Siang ini adalah yang paling terik di separuh bulan menuju akhir April. Antrian di depan gerbang sekolah terlihat mengular. Penjemput yang biasa menggunakan sepeda motor, hari ini memilih mengendarai roda empat mereka untuk menghindari intensitas sinar matahari yang terasa menggigit.
Kulirik sekilas arloji di tangan kiri. Sudah terlambat tiga puluh menit dari jadwal biasa. Zein pasti sudah menunggu dengan cemberut di balik pagar. Lelaki kecilku itu memang paling tepat waktu dalam segala hal. Berbanding terbalik denganku, ibunya yang selalu tergopoh-gopoh di menit terakhir. Aku sedang memikirkan beberapa cara untuk membujuknya jika ia merajuk saat pintu mobil terdengar terbuka. Zein membalas senyumku tidak dengan bibir yang mengerucut seperti dugaanku, tetapi dengan wajah cerah dan tawa semringah yang seketika membawa kesejukan yang sejak tadi tak dapat dipenuhi oleh pendingin udara di dalam mobil. “Maaf, Zein. Bunda terlambat siang ini.” Kupindahkan persneling saat sudah berhasil keluar dari panjangnya antrian. “It’s okay, Bun. Aku tadi cerita-cerita sama Pak Zainul,” jawab Zein menyebutkan nama sang penjaga sekolah. “Oh, ya? Ngobrolin apa?” tanyaku berusaha antusias, sementara konsentrasiku harus beralih lagi pada kemacetan yang menunggu di jalur depan. “Pak Zainul bilang, tiga hari lagi kita puasa,” tutur Zein. “Ustadzah Dira tadi juga bilang begitu di kelas.” Zein sudah berusia delapan tahun, dan ini akan menjadi kali ketiga ia berpuasa penuh waktu setelah Ramadhan dua tahun berturut-turut Zein berhasil mencapai target yang aku berikan, meskipun dengan iming-iming beragam imbalan. “Kalo tahun ini biasa puasa penuh, Zein mau hadiah apa dari Bunda?” tanyaku memberi tantangan. “Apa ya? Sepeda aku udah punya. Tenda camping aku juga udah punya.” Zein bergumam sambil memegang dagunya. “Aku jadi bingung.” “Nggak pengen robot-robotan kayak punya Andra?” tanyaku menyebutkan nama anak tetangga yang sebaya. “Ah, itu sih, mainan bocil,” tolak Zein memancing tawaku. Seenaknya saja ia menyebut begitu, padahal usianya juga masih masuk kategori anak kecil. “Terus, mau hadiah apa, dong?” pancingku lagi. Jalanan di depan macet total sehingga aku bisa memandang wajah polos Zein saat berbincang dengannya. Zein membuang tatap dariku ke arah jendela. Lama ia tak bicara, hingga akhirnya sederet kalimat yang menghunjam dadaku tercetus dari bibirnya. “Aku nggak pengen hadiah, Bun. Aku cuma pengen sahur dan buka puasa sama Ayah kayak iklan di TV. Kapan Ayah pulang?” *** Pikiranku tak bisa terlepas dari kata-kata Zein. Sebuah permintaan yang tak masuk akal. Delapan tahun ini aku berusaha memenuhi apa pun yang dikehendaki Zein. Mulai dari materi, hingga peran ganda semua kulakoni. Tak ada yang tak dapat kuwujudkan meski tidak mudah. Tidak semustahil kemungkinan menghadirkan sebuah sosok yang aku pun tak tahu di mana keberadaannya saat ini. Tidak ada pernyataan berpisah antara aku dan dirinya. Aku tidak pernah menuntut cerai, begitu pun dia. Yang aku tahu, setelah pertengkaran hebat selepas Zein lahir, ia pergi dan tidak pernah kuterima kabarnya sama sekali. Aku terlalu malas untuk mencari tahu. Jika ia merasa ingin kembali, pasti akan pulang dengan sendirinya. Zein hanya tahu ayahnya bekerja di tempat yang jauh. Namun, seiring dengan perkembangan cara berpikirnya, bocah kecil itu mulai bertanya hal-hal yang lebih masuk akal tentang sang ayah. Aku selalu menghindar. Seperti saat ini, rute yang harusnya