“Itu anak kenapa sih dari kemarin nggak keluar kamar. Apa dia nggak lapar.” Bu Siti beranjak untuk memanggil Desi.Belum sempat ia mengetuk pintu, Desi sudah keluar dengan mata sembab. Penampilannya berantakan, jelas saja wanita hamil ini tengah patah hati. Patah hati berat karena ditalak. Salah sendiri sekarang ia bisa merasakan perihnya disia-siakan.“Kamu kenapa sih? Sedih karena cerai sama si Anto?” tanya Bu Siti penasaran.“Aku capek, Bu. Kepala aku sakit makanya semalaman nggak keluar.”“Capek? Emang kamu dari mana sampai capek segala. Orang biasanya di rumah terus.” Bu Siti mengernyit heran.“Capek karena nggak pernah bisa bahagia,” sahutnya lalu melangkah menuju kamar mandi.Bahagia itu sebenarnya sederhana, cukup mensyukuri apa yang dimiliki bukannya mencari sesuatu yang sulit bahkan mustahil untuk digapai. Damar tak didapat ia pun kehilangan Anto yang bahkan me
“Jordan, Bangs*t! Vivian juga ada dendam apa sih sampai begini ke aku?” Damar mengumpat hampir saja melempar benda pipih di tangannya jika saja Launa tidak menahan gerakan lelaki itu.Damar tidak tahu kesalahan apa yang dilakukannya sampai mendapat kesialan bertubi-tubi, pertama Anto dan sekarang masalah Vivian. Padahal semasa mereka kenal dulu Damar tidak pernah sekalipun mengusik Vivian meskipun memang diakuinya dulu ia pernah mencintai Vivian. Tapi hanya sebatas cinta monyet saja yang langsung pudar setelah tidak lagi di lingkungan yang sama.“Mas, ini rumah sakit. Jangan buat ribut disini. Kita bicara di rumah ya, sekalian bawa Lily untuk diserahkan ke keluarga Vivian.”“Kalau keluarga Vivian menolak, terpaksa kita bawa dia ke panti asuhan. Dia bukan anakku, pasti anaknya Jordan.”Jordan memang terkenal seorang trouble maker jadi bukan hal yang aneh jika lelaki itu berulah tapi apa yang dilihat Damar dalam video itu memang sudah keterlaluan. Jordan membuat Damar mendapatkan getah
“Kenapa, Des?”“Nggak usah aja, aku bisa sendiri.”Desi hendak menutup pintu tapi Anto lebih dulu menahannya.“Nggak bisa, aku nggak percaya sama kamu. Aku juga mau lihat langsung hasil dari dokter.”“Ya udah, pergi aja sendiri.”Anto menghela nafas panjang, “kamu yang hamil, Des. Masa iya aku yang kamu suruh pergi ke dokter sih? Jangan kekanakan gini, udah cukup ya selama ini aku ngalah terus.”“Kalau nggak mau sendiri minta temenin aja sama istri kamu itu.”Karena Anto tidak peka ia masih menganggap Desi itu begitu menyebalkan karena sulit diatur. Anto tidak tahu saja jika wanita yang sedang mengandung anaknya itu saat ini sedang cemburu tapi enggan untuk mengakui kecemburuannya.Desi berpikir harga dirinya akan hancur jika sampai itu terjadi. Dekap saja terus harga diri sampai ia merasa sakitnya karena tidak dipedulikan, laki-laki itu bukan makhluk peka. Jarang sekali ada laki-laki yang bisa mengerti perasaan pasangannya, jika diberitahu baru mengerti jika tidak maka ia akan diam s
“Trauma karena masalah ini?”Damar mengangguk, “di kampung lebih aman, kamu udah nggak diganggu Desi lagi 'kan?”“Emang udah nggak. Tapi kamu yakin memilih tinggal di kampung?”“Iya. Aku juga bakalan ke sana nunggu kerjaan beres. Handle kerjaan bisa dari sana kok. Kalau ada meeting penting baru aku baik ke sini.”Launa juga tidak bisa membantah, ia akan ikut seperti apa keinginan suaminya yang terpenting sekarang tidak ada lagi urusan mereka dengan masalah Vivian dan Liliyana.Bu Nia meminta Launa untuk tinggal lebih lama di kampung seolah-olah tahu jika pergi ke kota ada sesuatu yang akan terjadi. Dan memang benar, ada masalah yang untungnya masih bisa diatasi.Masalah di kampung tidak akan seberat masalah di kota. Di kampung hanya harus pasang telinga tebal agar tidak perlu makan hati oleh omongan tetangga yang kadang nyinyir, memang hal satu ini tidak bisa dipungkiri.“Kapan kira-kira selesai desainnya?”“Dua minggu, aku bakalan selesaikan dalam waktu dua minggu.”“Kamu yakin? Jang
