Share

Bab 6 - Masih Berharap

Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar sekolah Zein, menanti dengan sabar hingga bel pulang berbunyi. Tak kuhiraukan terik matahari yang sedikit membasahi kerah kemeja kerjaku. Isi kepalaku telah dipenuhi dengan senyum dan tawa Zein saat ia melihat apa yang aku bawakan untuknya hari ini.

Sore kemarin sepulang kerja, kusempatkan singgah ke sebuah toko buku untuk mencari krayon warna yang diinginkan Zein. Semoga saja Amara belum sempat membelikannya untuk Zein. Semoga juga Amara terlambat datang menjemput siang ini, agar aku punya banyak waktu untuk mengobrol dengan anak lelakiku itu.

Jika ada satu hal yang bisa kulakukan untuk menebus kembali tahun-tahun yang terlewat, pasti akan kuusahakan mati-matian. Ayah macam apa yang meninggalkan darah dagingnya tumbuh hanya dengan asuhan seorang ibu. Aku memang pecundang kelas kakap dulu. Namun, sekarang akan kubuktikan sekuat tenaga bahwa aku juga bisa menjadi suami yang diandalkan dan tentunya ayah yang dapat dibanggakan.

“Om ngapain ke sini lagi? Mau jumpa aku lagi?”

Aku menoleh pada sapaan khas bernada kritis yang beberapa hari ini mulai terasa akrab di telinga. Zein telah berdiri di sisiku dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Om mau nganterin krayon warna buat Zein.” Kusodorkan kantung plastik yang kupegang ke arahnya. “Sekalian belikan buku cerita juga. Semoga kamu suka.”

Bocah kecil itu langsung mengucapkan terima kasih sambil memeriksa satu per satu isi kantung plastik yang kuberikan. Senyumnya mulai mengembang saat menemukan benda yang ia inginkan. Syukurlah, artinya Amara belum sempat membelikan krayon itu untuknya. Kuperhatikan terus menerus satu per satu ekspresi yang muncul di wajah Zein. Aku bahkan hampir ikut bersorak saat ia berteriak senang melihat sampul buku yang kubelikan.

“Buku astronot ini buku kesukaanku, Om,” pekiknya riang. “Bunda sudah belikan dua, tapi aku belum punya yang ini.”

Zein dengan bersemangat merobek plastik tipis yang menyarungi buku tersebut. Tangan-tangan mungil itu mulai membolak-balik halamannya tanpa memedulikanku yang tersenyum memandangi. Sepertinya keberuntungan sedang menghampiriku. Semoga jalanku mulus untuk mencuri hati Zein. Baru setelah ini kupikirkan lagi bagaimana caranya merebut kembali cinta Amara.

“Kita beli minum, yuk!” ajakku saat menyadari tenggorokanku terasa kering. “Om tiba-tiba haus.”

Wajah kecil yang sedang asyik membaca itu menengadah memandangku sejenak. Aku sedikit kecewa saat melihat Zein mengeleng cepat.

“Uang jajanku sudah habis,” ucapnya. “Kata Bunda aku nggak boleh minta dijajanin sama teman.”

Tak dapat kutahan tawa saat mendengar celotehnya. Sifat disiplin Amara benar-benar ia tularkan pada buah hati kami. Aku jadi teringat dulu sering sekali berdebat dengan Amara, hanya karena hal-hal kecil dariku yang tidak sesuai prinsipnya.

“Om yang traktir Zein,” bujukku saat ia masih menolak. “Besok, kan, sudah mulai puasa. Nggak bisa lagi, dong, minum es siang-siang seperti ini.”

Beruntung argumen yang kuajukan diterima baik oleh Zein. Ia mengangguk setuju. Kupilih menghampiri penjual aneka es di depan sekolah. Lalu, kami duduk berdua di bangku kayu sambil menunggu Amara datang menjemput.

“Om namanya siapa, sih?” celetuk Zein saat pikiranku masih mencari-cari apa yang kira-kira harus kuobrolkan dengannya. “Kita, kan, belum kenalan sejak kemarin?”

Kupindahkan gelas es ke tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan ke arah Zein. “Nama Om, Raditya Pramono.”

Bocah kecil itu dengan percaya diri menyambut jabatan tanganku. “Muhammad Zein Al-Fatih.”

Lama baru kulepaskan genggaman tangan Zein. Sejak kemarin, jika tidak susah payah kutahan desakan di dada, ingin rasanya kupeluk erat darah dagingku ini. Baru kali ini kurasakan rindu yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Rindu yang tadi malam membuat air mata lelakiku menetes hanya karena teringat kesalahan-kesalahanku terdahulu.

