Share

Bab 7 - Sulit Menolak

Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.

Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.

Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku memang harus mengganti ban sendiri lagi seperti biasa.

Terik matahari pukul dua belas menyempurnakan segalanya. Dahiku sudah dibanjiri tetesan peluh saat membuka baut ban serep dari bawah mobil. Belum lagi melepaskan ban yang bocor dari besi velg, dilanjutkan mengunci ban yang baru dengan sekuat tenaga. Biasanya semua ini bisa kulakukan dengan baik bila tidak sedang terburu-buru seperti ini.

Di tengah pikiranku yang dilanda kepanikan, telepon genggamku terdengar berdering nyaring. Aku mengabaikan sejenak, yang kuprioritaskan saat ini adalah mengganti ban dan segera menjemput Zein. Namun, kuputuskan untuk menerima panggilan itu pada dering berikutnya.

Sebuah nomor tidak dikenal muncul di layar ponsel, disusul suara kecil Zein yang terdengar dari seberang. Suara kecil itu kemudian berganti dengan suara berat dengan nada sedikit cemas dari seorang lelaki dewasa. Aku terdiam sesaat. Sungguh aku tidak mengira lelaki itu masih berniat menemui Zei hari ini. Dengan sedikit putus asa, kuturuti sarannya untuk mengirim titik lokasiku ke ponselnya. Aku tidak boleh egois untuk menolak. Kasihan Zein jika harus menunggu terlalu lama.

***

Aku masih berusaha membuka baut yang terkunci pada ban mobil, saat Zein dan Radit tiba beberapa saat kemudian. Aku segera berpindah posisi ketika Radit berkata akan mengambil alih pekerjaanku. Ia menggulung dengan cekatan lengan kemeja hingga ke siku, membuka arloji dan mengantunginya di saku celana. Zein turut melempar sembarangan ranselnya ke dalam mobil, lalu berjongkok di samping lelaki itu dengan sangat antusias.

“Perlu kunci yang mana, Om?” tanya bocah kecil itu seolah ia siap bertugas sebagai asisten.

“Yang bentuknya seperti palang.” Radit menjawab sembari ikut memeriksa beberapa kunci yang berserakan di aspal.

Hanya dengan beberapa putaran kunci, ban mobil pun terlepas dengan mudah. Aku berdiri terpaku menatap dua lelaki berbeda umur itu yang terlihat sibuk. Keduanya seketika tidak memedulikanku. Radit meminta Zein memegangi ban yang bocor sebentar, sementara ia memasang ban serep agar dapat digunakan. Zein tertawa senang sekali saat Radit memperbolehkannya melompat-lompat kecil di atas kunci palang untuk memastikan semua baut sudah terkunci sempurna. Aku tak dapat menahan senyum melihat interaksi keduanya. Namun, segera kupasang raut wajah biasa saja saat pandangan Radit berantuk denganku.

“Ra, boleh minta tisu?” Radit menunjukkan padaku jari tangannya yang kotor setelah ia dan Zein selesai membereskan semua peralatan.

“Aku masih punya sisa air minum kalau Om mau cuci tangan.” Zein menyela sebelum aku sempat merespon. Ia langsung beranjak untuk memeriksa isi ransel dan kembali dengan sebuah tumbler berwarna biru tua di genggaman.

Aku jelas salah tingkah dengan semua inisiatif Zein. Kupandangi keduanya yang tanpa canggung saling bergantian menuangkan air untuk membasuh jari masing-masing. Aku baru tersentak saat Zein meminta diambilkan tisu dari dalam mobil.

“Terima kasih, ya,” ucapku pada Radit saat ia telah selesai mengeringkan tangan. “Aku dan Zein pulang dulu.”

Radit mengangguk. Mulutnya terbuka sejenak seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menutupinya dengan tersenyum. “Sama-sama, Ra. Kasih tahu aku kapan pun kamu butuh bantuan.”

“Wajah Om Radit ada noda oli!” pekik Zein lucu saat aku akan mengajaknya masuk ke dalam mobil. “Sini aku bersihkan.”

Bocah kecil itu meraih selembar tisu dari kotak dalam peganganku dan mendekat ke arah Radit. Ia berjinjit separuh melompat hingga Radit pun membungkuk agar Zein dapat mengusap wajahnya. Aku terpaksa membuang muka karena tak dapat menahan hatiku yang seperti teriris saat sepasang mata Radit lurus menentang tatapanku.

“Aku pulang dulu, ya, Om,” pamit Zein pada Radit saat kuberi isyarat untuk bergegas.

“Jangan lupa disimpan nomor telepon Om, ya. Supaya kapan-kapan kita bisa ngobrol seperti tadi.” Kulihat Radit membelai kepala Zein sebelum berpisah.

“Om bisa mampir ke sekolahku, nanti kita cerita-cerita lagi sambil nunggu Bunda datang,” sahut Zein dengan lugunya.

Undangan dari Zein pasti membuat Radit merasa di atas angin saat ini. Aku sengaja memasang raut wajah datar, meskipun tak kupungkiri di dalam hatiku sudah banjir air mata

“Kalau begitu, besok siang boleh, ya, Om mampir lagi ke sekolah.” Radit melirikku sekilas sambil menanti persetujuan Zein.

“Mulai besok aku libur satu minggu. Kan, kita besok puasa.” Zein mengingatkan Radit, juga mengingatkanku sebenarnya, karena aku belum sama sekali mempersiapkan menu sahur untuk malam nanti.

“Kalau begitu, ini buat Zein.” Kulihat Radit meraih dompet dari saku celananya dan menyerahkan dua lembar pecahan seratus ribu pada Zein. “Untuk beli nugget buat sahur dan beli es buat buka puasa,” ujarnya.

“Maaf, Radit. Tidak usah repot-repot,” cegahku dengan sopan.

Buru-buru kuminta Zein mengembalikan uang pemberian Radit. Aku tidak ingin terlalu banyak menerima bantuan darinya jika nantinya akan membuat aku semakin luluh dengan semua perhatiannya. Selama ini aku mampu bertahan sendiri. Aku tidak ingin kedatangan Radit kembali dalam hidupku akan merusak semua ritme yang telah kuatur selama bertahun-tahun.

“Boleh, ya, Bun.” Zein masih menggenggam erat dua lembar uang berwarna merah itu di tangannya. “Kemarin, kan, kita sudah beli celengan.“

Aku menggeleng cepat. “Tidak, Zein.” Kembali kularang dengan nada tegas kali ini.

“Aku mau nabung yang banyak, Om.” Zein menghiraukanku dan berpaling pada Radit.

“Oh, ya? Nanti tabungannya mau Zein belikan apa?” Kini Radit pun tidak mengindahkan protesku dan memilih melayani cerita Zein.

“Mau dikirim untuk Ayah, supaya Ayah punya ongkos buat pulang.” Zein menjawab lugu, persis seperti isi obrolan kami kemarin dalam perjalanan menuju ke rumah.

Aku yakin tak hanya air mukaku, karena raut wajah Radit pun berubah kaku saat mendengar celoteh Zein. Lelaki itu menatapku dengan sorot mata memohon. Aku merasa sedang dihujani berjuta-juta permintaan maaf darinya saat kami bertatapan. Lalu, tanpa dapat kukendalikan lagi, satu per satu cairan bening yang terasa hangat mulai lolos dari sudut mataku.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Juniyanti jhune
kok ngga ada lanjutannya lagi
goodnovel comment avatar
Keke Niezt
up kak,, ditunggu kelanjutan nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status