“Bu Nia ….” Kaki Bu Rt gemetar melihat Bu Nia.
Siapa suruh bawa-bawa anak tampannya Bu Nia sekarang terima akibatnya saat sang induk singa marah.“Mama ke dalam aja ya,” pinta Launa dengan seulas senyum.Melihat aura menantunya berbeda, Bu Nia langsung masuk. Ia ingin lihat seperti apa perkembangan Launa saat menghadapi orang-orang toxic seperti Bu Rt dan Desi.“Desi, Bu Rt. Apa yang kalian lakukan ini sangat menjatuhkan harga diri, harga diri kalian sendiri. Jangan karena selama ini aku diam karena terima apa yang kalian lakukan, aku bukan orang yang suka adu mulut soalnya, aku cuman nggak mau ada omongan aku yang melukai hati orang. Tapi kalau udah keterlaluan aku juga nggak bisa diam. Soalnya bukan cuman satu dua kali, tapi berkali-kali. Aku juga bisa bedain bercanda sama serius.”Kedua orang itu diam karena melihat Launa yang tiba-tiba bicara dengan begitu serius bahkan tidak ada senyu[Sayang. Ada klienku yang datang ke kantor. Aku udah bilang kamu lagi cuti tapi dia mohon-mohon katanya emang impiannya pengen pakai wedding dress rancangan kamu.]Launa menghela nafas panjang laku mengetik pesan balasan.[Ya udah. Kirimin aja nomornya. Nanti aku bahas langsung sama orangnya]Bisa saja Launa langsung menolak tapi ini mengenai impian seorang gadis yang ingin mengenakan gaun impian di hari bersejarahnya. Bukan soal uang tapi karena memang Launa ingin berperan juga dalam hari bahagia seseorang meski orang itu tidak dikenalnya.Mungkin jika ada kesepakatan maka ia akan kembali ke kota hanya untuk beberapa waktu karena ia tidak akan mungkin melakukannya dari sini. Itu pun jika Damar memberi izin, jika tidak maka Launa tidak memiliki pilihan lain selain menolak karena yang utama tetap izin dari suami.[Kalau mau kesini nanti kasih tahu, aku akan jemput.] Damar.Meski dirinya begitu sibuk tapi tidak akan membiarkan istrinya melakukan perjalanan seorang diri, baginya pekerjaa
[Pras, aku percayakan Liliyana padamu. Hanya sementara, nanti aku jemput lagi. Keluarga aku nggak menerimanya, sebagai ayahnya aku minta kamu menjaganya sebentar sampai aku kembali. -Vivian.]Kening Damar berkerut membaca isi dalam surat kecil itu, Launa juga ikut membaca. Ia menatap suaminya dengan lekat.“Mas ….”“Vivian … perasaan aku nggak punya mantan yang namanya Vivian deh. Aku juga nggak pernah begituan sebelum nikah, sumpah,” ujar Damar sambil meremas kertas yang baru saja dibacanya itu.“Lebih jelasnya ayo kita lihat aja. Aku udah capek loh ada masalah terus, aku harap ini juga cuman salah paham.”“Aku juga sama.”Launa sangat percaya pada suaminya, ia tidak ingin berpikir buruk lagi dan membuat kondisinya memburuk pada akhirnya. Mereka sekarang sudah berada di ruang pengawas menunggu stafnya yang sedang mencari bagian CCTV di depan ruangan Damar.Seorang wanita keluar dari lift bersama Liliyana wanita itu berbisik pada Liliyana sebelum meninggalkan anak itu seorang diri. Ha
Amel diminta untuk menunggu Liliyana yang tertidur di mobil sedangkan Damar dan Launa masuk ke dalam rumah sakit untuk menemui Vivian.Vivian yang baru saja diminta untuk istirahat oleh dokter, dibuat kaget dengan kedatangan Damar.“Pras, kamu disini?”“Iya, untuk mengembalikan anakmu itu. Rumahku bukan penitipan anak.”Launa menyelipkan jarinya untuk mengenggan Damar agar lelaki itu tidak dikuasai emosi. Sudah banyak masalah dan sekarang ditambah emosi sudah pasti lelaki itu akan mudah meledak.“Jangan buat ribut, ini rumah sakit dan dia orang sakit, Mas,” bisik Launa.Vivian menatap Launa, ia tidak tahu jika Damar akan datang bersama dengan istrinya.“Aku hanya minta tolong, Pras. Titip Lily sebentar sampai aku pulih nanti,” ujarnya memohon.Sangat jelas jika Vivian tengah sakit, terlihat dari wajahnya yang sangat pucat bahkan wanita itu kurus sekali.Jika bukan karena terpaksa Vivian tidak akan mungkin melakukan hal ini. Ia juga merasa bersalah karena mengganggu kebahagiaan orang l
