Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.
Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu. Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan. “Om ngapain ke sini lagi? Mau jumpa aku lagi?” Aku menoleh pada sapaan khas bernada kritis yang beberapa hari ini mulai terasa akrab di telinga. Zein telah berdiri di sisiku dengan kedua tangan terlipat di dada. “Om mau nganterin krayon warna buat Zein.” Kusodorkan kantung plastik yang kupegang ke arahnya. “Sekalian belikan buku cerita juga. Semoga kamu suka.” Bocah kecil itu langsung mengucapkan terima kasih sambil memeriksa satu per satu isi kantung plastik yang kuberikan. Senyumnya mulai mengembang saat menemukan benda yang ia inginkan. Syukurlah, artinya Amara belum sempat membelikan krayon itu untuknya. Kuperhatikan terus menerus satu per satu ekspresi yang muncul di wajah Zein. Aku bahkan hampir ikut bersorak saat ia berteriak senang melihat sampul buku yang kubelikan. “Buku astronot ini buku kesukaanku, Om,” pekiknya riang. “Bunda sudah belikan dua, tapi aku belum punya yang ini.” Zein dengan bersemangat merobek plastik tipis yang menyarungi buku tersebut. Tangan-tangan mungil itu mulai membolak-balik halamannya tanpa memedulikanku yang tersenyum memandangi. Sepertinya keberuntungan sedang menghampiriku. Semoga jalanku mulus untuk mencuri hati Zein. Baru setelah ini kupikirkan lagi bagaimana caranya merebut kembali cinta Amara. “Kita beli minum, yuk!” ajakku saat menyadari tenggorokanku terasa kering. “Om tiba-tiba haus.” Wajah kecil yang sedang asyik membaca itu menengadah memandangku sejenak. Aku sedikit kecewa saat melihat Zein mengeleng cepat. “Uang jajanku sudah habis,” ucapnya. “Kata Bunda aku nggak boleh minta dijajanin sama teman.” Tak dapat kutahan tawa saat mendengar celotehnya. Sifat disiplin Amara benar-benar ia tularkan pada buah hati kami. Aku jadi teringat dulu sering sekali berdebat dengan Amara, hanya karena hal-hal kecil dariku yang tidak sesuai prinsipnya. “Om yang traktir Zein,” bujukku saat ia masih menolak. “Besok, kan, sudah mulai puasa. Nggak bisa lagi, dong, minum es siang-siang seperti ini.” Beruntung argumen yang kuajukan diterima baik oleh Zein. Ia mengangguk setuju. Kupilih menghampiri penjual aneka es di depan sekolah. Lalu, kami duduk berdua di bangku kayu sambil menunggu Amara datang menjemput. “Om namanya siapa, sih?” celetuk Zein saat pikiranku masih mencari-cari apa yang kira-kira harus kuobrolkan dengannya. “Kita, kan, belum kenalan sejak kemarin?” Kupindahkan gelas es ke tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan ke arah Zein. “Nama Om, Raditya Pramono.” Bocah kecil itu dengan percaya diri menyambut jabatan tanganku. “Muhammad Zein Al-Fatih.” Lama baru kulepaskan genggaman tangan Zein. Sejak kemarin, jika tidak susah payah kutahan desakan di dada, ingin rasanya kupeluk erat darah dagingku ini. Baru kali ini kurasakan rindu yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Rindu yang tadi malam membuat air mata lelakiku menetes hanya karena teringat kesalahan-kesalahanku terdahulu. “Jadi itu nama Om yang aku baca di kertas di mobil Bunda?” tebak Zein antusias. Jelas keberuntungan lain juga sedang berpihak padaku. Dugaanku bahwa Amara akan membuang kartu nama itu, terpatahkan begitu saja dengan pernyataan Zein barusan. Semoga Amara menyimpan nomor kontakku dan kami bisa berkomunikasi dengan baik ke depannya. Tak mungkin juga selamanya aku harus menemui Zein di sekolah seperti ini. Banyak cerita yang Zein bagi denganku selama kami duduk di bangku kayu itu. Mulai dari teman sebangkunya yang menurut Zein terlalu pendiam, sampai guru wali kelasnya yang sangat baik dan jarang marah. Zein juga bercerita tentang kakeknya yang sakit dan tentu saja tentang ayahnya yang tak kunjung pulang hingga sekarang. Dia tak berhenti sampai kami sama-sama tersadar bahwa Amara tak juga tiba untuk menjemput. “Mungkin sedang ada urusan penting,” hiburku saat Zein mulai terlihat bingung. “Kan, ada Om Radit yang nemenin Zein di sini. Om nggak akan pulang sebelum Bunda datang.” “Tapi biasanya nggak lama kayak gini, Om,” timpalnya dengan nada gusar. “Om bawa hape?” “Bawa.” “Aku boleh pinjam?” pintanya. “Aku mau telepon Bunda.” “Boleh, dong.” jawabku seraya mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. “Zein tahu nomornya?” Bocah kecil itu mengangguk yakin seraya membuka ritsleting ransel dan mulai mencari sesuatu dari dalam. Setelah membuka beberapa retsleting lain, Zein tersenyum sambil menunjukkan sebuah kartu nama yang hampir lusuh di tangannya. Kartu nama Amara yang sekaligus digunakan sebagai merek usaha kulinernya. “Bunda yang suruh aku simpan ini, soalnya aku nggak hapal nomornya.” Aku seketika merasa menjadi lelaki paling beruntung sedunia. Doa-doaku dua tahun terakhir seolah terjawab dalam dua hari ini. Kutekan nomor kontak yang tertera dalam kartu nama Amara dengan jari sedikit bergetar. Sengaja kunyalakan pengeras suara agar nantinya aku berkesempatan mendengarkan isi percakapan mereka. Panggilan pertama tidak terjawab. Panggilan kedua baru diterima pada dering ketiga. “Bunda di mana?” tanya Zein saat suara Amara mulai terdengar. “Ban mobil Bunda bocor, Zein. Sabar, ya, Sayang. Bunda lagi ganti ban.” “Di bengkel?” tanya Zein lagi. “Bukan, udah dekat, kok, dari sekolah. Udah sepi, ya, Sayang?” “Udah,” jawab Zein. “Tapi aku ditemani Om Radit.” Suara Amara hilang beberapa saat hingga Zein harus memanggilnya dua kali baru kembali terdengar jawaban. Kuputuskan untuk mengambil alih percakapan. Amara pasti sangat butuh bantuanku saat ini. “Kamu di mana, Ra?” tanyaku hati-hati. Lagi-lagi tak terdengar jawaban dari perempuan yang sangat kucintai itu. Gemas rasanya melihat sikapnya yang jinak-jinak merpati. Persis seperti dulu, seperti saat aku mati-matian mengejar cintanya. “Aku di dekat perempatan menuju sekolah Zein.” Akhirnya suara itu menjawab dengan nada pasrah. “Shareloc lokasi kamu sekarang. Biar aku dan Zein ke sana,” tegasku padanya sebelum memutuskan sambungan. Jika ia masih Amaraku, ia akan patuh dan menurut. Aku masih hapal celahnya. Amara memang keras kepala. Namun, jika berhadapan denganku, perempuan itu seperti biasanya akan takluk. Dugaanku benar. Hanya butuh beberapa detik, sampai akhirnya terdengar bunyi pesan masuk di ponselku yang menunjukkan lokasi di mana Amara berada. Aku mengajak Zein bergegas menuju mobil dan mulai berkendara. Aku tahu ia masih Amaraku. Kali ini tak akan kusia-siakan lagi kesempatan untuk memilikinya kembali.Entah bagaimana caranya untuk tetap disiplin waktu setiap berbelanja ke toko bahan kue langgananku. Mataku seperti berwisata di antara pernak-pernik dan beragam perkakas memasak yang ditawarkan sang pemilik toko. Beberapa obrolan beliau juga sangat menarik, hingga akhirnya