Share

Bab 5 - Memilih Sembunyi

Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.

“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”

“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.

“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”

Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein bercerita. Kuakui selama ini interaksinya dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki hanya sebatas papaku dan mungkin satpam sekolah. Setahun terakhir setelah Papa terkena stroke ringan, Zein seperti kehilangan teman bermain dan berbagi cerita.

“Oh, ya? Terus, Om-nya nanya apa lagi?” selidikku ingin tahu.

“Nanyain siapa yang biasanya jemput aku di sekolah.” Zein menjawab sembari menyendokkan es krimnya yang separuh mencair ke mulutnya. “Aku bilang selalu Bunda yang jemput.”

“Terus?”

“Aku juga bilang, ayahku kerjanya jauh dan belum pernah pulang.” Bocah kecil itu berkata lugu sambil fokus menjilati stik es krimnya. “Memangnya kapan, sih, Ayah pulang, Bun?”

Aku menghela napas. Rasanya sudah sangat bosan harus menampung beratus ribu pertanyaan yang sama dari bibir mungil itu sejak ia mulai bisa mengerti bahwa keluarga yang utuh harus terdiri dari ayah dan ibu. Seperti biasa aku juga harus pintar berkelit untuk membesarkan hatinya.

“Pekerjaan Ayah belum selesai. Kalau sudah selesai pasti Ayah pulang buat ketemu kita,” hiburku dengan senyuman yang terpaksa kuhadirkan. “Kita sama-sama berdoa, ya.”

“Memang pekerjaan Ayah, apa, sih?” Sepertinya Zein belum merasa puas dengan jawabanku barusan. “Apa ayahku astronot yang bekerja di stasiun luar angkasa?”

Aku spontan tertawa, miris. Setelah berkali-kali Zein mencoba mencari tahu jenis pekerjaan ayahnya, baru kali ini tercetus ide tentang astronot. Semakin otaknya berkembang, aku tidak akan mungkin membohonginya dengan alasan-alasan klise atau pun analogi yang tidakmasuk akal.

Zein sedikit cemberut saat aku menggeleng menandakan ia salah menebak. Ia diam sesaat, sebelum akhirnya kalimat yang terucap membuat dadaku seketika sesak. “Apa ayahku sudah meninggal seperti abinya Farid?”

Kuusap lembut kepala Zein dengan tangan kiri. Sorot matanya yang tadinya bersemangat kini berubah sendu saat kami bertatapan.

“Ayah Zein masih ada, lagi kerja di tempat yang jauh,” jelasku dengan kebohongan yang sama. “Untuk pulang ke rumah ongkosnya mahal, harus menabung dulu.”

“Kalau uang jajanku ditabung setiap hari, apa bisa dikirim ke Ayah untuk ongkos pulang?” Polos sekali pertanyaan Zein. Terlampau polos hingga aku harus berpaling ke kanan agar ia tidak melihat manik mataku yang mulai berkaca-kaca.

“Bisa, Sayang.” Bahkan suaraku pun terdengar serak. “Nanti kita beli celengan, ya. Zein suka yang bentuk apa?” Sengaja kualihkan agar Zein tidak lagi teringat membahas perihal ayahnya.

Zein lalu berceloteh tentang celengan berbentuk ayam yang ia pernah lihat di warung depan komplek. Aku separuh mendengarkan, separuh berdebat dengan pikiranku sendiri. Semua permohonan maaf Radit, bujukan Radit, argumentasi Radit seolah diputar berulang-ulang di kepala.

“Ra-di-tya pra-mo-no.”

Semua lamunanku seketika buyar saat suara kecil yang mengeja terbata itu menerobos gendang telingaku. Aku menoleh terkejut. Bukan lagi sebuah mangkuk es krim yang sekarang berada dalam genggaman Zein. Sebuah kartu nama. Kartu nama yang Radit sengaja tinggalkan di dasbor mobil.

