAN LO, KAN ....

Senyuman di bibir Livia mulai pudar, matanya bergetar membaca isi pesan yang ada dalam gadgetnya.

"Ma ... Mama apa marah sama aku? Ma ...."

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status