menuju rumah, terpaksa kualihkan ke sebuah mal terdekat dengan alasan ingin berbelanja persiapan puasa. Untunglah Zein menyambut dengan gembira, hingga perbincangan tentang ayahnya sirna begitu saja seperti tak pernah ada. Setidaknya untuk saat ini, sebelum naluri Zein kembali menagih penjelasan. Keranjang belanjaku hampir penuh saat menyadari Zein sudah hilang dari pantauan. Sudah berkali-kali kuingatkan agar tidak pindah ke rak di jalur lain tanpa didampingi, tetapi Zein tetaplah Zein. Aku harus menyusuri setiap lorong satu per satu untuk menemukan sosoknya. Untunglah tak harus sampai mengitari separuh luas supermarket ini, aku menemukan Zein sedang berjongkok di deretan rak perkakas listrik dengan seorang lelaki dengan posisi yang yang sama. “Zein!” panggilku sedikit nyaring, membuat dua orang tersebut menoleh bersamaan. Bocah kecil itu segera berlari menghampiri dengan sesuatu di tangannya. “Aku nyari ini, Bun.” Zein menunjukkan sebuah kemasan berisi obeng dengan mata yang bervariasi. “Pedal sepedaku ada yang longgar. Om tadi yang bantuin aku milihin obengnya.” Mataku mengikuti telunjuk Zein yang mengarah pada lelaki yang masih sibuk memilah di depan rak. Tatapannya beralih padaku di saat yang bersamaan ketika ucapan Zein menggema di lorong yang hampir tanpa pengunjung ini. Tak sedikit pun lelaki tadi mengalihkan pandangan hingga kusadari ia telah berjalan mendekat. Percikan-percikan di jantungku menyerbu secara cepat. Seharusnya aku beranjak, tetapi kedua kakiku bagai melekat erat di lantai dan tak mampu bergerak. Suara Zein yang berulang kali memanggilku hanya terdengar seperti bisikan, sampai lelaki itu berhenti pada jarak dua langkah di depanku. Aku hafal wajah itu. Meskipun rambut ikalnya sudah terpotong rapi, jeans belelnya sudah berganti celana katun yang tersetrika licin, dan jaket kulitnya sudah bertukar kemeja lengan panjang yang digulung sebatas siku. Aku tidak akan bisa melupakan setiap detail di paras itu meskipun telah bertahun-tahun. “Amara …,” sebutnya pelan. “Aku hampir tidak mengenalimu.” Jantungku berdetak kencang seiring matanya memindai sosokku. Semua masih sama. Sengatan yang sama, getar yang sama. Aroma yang menguar pun melemparku jauh pada suatu masa beberapa tahun silam. Bedanya kali ini, ada sebongkah benci yang menghalangi hatiku untuk jatuh kesekian kali pada tatapan sayu itu. “Radit ….“ Aku bahkan tak bisa mendengar gumamanku sendiri. “Bunda kenal sama Om ini?” Suara nyaring Zein memutus kontak mataku dengan lelaki itu. Aku menoleh pada Zein, diikuti oleh sepasang mata di depanku yang seolah ingin mencari tahu lebih lanjut siapa sebenarnya anak kecil yang sejak tadi penasaran dengan apa yang sedang terjadi. “Let’s go home, Zein.” Kudorong troli tanpa menghiraukan lelaki yang masih berdiri terpaku itu. Aku melangkah begitu cepat hingga Zein mengikuti setengah berlari. “Aku belum beli crayon warna, Bun.” Suara kecilnya memprotes. “Next time, okay. Bunda sedang buru-buru.” Aku masih melihatnya berjalan pelan di belakangku saat Zein meneriakkan ucapan terima kasih padanya. Semoga antrian di kasir tidak padat sehingga aku punya waktu untuk menghilang secepatnya. Sayangnya harapanku sia-sia saat tak satu pun jalur kasir kosong tanpa konsumen. Dengan mudahnya ia ikut mengantri di belakangku, meski tak berusaha untuk bicara apa pun. Aku membayar dengan secepat kilat saat kasir telah memberitahu nominal belanja. Kuabaikan permintaan Zein ingin membeli