Sengaja ia tinggalkan agar aku bisa menghubunginya, agar kami tetap bertemu.

“Seperti nama ayahku,” lanjut bocah kecil yang masih tekun memandangi selembar kertas putih di tangannya.

Kali ini bisa dipastikan jantungku sudah berdetak melebihi kapasitas normal. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah memberitahu Zein siapa nama ayahnya. Aku selalu menggantinya dengan sebutan ‘Ayah Zein’ setiap ada orang lain yang menyinggung tentang Radit. Tidak pernah sekali pun terucap nama lelaki itu di hadapan bocah tujuh tahun tersebut.

“Dari mana Zein tahu siapa nama Ayah, Sayang?” tanyaku hati-hati. Aku sungguh khawatir jika ada orang-orang tertentu yang sengaja membocorkan perihal Radit.

“Dari buku rapor aku,” ucap Zein lugu.“Kan, ada nama Ayah di atas nama Bunda.”

Zein bukan lagi bocah kecil yang masih bisa selalu aku bohongi. Nalarnya mulai bekerja baik seiring usianya bertambah. Mungkin Radit benar. Sudah saatnya aku mengungkapkan fakta yang sebenarnya tentang Radit pada Zein. Tetap menyembunyikan semuanya akan menambah rumit keadaan. Meskipun berat, bagaimana pun juga aku harus mempertimbangkan apa yang Radit perdebatkan tentang nasib hubungan kami saat ini.

***

Bohong jika aku katakan sudah membuang semua hal tentang Radit setelah kepergiannya. Rindu itu tetap bersarang selama bertahun-tahun. Berharap ia kembali, berharap ia menyesal dan meminta maaf. Rindu yang meskipun perlahan berbalut benci, tetapi tetap tidak bisa melenyapkan cinta yang selalu aku miliki untuk lelaki itu.

Aku masih tetap menyimpan beberapa kenangan kami. Selembar foto pernikahan yang memuat senyumanku dan senyumnya masih menjadi penghuni setia sebuah kotak kayu yang aku letakkan jauh dari jangkauan siapa pun. Cincin pernikahan yang kulepaskan di tahun ketiga kepergian Radit, juga tersimpan di sana. Beberapa barang pemberian Radit juga kukumpulkan dengan rapi. Niatku hanya satu. Jika suatu saat Zein menanyakan ayahnya saat ia dewasa, jika memang Radit tidak pernah kembali, aku masih memiliki barang peninggalan yang bisa aku tunjukkan pada anak lelakiku itu.

Sebuah gantungan kunci berwarna perak yang terbaring di dasar kotak menarik perhatianku. Radit membelikannya untukku saat bulan madu kami di Bali. Gantungan kunci berwarna perak yang berpasangan, dengan ukiran tanda hati yang akan menjadi utuh jika keduanya disatukan. Aku memakai satu buah sebagai gantungan kunci mobil. Pasti Radit juga memperhatikan itu saat ia memungut kunci mobilku yang jatuh di depan kasir di hari pertama kami bertemu kembali. Juga saat menyetiri aku dan Zein menuju rumah makan cepat saji siang tadi.

Raditya Pramono. Kurasakan bibirku bergetar saat kembali mengucapkan nama itu. Begitu lihai ia menguliti isi hatiku hari ini. Semua yang kupendam bertahun, hancur luluh dalam sekejap hanya dengan menatap matanya, mendengar suaranya.

Kuseka setetes air mata yang terlanjur lolos. Kuatur napas agar isakku tidak membangunkan Zein dari lelapnya. Kubiarkan sebentar hatiku berdebat, hingga akhirnya logikaku memutuskan untuk turut menyimpan kartu nama Radit beserta nomor yang tertera di atasnya dalam kotak kayu.

Maaf, Radit. Aku belum siap untuk menerima kehadiranmu kembali. Biarkan aku dan Zein tetap seperti ini. Aku masih punya segudang alasan untuk tetap menyembunyikanmu dari buah hati kita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status