aku lupa waktu bahwa harus menjemput Zein menjelang tengah hari.Tinggal satu belokan lagi untuk mencapai lokasi sekolah saat aku menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan mobilku. Aku baru ingat bahwa sejak kemarin sore kondisi salah satu ban belakang memang kekurangan tekanan. Aku seharusnya tidak lupa untuk singgah ke kios pompa ban terdekat. Pasti Zein akan cemberut jika aku lagi-lagi terlambat menjemputnya.Dan, benar dugaanku. Kondisi ban sudah benar-benar kehabisan angin. Kucoba mencari lokasi bengkel di sekitar pada aplikasi penunjuk arah. Sialnya bengkel terdekat berada sejauh tiga kilometer dari posisiku saat ini, dan kondisi ban tidak memungkinkan untuk dibawa berkendara lebih jauh. Sepertinya aku meman
Seharian ini aku bertingkah seperti orang yang sedang kasmaran. Hanya duduk diam di belakang meja, memandangi isi aplikasi percakapan sambil berharap tiba-tiba akan masuk sebuah pesan untukku dari Amara. Ah, aku memang terlalu jauh berangan-angan. Perempuan itu tidak memblokir nomor kontakku saja sudah merupakah anugerah tak terkira bagiku. Satu-satunya yang bisa kupandangi untuk melepas rindu adalah foto Amara berdua Zein yang ia pasang sebagai profil. Gambar-gambar produk makanan yang ia tayangkan di kolom status secara bergantian juga kulahap semua tanpa sisa, berharap terselip satu atau dua foto aktivitasnya dengan Zein yang bisa kuikuti.Ide untuk mengirimi Amara pesan terlebih dahulu muncul berkali-kali di kepalaku. Namun, aku tahu betul sifat Amara. Perempuan itu akan mengambil seribu langkah menjauh jika ada yang mengejarnya terang-terangan. Aku sudah merasakan itu bertahun-tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengannya di kampus tempat kami menuntut ilmu. Butuh satu tahun
Siang ini adalah yang paling terik di separuh bulan menuju akhir April. Antrian di depan gerbang sekolah terlihat mengular. Penjemput yang biasa menggunakan sepeda motor, hari ini memilih mengendarai roda empat mereka untuk menghindari intensitas sinar matahari yang terasa menggigit.Kulirik sekilas arloji di tangan kiri. Sudah terlambat tiga puluh menit dari jadwal biasa. Zein pasti sudah menunggu dengan cemberut di balik pagar. Lelaki kecilku itu memang paling tepat waktu dalam segala hal. Berbanding terbalik denganku, ibunya yang selalu tergopoh-gopoh di menit terakhir.Aku sedang memikirkan beberapa cara untuk membujuknya jika ia merajuk saat pintu mobil terdengar terbuka. Zein membalas senyumku tidak dengan bibir yang mengerucut seperti dugaanku, tetapi dengan wajah cerah dan tawa semringah yang seketika membawa kesejukan yang sejak tadi tak dapat dipenuhi oleh pendingin udara di dalam mobil.“Maaf, Zein. Bunda terlambat siang ini.” Kupindahkan persneling saat sudah berhasil kelu
Jantung ini bagai tersengat ribuan volt tegangan listrik saat pandangannya beradu dengan tatapanku. Langkahku terayun setengah sadar mendekat ke arahnya. Paras yang sama, sorot mata yang sama, dengan kemasannya yang berbeda. Rambut panjangnya yang indah sekarang sudah tertutup hijab panjang. Lekuk tubuhnya yang dulu selalu kupuja, sekarang sudah terbalut gamis longgar, yang entah mengapa membuatnya terlihat semakin anggun di mataku. Aku yakin dia adalah Amaraku yang telah kucari dua tahun terakhir.“Aku hampir tidak mengenalimu,” ucapku saat hanya tersisa beberapa langkah di depannya.Dari gerak bibirnya bisa terbaca, Amara menyebut namaku walaupun terlampau pelan untuk terdengar. Terlalu banyak yang ingin kusampaikan padanya, tetapi tak satu pun yang terucap hingga Amara begitu saja berlalu dari hadapanku. Kuikuti terus langkahnya yang tergesa. Jika tidak khawatir akan terjadi keributan, ingin rasanya kutarik lengan itu untuk berhenti sebentar.Amara terlihat sangat gugup dan terburu