beberapa makanan di selasar menuju pintu keluar. Aku hanya ingin segera mencapai mobil dan berkendara pulang. Kepanikan menyerang seketika saat tak berhasil kutemukan kunci mobil di dalam tas. Zein hanya memandang bingung dan tak berani bertanya. Aku tidak pernah seceroboh ini biasanya. Kunci itu selalu kusimpan di tempat yang sama, mustahil benda itu bahkan tak ada di sana. Tungkaiku melemas saat dari kejauhan kulihat lelaki tadi mengayun langkahnya menuju ke arahku. Otakku tak terbiasa berpikir jernih dalam keadaan rumit seperti ini. Aku menyerah dan hanya mampu terdiam hingga ia mendekat. “You dropped this.” Tangannya mengulurkan sesuatu. Sebuah kunci dengan gantungan berwarna perak. "Jatuh di depan kasir." Kuterima benda itu disertai ucapan girang Zein yang begitu polos. Aku hanya diam terpaku saat lelaki itu membantu Zein memuat semua isi keranjang belanja ke dalam bagasi. Hatiku bergetar. Pemandangan yang bertahun-tahun kuhayalkan, saat ini sedang terpapar di hadapan. “Terima kasih, ya, Om. Kalo kuncinya nggak ketemu, aku dan Bunda nggak bisa pulang,” ujar Zein sebelum mengikuti naik ke dalam mobil. Aku masih bisa melihatnya dengan jelas melalui kaca spion, berdiri di sana saat mobilku melaju menjauh. Mataku menghangat. Susah payah kutahan air mata agar tidak jatuh di depan Zein yang sedang berceloteh gembira dengan sebungkus jajanan di tangannya. Mengapa setelah bertahun ia pergi, aku harus kembali bertemu dengannya, sementara hatiku sudah hampir terbiasa melupakan? Apakah doa Zein yang mengirimnya kembali? Dan mengapa ia tidak berusaha bertanya apa pun tentangku dan Zein? Hatiku terasa gelap, segelap awan di ufuk barat yang tiba-tiba datang menutupi teriknya mentari siang ini. Kuharap setelah ini akan turun hujan. Sederas mungkin hingga mampu mengguyur habis sisa lukaku yang kembali menganga.Jantung ini bagai tersengat ribuan volt tegangan listrik saat pandangannya beradu dengan tatapanku. Langkahku terayun setengah sadar mendekat ke arahnya. Paras yang sama, sorot mata yang sama, dengan kemasannya yang berbeda. Rambut panjangnya yang indah sekarang sudah tertutup hijab panjang. Lekuk tubuhnya yang dulu selalu kupuja, sekarang sudah terbalut gamis longgar, yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin anggun di mataku. Aku yakin dia adalah Amaraku yang telah kucari dua tahun terakhir.“Aku hampir tidak mengenalimu,” ucapku saat hanya tersisa beberapa langkah di depannya.Dari gerak bibirnya bisa terbaca, Amara menyebut namaku walaupun terlampau pelan untuk terdengar. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan padanya, tetapi tak satu pun yang terucap hingga Amara begitu saja berlalu dari hadapanku. Kuikuti terus langkahnya yang tergesa. Jika tidak khawatir akan terjadi keributan, ingin rasanya kutarik lengan itu untuk berhenti sebentar.Amara terlihat sangat gugup dan terburu
Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku.“Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali.“Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi.“Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku.Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan.“Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin se
Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas
Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein be
Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.“Om ngapai
Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun