Share

Bab 4 - Membujuk Rayu

Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.

“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”

Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.

“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”

Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas. Pasti butuh ekstra kesabaran untuk memberinya pengertian. Berbohong untuk menutupi kebohongan yang lalu juga perlu keahlian khusus. Aku begitu bodoh membiarkan Amara berjuang sendiri untuk semua masalah yang timbul karena ulahku.

“Aku akan kasih tahu Zein,” putusku, tiba-tiba saja ide nekat itu berkelebat di kepala.

“Radit!“ Amara menggeleng cepat. “Tidak semudah itu.”

“Lalu?”

“Butuh waktu,” ucapnya dengan nada memohon.

“Untukmu atau untuk Zein?” tanyaku.

“Apa yang kamu perdulikan cuma Zein?” Amara malah balik bertanya.

Aku menghela napas. Kesal pada diriku sendiri yang masih gampang terpicu amarah. Ternyata aku belum berubah dari seorang Radit delapan tahun lalu yang kerap tersulut emosi. Menghadapi perdebatan seperti ini saja aku hampir hilang kendali. Padahal yang harus kuperjuangkan saat ini adalah kepercayaan Amara untuk kembali menyerahkan hidupnya padaku.

“Maaf.” Aku berusaha menatapnya dengan lembut. “Bukan maksudku ingin berdebat.”

“Kamu tidak berubah,” sesalnya akan sikapku.

“Ya, aku masih tetap mencintaimu.” Kualihkan dengan sengaja arah pembicaraannya.

“Kamu selalu egois.” Amara masih meluapkan isi hatinya.

“Harus,” tegasku. “Aku tidak mau kehilanganmu lagi, juga Zein.”

Sepasang mata Amara membulat saat menatapku. Aku yakin ia kehabisan kata-kata untuk membalas ucapanku yang terakhir. Kuikuti ke mana pun arah pandangnya, hingga ia jengah dan tatapan kami kembali bertemu.

“Untuk apa kamu kembali?” Akhirnya Amara menanyakan apa yang sejak dulu kutakutkan.

Aku selalu tidak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini. Berulang kucoba merangkai apa yang mungkin untuk dijadikan alasan. Sebanyak itu pula aku menemukan kebuntuan hanya untuk satu jawaban. Entah itu ego atau sisa kebodohan yang masih tertinggal, saat ini pun aku cuma terdiam dengan bibir kelu tanpa suara.

“Kondisi sekarang sudah jauh berbeda, Ra. Aku punya penghasilan yang lebih dari cukup untuk menghidupi kalian.”

“Jadi, kamu pikir selama ini aku nggak mampu menafkahi Zein?” Kilatan emosi terpancar dari sorot mata Amara yang jelas tidak bersahabat.

“Hey, listen. Bukan begitu maksudku.” Buru-buru kucoba meluruskan permasalahan. “Aku nggak mau kamu harus berjuang sendirian lagi untuk Zein.”

Pelipisku mulai berdenyut. Ingin rasanya kutarik saja perempuan ini dalam pelukku untuk menghindari perdebatan apa pun yang tak juga berhenti. Seperti dulu, seperti masa-masa sulit hubungan kami sebelum akhirnya aku menyerah dan memilih lari dari semuanya.

“Aku akan tulis nomor rekening yang bisa kamu transfer.”

“Ra, bukan cuma tentang Zein. Aku mau kalian berdua --”

“Too late, Radit.” Amara menggeleng. “Aku nggak bisa.”

Debar di dadaku menjadi tak terkendali. Aku tak sanggup menebak apa maksud Amara mengatakan itu. Apakah ada seseorang lain yang telah merebut hatinya? Wajar sebenarnya. Hampir satu dekade aku meninggalkannya. Tak sulit untuk wanita secantik Amara memikat mata lelaki mana pun.

“Aku mau pulang sekarang.” Amara meraih ponselnya dan memasukkan ke dalam tas. “Aku harap pertemuan kita hari ini sudah cukup menuntaskan rasa ingin tahumu tentang aku dan Zein.”

“Aku belum selesai.” Kuberanikan untuk menahan lengannya yang akan bangkit.

Amara terlihat sedikit terkejut, tetapi menuruti dan kembali duduk. Ia membuang pandang ke arah tempat bermain seperti hendak mencari Zein. Kurenggangkan genggaman saat ia sedikit menghentak agar terlepas. Kutarik napas sejenak untuk meredakan emosi yang mulai merambat naik sejak tadi.