Zein langsung menyelinap di kursi depan saat aku masih berdiri ragu di depan pintu mobil yang dibukakan Radit. Dengan percaya diri bocah kecil itu memasang sabuk pengaman dan segera berbincang akrab layaknya kerabat yang sudah saling mengenal. Syukurlah, paling tidak untuk kali ini Zein telah menyelamatkanku dari keharusan berbasa-basi hal yang tidak perlu dengan ayahnya.“Di mana restoran fried chicken yang paling dekat?” Radit bertanya saat mobil mulai melaju, sepertinya ditujukan padaku.“Sebelum arah ke sekolahku, Om.” Zein lebih dulu menimpali.“Jadi sekarang kita putar balik?” tanya Radit lagi.“Putar balik, ya, Bun?” Zein yang tidak terlalu hafal rutenya, ikut-ikutan bertanya padaku.Keduanya serempak menoleh ke belakang untuk meminta jawaban. Namun, saat melihat aku tidak mengatakan apa pun, Radit melekatkan ponselnya pada phone-holder dan segera membuka aplikasi penunjuk jalan.“Biar yang lebih tahu yang ngarahin,” ucapnya santai, seolah menyindir sikapku yang tetap dingin se
Ternyata aku masih lelaki yang sama, yang tetap tertegun saat melihat tetesan air mata mengalir di pipi Amara. Ia seketika menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menahan agar suara isaknya tidak terdengar. Hanya bahunya yang sedikit berguncang, menandakan emosi yang mendera begitu hebat. Beberapa detik setelah terdiam, kuulurkan padanya selembar tisu di atas meja yang tidak digunakan Zein.“Ra, jangan nangis,” hiburku. “Nanti kalau Zein lihat, dia akan mengira kita bertengkar.”Amara mengusap wajahnya dan membersihkan sisa air mata dengan tisu yang kuberikan. Ia menoleh sebentar ke arah area bermain, memastikan Zein masih asik dengan aktivitasnya. Pandangannya lalu beralih padaku, untuk kemudian menunduk pada jarinya yang bertaut.“Zein sering menanyakanmu,” gumam Amara. “Aku hampir kehabisan alasan untuk terus berbohong.”Aku ikut menunduk dengan rasa malu dan perih yang bertubi. Ketangguhan Amara dalam menghadapi situasi sulit selama ini terbayang jelas. Zein anak yang cerdas
Aku tidak bisa berbohong bahwa masih ada getar di hatiku yang tersisa untuk Radit. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, tidak dapat kupungkiri betapa rasa cinta itu bergulat dengan tumpukan benci saat aku memandangnya. Sejak kakiku melangkah keluar melewati pintu kaca restoran cepat saji itu, kuupayakan sekuat tenaga agar tidak menoleh ke belakang. Meskipun begitu, tetap harus dengan sabar kutunggu langkah kecil Zein yang masih bersemangat melambaikan tangan pada sosok lelaki yang belum ia ketahui status aslinya.“Om yang tadi baik banget, ya, Bun.” Zein kembali berceloteh setelah mobil meninggalkan area parkir. “Dia temannya Bunda?”“Ya,” jawabku ragu. “Teman lama.” Akhirnya itu yang kukatakan setelah sebentar mempertimbangkan.“Tadi di sekolahku, Om itu nanyain, apa obeng yang kemarin kita beli bisa dipakai.” Zein lanjut bercerita. “Aku bilang bisa. Om itu juga bilang aku anak hebat karena bisa memperbaiki sepeda sendiri.”Ada rasa haru menyusup di hatiku saat mendengarkan Zein be