Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.
“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku. “Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali. “Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi. “Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku. Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan. “Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin sejak tadi. Kondisi jalanan yang padat membuat waktu tempuh menjadi dua kali lipat lebih lama. Zein dengan bersemangat menceritakan apa saja pada Radit. Satu kalimat tanya dari Radit akan dijawab dengan sederet penjelasan oleh bocah kecil itu. Mulai dari teman-teman sekolahnya, aktivitas favoritnya, hingga beberapa kebiasaan kami di rumah yang juga dilontarkan Zein atas pancingan Radit. Situasi ini benar-benar tidak nyaman untukku. Andai tadi Zein tidak terlalu antusias menanggapi ajakan Radit, aku akan memilih pulang dan mengabaikannya. Hatiku sebenarnya bersimpangan. Di satu sisi, aku sangat benci melihatnya muncul dengan tiba-tiba dan mencoba meraih hatiku kembali, tetapi di sisi lain aku tak bisa memungkiri bahwa ada pertalian darah antara ia dan Zein yang juga sah secara hukum. Di sela obrolannya dengan Zein, aku tahu Radit berusaha mencari tatapanku melalui kaca spion. Kuputuskan untuk melempar pandangan keluar lewat jendela, melihat apa saja yang bisa mengalihkanku agar tidak terjebak percakapan dengan mereka. Sesekali kudengar keduanya tertawa atas celoteh Zein atau pun lelucon ringan yang dilontarkan Radit. Sampai akhirnya perbincangan itu ternyata membahas jadwal puasa yang tinggal dua hari lagi. “Puasa, dong.” Ucapan Zein membuyarkan lamunanku. “Aku, kan, udah besar.” “Keren, ah.” Radit memuji. “Biasanya buka puasa pakai apa?” “Bunda yang bikin, aku sukanya es alpukat pakai susu,” sahut Zein. “Aku juga suka pisang goreng pakai keju.” Aku mendengarkan dengan miris percakapan sederhana itu. Andai pertengkaran di antara kami tak pernah terjadi, seperti inilah gambaran kehidupan yang aku dan Zein akan jalani bertiga Radit. Mungkin saja berempat, atau bahkan berlima dengan adik-adik Zein dalam khayalanku. Hatiku terasa nyeri saat membayangkan itu. “Buka puasanya sama siapa saja?” Pertanyaan Radit kali ini berhasil menyita perhatianku. Aku yakin ia sengaja menanyakan itu. Radit pasti sedang mencari celah untuk mengetahui statusku selama ia tinggalkan. “Berdua sama Bunda, kadang-kadang bertiga sama Bude Asih,” sahut Zein. “Ayah nggak ikut?” Radit lanjut bertanya. Jelas sudah bahwa Radit sedang terang-terangan mengorek informasi. Aku hendak mencegah Zein berbicara lebih banyak, tetapi dengan polosnya bocah kecil itu sudah lebih dulu mengutarakan isi hatinya. “Om lupa? Ayahku belum pulang kerja. Tadi, kan, aku udah kasih tahu Om waktu kita di sekolah.” Kali ini ada perih yang begitu nyata tergambar dalam tatapan Radit saat beradu denganku lewat spion mobil. Aku yakin, semua luka ini juga menyakiti dirinya sama dalamnya. Namun, bukan berarti ia bisa semudah itu mengucap maaf dan membalikkan keadaan. Aku ragu kehadiran Radit akan mampu menjadikan hidupku lengkap. Yang Zein dan aku miliki saat ini sudah lebih dari sempurna. *** Duduk di hadapan Radit seperti ini sangat membuatku salah tingkah. Zein tak lagi memperdulikan apa pun lagi setelah menghabiskan menu yang ia pesan. Aneka permainan di sudut restoran ini lebih menarik perhatiannya. Tanpa berdosa ia meninggalkanku berdua Radit yang sejak tadi hanya saling diam tanpa tahu harus berbicara apa. “Zein persis kamu.” Suara Radit akhirnya terdengar lebih dulu. “Selalu ekspresif saat bercerita.” Aku hanya menunduk, memandangi gelas minuman yang esnya sudah separuh mencair. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak mencari tahu apa pun tentang Radit dan kehidupannya, meskipun di dalam otakku sudah berbaris ribuan kalimat yang ingin aku tanyakan padanya. “Boleh aku tahu kabar kalian?” Aku menengadah kali ini. Yang Radit tanyakan pastilah tidak hanya sekedar kabar. Aku harus cerdas memilih jawaban agar tidak membuka celah lebih dalam lagi untuknya. “Seperti yang kamu lihat. Aku dan Zein baik-baik saja.” Sengaja kutekankan itu. “Syukurlah.” Radit memandangku dengan rasa bersalah. “Aku minta maaf.” Permohonan maafnya yang terlihat tulus malah memancing tawaku. Tawa getir diiringi sakit hati yang sudah bertahun terpendam, tidak akan segampang itu luluh dengan tiba-tiba. Aku masih punya harga diri untuk tidak bersikap murahan. “Kamu masih sendiri?” Radit terlihat sangat bingung saat ingin mengkonfirmasi statusku. ”Maksudku saat ini–“ “Sudah dengar dari Zein, bukan? Aku yakin kamu sudah paham.” Lekas kupotong kalimatnya. Radit mengangguk, tetapi rasa penasarannya tidak berhenti sampai di situ. Yang ia tanyakan selanjutnya justru lebih lugas dari sebelumnya. “Apa selama aku pergi, kamu pernah menikah?” Kuberi Radit tatapan tajam atas pertanyaannya barusan. Bagaimana mungkin ia sempat mempertanyakan itu, sementara selama ia tidak ada aku berusaha keras membesarkan Zein seorang diri. Tidak adakah sedikit empatinya menanyakan kesulitanku? “Fokusku saat ini hanya Zein,” jawabku singkat. Aku berharap kalimat itu mampu menjelaskan bahwa aku sedang tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan siapa pun saat ini. Termasuk dirinya. Status kami dahulu tidak akan mengubah pertimbanganku. “Aku terus mencari kamu dua tahun terakhir,” gumam Radit tanpa memandang ke arahku. “Aku kira kamu pindah ke kota lain.” “Untuk apa?” Ini adalah kalimat tanya pertama dariku untuk Radit sejak bertemu kembali. “Untuk menebus semua salahku sama kamu, Ra,” jawabnya. “Harusnya dulu aku juga bawa kamu dan Zein, bukan malah pergi sendiri.” Kelebat kenangan buruk itu hadir kembali seiring Radit mengungkapkan penyesalannya. Malam itu aku berteriak memanggilnya, menahannya agar tidak pergi, berulangkali hingga kudengar Zein menangis dari dalam rumah. Ia bahkan tidak menoleh ke belakang saat sepeda motor itu membawa sosoknya semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Aku menunggunya kembali, berhari-hari, sampai rasa jemu itu menetapkan bahwa ia tidak akan mungkin pulang. “Aku nggak bisa bilang sudah maafin kamu,” tuturku setelah beberapa saat. “Yang pasti sekarang aku sudah berdamai dengan hatiku.” Radit mengangguk cepat. Jemarinya jadi sering bergerak. Sesekali terlihat bertaut, kemudian terlepas untuk menumpu dagu. Aku melihatnya sekilas dari sudut mataku. Reaksinya saat resah kadang seperti itu. “Aku mengerti. Sampai kemarin aku masih bisa terima kalau ini akan jadi alasan kamu untuk menolakku,” ujarnya. “Tapi siang tadi, sewaktu aku dengar Zein cerita tentang ayahnya, aku pikir ini bukan hanya soal kita berdua.” Aku mulai bisa menebak ke arah mana Radit membawa perbincangan ini. Ia pasti mengira jika itu menyangkut Zein, aku akan dengan sangat mudah berubah pikiran tentang hubungan kami. “Jangan pernah manfaatin Zein,” ucapku tegas. “Apa kamu pernah mengajukan cerai, Ra?” tanya Radit lagi, seolah tidak mempedulikan ucapanku sebelumnya. Aku enggan menjawab. Biar saja Radit mengartikan