Share

Bab 3 - Permohonan Maaf

Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.

“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku.

“Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali.

“Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi.

“Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku.

Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan.

“Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin sejak tadi.

Kondisi jalanan yang padat membuat waktu tempuh menjadi dua kali lipat lebih lama. Zein dengan bersemangat menceritakan apa saja pada Radit. Satu kalimat tanya dari Radit akan dijawab dengan sederet penjelasan oleh bocah kecil itu. Mulai dari teman-teman sekolahnya, aktivitas favoritnya, hingga beberapa kebiasaan kami di rumah yang juga dilontarkan Zein atas pancingan Radit.

Situasi ini benar-benar tidak nyaman untukku. Andai tadi Zein tidak terlalu antusias menanggapi ajakan Radit, aku akan memilih pulang dan mengabaikannya. Hatiku sebenarnya bersimpangan. Di satu sisi, aku sangat benci melihatnya muncul dengan tiba-tiba dan mencoba meraih hatiku kembali, tetapi di sisi lain aku tak bisa memungkiri bahwa ada pertalian darah antara ia dan Zein yang juga sah secara hukum.

Di sela obrolannya dengan Zein, aku tahu Radit berusaha mencari tatapanku melalui kaca spion. Kuputuskan untuk melempar pandangan keluar lewat jendela, melihat apa saja yang bisa mengalihkanku agar tidak terjebak percakapan dengan mereka. Sesekali kudengar keduanya tertawa atas celoteh Zein atau pun lelucon ringan yang dilontarkan Radit. Sampai akhirnya perbincangan itu ternyata membahas jadwal puasa yang tinggal dua hari lagi.

“Puasa, dong.” Ucapan Zein membuyarkan lamunanku. “Aku, kan, udah besar.”

“Keren, ah.” Radit memuji. “Biasanya buka puasa pakai apa?”

“Bunda yang bikin, aku sukanya es alpukat pakai susu,” sahut Zein. “Aku juga suka pisang goreng pakai keju.”

Aku mendengarkan dengan miris percakapan sederhana itu. Andai pertengkaran di antara kami tak pernah terjadi, seperti inilah gambaran kehidupan yang aku dan Zein akan jalani bertiga Radit. Mungkin saja berempat, atau bahkan berlima dengan adik-adik Zein dalam khayalanku. Hatiku terasa nyeri saat membayangkan itu.

“Buka puasanya sama siapa saja?”

Pertanyaan Radit kali ini berhasil menyita perhatianku. Aku yakin ia sengaja menanyakan itu. Radit pasti sedang mencari celah untuk mengetahui statusku selama ia tinggalkan.

“Berdua sama Bunda, kadang-kadang bertiga sama Bude Asih,” sahut Zein.

“Ayah nggak ikut?” Radit lanjut bertanya.

Jelas sudah bahwa Radit sedang terang-terangan mengorek informasi. Aku hendak mencegah Zein berbicara lebih banyak, tetapi dengan polosnya bocah kecil itu sudah lebih dulu mengutarakan isi hatinya.

“Om lupa? Ayahku belum pulang kerja. Tadi, kan, aku udah kasih tahu Om waktu kita di sekolah.”

Kali ini ada perih yang begitu nyata tergambar dalam tatapan Radit saat beradu denganku lewat spion mobil. Aku yakin, semua luka ini juga menyakiti dirinya sama dalamnya. Namun, bukan berarti ia bisa semudah itu mengucap maaf dan membalikkan keadaan. Aku ragu kehadiran Radit akan mampu menjadikan hidupku lengkap. Yang Zein dan aku miliki saat ini sudah lebih dari sempurna.

***

Duduk di hadapan Radit seperti ini sangat membuatku salah tingkah. Zein tak lagi memperdulikan apa pun lagi setelah menghabiskan menu yang ia pesan. Aneka permainan di sudut restoran ini lebih menarik perhatiannya. Tanpa berdosa ia meninggalkanku berdua Radit yang sejak tadi hanya saling diam tanpa tahu harus berbicara apa.

“Zein persis kamu.” Suara Radit akhirnya terdengar lebih dulu. “Selalu ekspresif saat bercerita.”

Aku hanya menunduk, memandangi gelas minuman yang esnya sudah separuh mencair. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak mencari tahu apa pun tentang Radit dan kehidupannya, meskipun di dalam otakku sudah berbaris ribuan kalimat yang ingin aku tanyakan padanya.

“Boleh aku tahu kabar kalian?”

Aku menengadah kali ini. Yang Radit tanyakan pastilah tidak hanya sekedar kabar. Aku harus cerdas memilih jawaban agar tidak membuka celah lebih dalam lagi untuknya.

“Seperti yang kamu lihat. Aku dan Zein baik-baik saja.” Sengaja kutekankan itu.

“Syukurlah.” Radit memandangku dengan rasa bersalah. “Aku minta maaf.”