“Ra, apa kamu sedang dalam hubungan dengan seseorang?” Hati-hati kutanyakan. “Kalau memang seperti itu, aku tidak akan mengganggu.”

Sepasang mata indah itu tak kunjung memandangku. Bahkan beberapa saat ia bergeming. Amara yang kukenal akan langsung menjawab jika kenyataannya benar. Aku sudah langsung bisa menebak bahwa tidak ada seseorang pun dalam hidupnya sepeninggalanku dahulu.

“Ra, lihat aku.” Kusentuh ujung jarinya kali ini. “Jangan pernah bilang terlambat kalau cinta kita masih bisa diperbaiki.”

Amara buru-buru menyembunyikan tangan di bawah meja. Wajahnya ikut menunduk. Aku yakin isi kepalanya sedang berperang dengan hebat kata hatinya. Sebaiknya kubiarkan dulu ia merenung. Jika terlalu memaksa, aku kuatir justru akan terus memancing emosinya.

Dari arah arena bermain terlihat Zein sudah berlari menuju arah tempat aku dan Amara duduk. Aku segera mengubah air muka agar bocah cerdas itu tidak berusaha menebak lebih jauh apa yang sedang terjadi antara aku dan ibunya. Amara juga sudah memasang raut ceria seolah tidak ada perdebatan yang kami lalui sebelumnya. Zein tampak masih bersemangat saat menghabiskan sisa minuman dari paper cup Amara.

“Sudah selesai mainnya?”

Zein mengangguk antusias saat kutanyakan. Bunyi Es kristal yang sudah meleleh separuh, terdengar lucu saat beradu dengan gigi Zein, mengingatkan pada kebiasanku yang dulu sering diprotes Amara setiap kali kedapatan menghabiskan sisa es dari minumannya.

“Zein mau ke mana lagi habis ini?” Aku berusaha merayu Zein agar mendapatkan kesempatan untuk menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan mereka.

“Aku mau beli krayon warna. Kemarin, kan, nggak jadi beli, Bun.” Matanya dengan lincah beralih pada Amara.

“Mau dianterin beli krayonnya?” Kutawarkan pada Amara berharap wanita itu mengangguk setuju, tetapi kemungkinan itu langsung sirna saat ia menggeleng pada Zein.

“Kasihan Bude Asih kelamaan nungguin. Belinya besok aja, ya.” Amara seolah memberi isyarat bahwa perjumpaan kali ini cukup sebatas ini.

“Kalau aku mau satu es krim lagi, boleh?” Zein mencoba merayu Amara.

“Asalkan setelah itu kita langsung pulang.” Amara menyerahkan selembar uang pada Zein yang segera berlari menuju tempat pemesanan.

Aku ikut berdiri saat Amara bangkit dari duduknya. Ia terlihat sedikit bingung seperti ingin mengucapkan sesuatu padaku. Kuserahkan kunci mobilnya yang sejak tadi tersimpan di saku kemeja.

“Mobil kamu?” tanya Amara ragu-ragu.

“Aman. Nanti aku pesan ojek online untuk balik ke sekolah Zein.”

Amara mengangguk padaku sebagai tanda berpamitan “Aku dan Zein balik dulu,” ucapnya.

Aku membalasnya dengan senyuman, meskipun dengan sedikit getir.

“Ra, tadi aku letakin kartu namaku di mobil kamu,” ujarku saat ia mulai beranjak.

Amara menoleh sejenak, dan membuat langkahnya terhenti.

“Kirimi aku pesan kapan aku bisa ketemu lagi dengan Zein.” Aku memandangnya penuh harap.

Masih kulihat Zein melambaikan tangan sebelum keduanya keluar melewati pintu kaca. Aku memandangi dua orang yang sangat kucintai itu bergandengan tangan menuju ke mobil. Mataku tak putus memandang hingga kendaraan mereka berlalu dari areal parkir. Hatiku terasa sungguh bahagia, sekaligus hampa pada saat yang sama.

Ternyata, seperih ini rasanya melepas kekasih hati tanpa tahu kapan akan bertemu kembali.

Seketika aku mengumpat pada sosok Radit delapan tahun lalu yang tak ingin kuhadirkan kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status