“Kalau nggak ada lagi yang kamu butuhkan, aku pulang.”Melihat Desi terdiam berarti tidak ada lagi yang wanita itu butuhkan, Anto langsung pergi begitu saja meninggalkan Desi yang masih duduk mematung.Reaksi Anto biasa saja, jelas tidak ada ketertarikan soal apa yang dikatakan oleh Launa tadi. Anto tidak ingin lagi menyakiti istrinya, sudah cukup sebelumnya ia selingkuh. Laras terlalu berharga untuk disakiti.Sampai di rumahnya, Anto sudah ditunggu oleh Laras. Meski menunggu hampir satu jam tapi senyum masih tersungging di bibir wanita itu.“Mau makan sekarang, Mas?” tanyanya.“Maaf Mas buat kamu menunggu.”Laras menggeleng, “nggak apa-apa kok, Mas. Kamu harus lebih mengutamakan Desi yang lagi hamil.”“Terima kasih ya. Aku bukannya nggak peduli sama kamu.”“Iya, Mas. Aku ngerti, kamu juga lakuin itu untuk anak dalam kandungan Desi. Aku nggak sabar pengen gendong bayi itu.”Laras mencoba menyembunyikan rasa sedihnya, ia menahan setidaknya sampai bayi itu ada di tangannya. Laras ingin
“Una, Mas Damar. Duluan aja.”Launa dan Damar tidak percaya Desi mengatakan itu tapi mereka juga tidak mau ikut campur dan memilih untuk lebih dulu masuk ke dalam toko.Sedangkan Anto masih berdiri di samping Desi.“Emang bener tukang halu ya kamu. Ngomongnya suami CEO eh ternyata supir, untung nggak sampai gila kamu ngehalu,” cibirnya.“Cukup, Mbak. Jangan sembarangan bicara pada orang hamil!” Anto tidak ingin ada orang yang bicara tidak pantas, masalahnya Desi sedang hamil. Mungkin jika tidak, Anto pun tidak akan peduli.“Ya ampun, suaminya yang CEO eh maksudnya supir ini mau jadi pahlawan kesiangan gitu? Cocoklah kalian, satunya tukang halu satunya tukang tipu. Makanya cari suami itu kayak suami aku, Des. Berpendidikan dan setia. Kiranya nggak mampu nggak usah ngaku-ngaku, Des. Bikin malu diri sendiri aja.” Dengan mudah Lela bicara tanpa peduli wajah Desi yang sudah merah padam menahan amarah yang memuncak.“Saya mengakui saya bukan orang berpendidikan, itu lebih baik daripada anda
“Loh, nelpon kok nggak ngomong.” Anto menatap heran layar ponselnya lalu memutuskan sambungan dan kembali memasukan ponsel itu ke dalam saku celananya.Ia sedang berada di pabrik. Pembangunan pabrik masih berjalan, memakan waktu cukup lama karena memang bukan pabrik kecil yang dibuatnya.Setelah beberapa menit lalu menerima telepon Desi, Anto malah jadi tidak tenang. Ia menelpon balik tapi tidak diangkat.“Pak, saya izin sebentar boleh?” tanya Anto pada Damar yang juga sedang ada disana untuk mengawasi pembangunan.“Kemana, To?”“Tadi Desi nelpon tapi nggak ngomong apa-apa, saya telepon balik tapi nggak diangkat.”“Oh ya udah, pergilah. Takutnya kenapa-napa.”“Terima kasih, Pak.”Takut terjadi apa-apa ia langsung bergegas ke rumah Desi untuk memastikan. Bekerja pun ia tidak akan tenang jika seperti ini. Meski kemarin bertemu, Desi terlihat baik-baik saja namun Anto mengingat Desi yang mengeluh perutnya kram.“Des, Desi!” Anto mengetuk pintu rumah Desi namun tidak ada sahutan.“Tidur k
“Da-leman?” Anto mengenyit tidak mengerti karena Desi bangun tiba-tiba mengatakan soal pakaian dalamnya.Wajah Desi langsung merah apdam, merutuki dirinya sendiri yang refleks bicara seperti itu. Mungkin terbawa obrolannya dengan sang ibu tadi sore.“I-ibu mana?” Memalingkan wajah guna menghindari tatapan Anto, berpura-pura mencari ibunya.“Sudah pulang. Aku meminta mereka untuk istirahat, kasihan juga setelah perjalanan jauh.”Kedua alis Desi saling bertaut, “terus kamu ngapain disini?”“Jagain kamu.”“Aku bisa sendiri kok, nggak usah dijagain segala.” Desi masih seperti biasa, padahal tinggal bilang terima kasih nyatanya begitu sulit.“Kamu harus segera pulih biar bisa lihat anak kita.”Ada desiran aneh saat Anto mengatakan itu. Anak kita, kata yang biasa tapi berdampak luar biasa pada Desi. Ia ingat betul Anto pernnah mempertanyakan soal ayah biologi bayi yang dikandung oleh Desi meski Desi sudah menjelaskan tidak pernah berhubungan lagi dengan lelaki manapun dan terakhir dengan An