Permohonan maafnya yang terlihat tulus malah memancing tawaku. Tawa getir diiringi sakit hati yang sudah bertahun terpendam, tidak akan segampang itu luluh dengan tiba-tiba. Aku masih punya harga diri untuk tidak bersikap murahan.

“Kamu masih sendiri?” Radit terlihat sangat bingung saat ingin mengkonfirmasi statusku. ”Maksudku saat ini–“

“Sudah dengar dari Zein, bukan? Aku yakin kamu sudah paham.” Lekas kupotong kalimatnya.

Radit mengangguk, tetapi rasa penasarannya tidak berhenti sampai di situ. Yang ia tanyakan selanjutnya justru lebih lugas dari sebelumnya.

“Apa selama aku pergi, kamu pernah menikah?”

Kuberi Radit tatapan tajam atas pertanyaannya barusan. Bagaimana mungkin ia sempat mempertanyakan itu, sementara selama ia tidak ada aku berusaha keras membesarkan Zein seorang diri. Tidak adakah sedikit empatinya menanyakan kesulitanku?

“Fokusku saat ini hanya Zein,” jawabku singkat.

Aku berharap kalimat itu mampu menjelaskan bahwa aku sedang tidak ingin menjalin hubungan apa pun dengan siapa pun saat ini. Termasuk dirinya. Status kami dahulu tidak akan mengubah pertimbanganku.

“Aku terus mencari kamu dua tahun terakhir,” gumam Radit tanpa memandang ke arahku. “Aku kira kamu pindah ke kota lain.”

“Untuk apa?” Ini adalah kalimat tanya pertama dariku untuk Radit sejak bertemu kembali.

“Untuk menebus semua salahku sama kamu, Ra,” jawabnya. “Harusnya dulu aku juga bawa kamu dan Zein, bukan malah pergi sendiri.”

Kelebat kenangan buruk itu hadir kembali seiring Radit mengungkapkan penyesalannya. Malam itu aku berteriak memanggilnya, menahannya agar tidak pergi, berulangkali hingga kudengar Zein menangis dari dalam rumah. Ia bahkan tidak menoleh ke belakang saat sepeda motor itu membawa sosoknya semakin menjauh dan hilang dari pandangan. Aku menunggunya kembali, berhari-hari, sampai rasa jemu itu menetapkan bahwa ia tidak akan mungkin pulang.

“Aku nggak bisa bilang sudah maafin kamu,” tuturku setelah beberapa saat. “Yang pasti sekarang aku sudah berdamai dengan hatiku.”

Radit mengangguk cepat. Jemarinya jadi sering bergerak. Sesekali terlihat bertaut, kemudian terlepas untuk menumpu dagu. Aku melihatnya sekilas dari sudut mataku. Reaksinya saat resah kadang seperti itu.

“Aku mengerti. Sampai kemarin aku masih bisa terima kalau ini akan jadi alasan kamu untuk menolakku,” ujarnya. “Tapi siang tadi, sewaktu aku dengar Zein cerita tentang ayahnya, aku pikir ini bukan hanya soal kita berdua.”

Aku mulai bisa menebak ke arah mana Radit membawa perbincangan ini. Ia pasti mengira jika itu menyangkut Zein, aku akan dengan sangat mudah berubah pikiran tentang hubungan kami.

“Jangan pernah manfaatin Zein,” ucapku tegas.

“Apa kamu pernah mengajukan cerai, Ra?” tanya Radit lagi, seolah tidak mempedulikan ucapanku sebelumnya.

Aku enggan menjawab. Biar saja Radit mengartikan sendiri sikap diamku. Bertahun lelah menunggunya pulang, aku sudah menganggapnya hilang. Sejak itu pula tidak pernah sedetik pun terbersit di hatiku untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain.

“Aku juga nggak pernah ceraikan kamu,” tuturnya pelan. “Artinya kita masih pasangan yang sah secara hukum.”

Radit benar. Kami masih berstatus suami istri dalam catatan negara. Namun, bukan berarti ia bisa seenaknya masuk ke dalam hidupku begitu saja. Aku sudah menatanya demikian rapi agar tidak ada celah bagi sebentuk kepedihan untuk kembali hadir mengobrak-abrik susunannya.

“Apa yang kamu mau dari aku dan Zein?”

“Sebuah keluarga yang utuh, Ra.”

“Aku akan atur agar kamu bisa rutin ketemu Zein.”

“Yang tinggal dalam satu rumah.”

“Aku bahagia hanya dengan Zein.”

“Apa kamu pernah berpikir bahwa Zein juga bahagia?”

Perdebatan itu berhenti begitu saja. Aku menatapnya lama. Pintar sekali ia menggunakan buah hati kami sebagai alasan. Apakah Zein bahagia? Apakah cukup bagi Zein hidup hanya berdua denganku? Beragam kebimbangan merasuki pikiranku dari segala arah, hingga akhirnya semua bongkahan yang mengganjal di dalam kepala terwakilkan dalam tetesan air mata.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, aku kembali kalah dan menangisi Radit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status