“Jadi itu nama Om yang aku baca di kertas di mobil Bunda?” tebak Zein antusias.

Jelas keberuntungan lain juga sedang berpihak padaku. Dugaanku bahwa Amara akan membuang kartu nama itu, terpatahkan begitu saja dengan pernyataan Zein barusan. Semoga Amara menyimpan nomor kontakku dan kami bisa berkomunikasi dengan baik ke depannya. Tak mungkin juga selamanya aku harus menemui Zein di sekolah seperti ini.

Banyak cerita yang Zein bagi denganku selama kami duduk di bangku kayu itu. Mulai dari teman sebangkunya yang menurut Zein terlalu pendiam, sampai guru wali kelasnya yang sangat baik dan jarang marah. Zein juga bercerita tentang kakeknya yang sakit dan tentu saja tentang ayahnya yang tak kunjung pulang hingga sekarang. Dia tak berhenti sampai kami sama-sama tersadar bahwa Amara tak juga tiba untuk menjemput.

“Mungkin sedang ada urusan penting,” hiburku saat Zein mulai terlihat bingung. “Kan, ada Om Radit yang nemenin Zein di sini. Om nggak akan pulang sebelum Bunda datang.”

“Tapi biasanya nggak lama kayak gini, Om,” timpalnya dengan nada gusar. “Om bawa hape?”

“Bawa.”

“Aku boleh pinjam?” pintanya. “Aku mau telepon Bunda.”

“Boleh, dong.” jawabku seraya mengeluarkan ponsel dari saku kemeja. “Zein tahu nomornya?”

Bocah kecil itu mengangguk yakin seraya membuka ritsleting ransel dan mulai mencari sesuatu dari dalam. Setelah membuka beberapa retsleting lain, Zein tersenyum sambil menunjukkan sebuah kartu nama yang hampir lusuh di tangannya. Kartu nama Amara yang sekaligus digunakan sebagai merek usaha kulinernya.

“Bunda yang suruh aku simpan ini, soalnya aku nggak hapal nomornya.”

Aku seketika merasa menjadi lelaki paling beruntung sedunia. Doa-doaku dua tahun terakhir seolah terjawab dalam dua hari ini. Kutekan nomor kontak yang tertera dalam kartu nama Amara dengan jari sedikit bergetar. Sengaja kunyalakan pengeras suara agar nantinya aku berkesempatan mendengarkan isi percakapan mereka.

Panggilan pertama tidak terjawab. Panggilan kedua baru diterima pada dering ketiga.

“Bunda di mana?” tanya Zein saat suara Amara mulai terdengar.

“Ban mobil Bunda bocor, Zein. Sabar, ya, Sayang. Bunda lagi ganti ban.”

“Di bengkel?” tanya Zein lagi.

“Bukan, udah dekat, kok, dari sekolah. Udah sepi, ya, Sayang?”

“Udah,” jawab Zein. “Tapi aku ditemani Om Radit.”

Suara Amara hilang beberapa saat hingga Zein harus memanggilnya dua kali baru kembali terdengar jawaban. Kuputuskan untuk mengambil alih percakapan. Amara pasti sangat butuh bantuanku saat ini.

“Kamu di mana, Ra?” tanyaku hati-hati.

Lagi-lagi tak terdengar jawaban dari perempuan yang sangat kucintai itu. Gemas rasanya melihat sikapnya yang jinak-jinak merpati. Persis seperti dulu, seperti saat aku mati-matian mengejar cintanya.

“Aku di dekat perempatan menuju sekolah Zein.” Akhirnya suara itu menjawab dengan nada pasrah.

“Shareloc lokasi kamu sekarang. Biar aku dan Zein ke sana,” tegasku padanya sebelum memutuskan sambungan.

Jika ia masih Amaraku, ia akan patuh dan menurut. Aku masih hapal celahnya. Amara memang keras kepala. Namun, jika berhadapan denganku, perempuan itu seperti biasanya akan takluk.

Dugaanku benar. Hanya butuh beberapa detik, sampai akhirnya terdengar bunyi pesan masuk di ponselku yang menunjukkan lokasi di mana Amara berada. Aku mengajak Zein bergegas menuju mobil dan mulai berkendara.

Aku tahu ia masih Amaraku. Kali ini tak akan kusia-siakan lagi kesempatan untuk memilikinya kembali.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Elis Rosita
lanjutkan thor....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status