“Kamu jatuhkan talak, To?” Pak Adi menatap tidak percaya pada menantunya.“Iya, Pak. Maaf, karena saya nggak bisa menepati janji.”Pak Adi tidak bisa menyalahkan Anto, ia sudah bisa menebak jika apa yang terjadi adalah kesalahan Desi. Sejauh ini Anto sudah bersabar pada Desi tapi wanita itu sendiri yang ingin berpisah. Anto tidak ada pilihan selain melakukan apa yang diinginkan oleh Desi karena ia juga tidak ingin terlalu jauh membuat Laras terluka karena dimadu.“Kita bicara lagi nanti. Ayo, pulang.” Pak Adi menjatuhkan pandangan pada Desi yang masih terdiam.Tanpa menjawab ia naik ke atas motor bapaknya.Melihat itu Anto hanya bisa menghela nafas panjang lalu kembali ke rumah karena memang seharusnya ia mengantarkan Laras ke tempat Bu Nia.“Kenapa pulang lagi, Mas? Desi sudah nggak ada?”Anto menggeleng, “tadi ada Pak Adi, Desi ikut bapaknya pulang.”“Mas, kamu masih bisa kembali bersama Desi.”“Nggak. Sejauh ini Mas sering menyakiti kamu, mungkin memang jalannya begini. Kamu nggak
“Itu anak kenapa sih dari kemarin nggak keluar kamar. Apa dia nggak lapar.” Bu Siti beranjak untuk memanggil Desi.Belum sempat ia mengetuk pintu, Desi sudah keluar dengan mata sembab. Penampilannya berantakan, jelas saja wanita hamil ini tengah patah hati. Patah hati berat karena ditalak. Salah sendiri sekarang ia bisa merasakan perihnya disia-siakan.“Kamu kenapa sih? Sedih karena cerai sama si Anto?” tanya Bu Siti penasaran.“Aku capek, Bu. Kepala aku sakit makanya semalaman nggak keluar.”“Capek? Emang kamu dari mana sampai capek segala. Orang biasanya di rumah terus.” Bu Siti mengernyit heran.“Capek karena nggak pernah bisa bahagia,” sahutnya lalu melangkah menuju kamar mandi.Bahagia itu sebenarnya sederhana, cukup mensyukuri apa yang dimiliki bukannya mencari sesuatu yang sulit bahkan mustahil untuk digapai. Damar tak didapat ia pun kehilangan Anto yang bahkan me
“Jordan, Bangs*t! Vivian juga ada dendam apa sih sampai begini ke aku?” Damar mengumpat hampir saja melempar benda pipih di tangannya jika saja Launa tidak menahan gerakan lelaki itu.Damar tidak tahu kesalahan apa yang dilakukannya sampai mendapat kesialan bertubi-tubi, pertama Anto dan sekarang masalah Vivian. Padahal semasa mereka kenal dulu Damar tidak pernah sekalipun mengusik Vivian meskipun memang diakuinya dulu ia pernah mencintai Vivian. Tapi hanya sebatas cinta monyet saja yang langsung pudar setelah tidak lagi di lingkungan yang sama.“Mas, ini rumah sakit. Jangan buat ribut disini. Kita bicara di rumah ya, sekalian bawa Lily untuk diserahkan ke keluarga Vivian.”“Kalau keluarga Vivian menolak, terpaksa kita bawa dia ke panti asuhan. Dia bukan anakku, pasti anaknya Jordan.”Jordan memang terkenal seorang trouble maker jadi bukan hal yang aneh jika lelaki itu berulah tapi apa yang dilihat Damar dalam video itu memang sudah keterlaluan. Jordan membuat Damar mendapatkan getah
“Kenapa, Des?”“Nggak usah aja, aku bisa sendiri.”Desi hendak menutup pintu tapi Anto lebih dulu menahannya.“Nggak bisa, aku nggak percaya sama kamu. Aku juga mau lihat langsung hasil dari dokter.”“Ya udah, pergi aja sendiri.”Anto menghela nafas panjang, “kamu yang hamil, Des. Masa iya aku yang kamu suruh pergi ke dokter sih? Jangan kekanakan gini, udah cukup ya selama ini aku ngalah terus.”“Kalau nggak mau sendiri minta temenin aja sama istri kamu itu.”Karena Anto tidak peka ia masih menganggap Desi itu begitu menyebalkan karena sulit diatur. Anto tidak tahu saja jika wanita yang sedang mengandung anaknya itu saat ini sedang cemburu tapi enggan untuk mengakui kecemburuannya.Desi berpikir harga dirinya akan hancur jika sampai itu terjadi. Dekap saja terus harga diri sampai ia merasa sakitnya karena tidak dipedulikan, laki-laki itu bukan makhluk peka. Jarang sekali ada laki-laki yang bisa mengerti perasaan pasangannya, jika diberitahu baru mengerti jika tidak maka ia akan diam s
“Trauma karena masalah ini?”Damar mengangguk, “di kampung lebih aman, kamu udah nggak diganggu Desi lagi 'kan?”“Emang udah nggak. Tapi kamu yakin memilih tinggal di kampung?”“Iya. Aku juga bakalan ke sana nunggu kerjaan beres. Handle kerjaan bisa dari sana kok. Kalau ada meeting penting baru aku baik ke sini.”Launa juga tidak bisa membantah, ia akan ikut seperti apa keinginan suaminya yang terpenting sekarang tidak ada lagi urusan mereka dengan masalah Vivian dan Liliyana.Bu Nia meminta Launa untuk tinggal lebih lama di kampung seolah-olah tahu jika pergi ke kota ada sesuatu yang akan terjadi. Dan memang benar, ada masalah yang untungnya masih bisa diatasi.Masalah di kampung tidak akan seberat masalah di kota. Di kampung hanya harus pasang telinga tebal agar tidak perlu makan hati oleh omongan tetangga yang kadang nyinyir, memang hal satu ini tidak bisa dipungkiri.“Kapan kira-kira selesai desainnya?”“Dua minggu, aku bakalan selesaikan dalam waktu dua minggu.”“Kamu yakin? Jang