sendiri sikap diamku. Bertahun lelah menunggunya pulang, aku sudah menganggapnya hilang. Sejak itu pula tidak pernah sedetik pun terbersit di hatiku untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain. “Aku juga nggak pernah ceraikan kamu,” tuturnya pelan. “Artinya kita masih pasangan yang sah secara hukum.” Radit benar. Kami masih berstatus suami istri dalam catatan negara. Namun, bukan berarti ia bisa seenaknya masuk ke dalam hidupku begitu saja. Aku sudah menatanya demikian rapi agar tidak ada celah bagi sebentuk kepedihan untuk kembali hadir mengobrak-abrik susunannya. “Apa yang kamu mau dari aku dan Zein?” “Sebuah keluarga yang utuh, Ra.” “Aku akan atur agar kamu bisa rutin ketemu Zein.” “Yang tinggal dalam satu rumah.” “Aku bahagia hanya dengan Zein.” “Apa kamu pernah berpikir bahwa Zein juga bahagia?” Perdebatan itu berhenti begitu saja. Aku menatapnya lama. Pintar sekali ia menggunakan buah hati kami sebagai alasan. Apakah Zein bahagia? Apakah cukup bagi Zein hidup hanya berdua denganku? Beragam kebimbangan merasuki pikiranku dari segala arah, hingga akhirnya semua bongkahan yang mengganjal di dalam kepala terwakilkan dalam tetesan air mata. Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku kembali kalah dan menangisi Radit.Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas
Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein be
Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.“Om ngapai
Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Siang ini adalah yang paling terik di separuh bulan menuju akhir April. Antrian di depan gerbang sekolah terlihat mengular. Penjemput yang biasa menggunakan sepeda motor, hari ini memilih mengendarai roda empat mereka untuk menghindari intensitas sinar matahari yang terasa menggigit.Kulirik sekilas arloji di tangan kiri. Sudah terlambat tiga puluh menit dari jadwal biasa. Zein pasti sudah menunggu dengan cemberut di balik pagar. Lelaki kecilku itu memang paling tepat waktu dalam segala hal. Berbanding terbalik denganku, ibunya yang selalu tergopoh-gopoh di menit terakhir.Aku sedang memikirkan beberapa cara untuk membujuknya jika ia merajuk saat pintu mobil terdengar terbuka. Zein membalas senyumku tidak dengan bibir yang mengerucut seperti dugaanku, tetapi dengan wajah cerah dan tawa semringah yang seketika membawa kesejukan yang sejak tadi tak dapat dipenuhi oleh pendingin udara di dalam mobil.“Maaf, Zein. Bunda terlambat siang ini.” Kupindahkan persneling saat sudah berhasil kelu
Jantung ini bagai tersengat ribuan volt tegangan listrik saat pandangannya beradu dengan tatapanku. Langkahku terayun setengah sadar mendekat ke arahnya. Paras yang sama, sorot mata yang sama, dengan kemasannya yang berbeda. Rambut panjangnya yang indah sekarang sudah tertutup hijab panjang. Lekuk tubuhnya yang dulu selalu kupuja, sekarang sudah terbalut gamis longgar, yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin anggun di mataku. Aku yakin dia adalah Amaraku yang telah kucari dua tahun terakhir.“Aku hampir tidak mengenalimu,” ucapku saat hanya tersisa beberapa langkah di depannya.Dari gerak bibirnya bisa terbaca, Amara menyebut namaku walaupun terlampau pelan untuk terdengar. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan padanya, tetapi tak satu pun yang terucap hingga Amara begitu saja berlalu dari hadapanku. Kuikuti terus langkahnya yang tergesa. Jika tidak khawatir akan terjadi keributan, ingin rasanya kutarik lengan itu untuk berhenti sebentar.Amara terlihat sangat gugup dan terburu