Share

Tidak Setuju

Langit sudah berubah menjadi gelap. Tapi Laudia masih sibuk memasak di dapur. Memasak lebih banyak dari biasanya,  membuat Laudia kewalahan karena tak ada yang membantu dirinya. Semua itu ia lakukan karena bapaknya bilang jika sahabat SMA nya akan datang kerumah mereka bersama dengan istri dan anaknya.

"Laudia, kamu belum selesai masak ya?" tanya Pak Widodo sembari menengok makanan apa saja yang sedang di masak oleh putrinya.

"Ini hampir selesai pak. Udah bapak duduk di ruang tamu aja ya sambil nungguin temen bapak."

"Iya nak," jawab bapak singkat.

Saat Pak Widodo hendak melangkah pergi,  ia kembali membalikkan badannya. Lalu menatap mata Laudia penuh harap.

"Laudia apa boleh bapak minta sesuatu dari kamu?" ucap bapak kembali.

Laudia mematikan dulu api yang menyala di kompor. Dan kini ia berdiri menatap nanar mata bapaknya.

"Bapak mau minta apa? Aku pasti penuhi permintaan bapak kok."

Pak Widodo memegang kedua bahu putrinya. Menatap matanya dalam dalam.

"Bapak ingin menjodohkan kamu dengan putra sahabat bapak yang nanti datang kemari. Kamu bersedia kan nak?" tanyanya.

"APA PAK?"

Kedua bola mata Laudia membuat. Ia masih tak percaya dengan permintaan bapaknya ini. Biasanya Laudia langsung mengiyakan permintaan bapaknya sesulit apapun itu. Tapi kali ini entah mengapa mulutnya terasa sulit untuk menjawab iya.

"Laudia, bapak mohon. Mungkin saja ini permintaan terakhir bapak. Tolong kabulkan permintaan bapak ya nak," ucap bapak lirih.

Kepala Laudia yang semula menunduk, seketika terangkat. Perkataan bapaknya tadi seakan menyayat hati.

"Bapak bicara apa? Laudia gak suka bapak ngomong kayak tadi. Baik Laudia bersedia di jodohkan sama anak sahabat bapak. Tapi janji sama Laudia, bapak gak akan bicara seperti tadi. Ya pak ya?"

Pak Widodo langsung melebarkan kedua tangannya dan membawa putrinya masuk kedalam pelukannya.

"Terima kasih Laudia. Kamu memang anak yang sangat berbakti sama orang tua. Bapak percaya kamu pasti tidak akan menolak keinginan bapak. Kamu harus tahu nak, semua ini bapak lakukan demi kamu. Biar kamu tidak akan hidup kesusahan lagi. Bapak gak tega lihat kamu banting tulang sendirian. Jika kamu punya suami, maka kamu tidak perlu bekerja lagi nak," ucap Pak Widodo.

"Iya pak. Aku tahu kok. Bapak pasti ingin yang terbaik buat aku. Dan sebagai anak, aku akan menurut semua yang bapak perintahkan."

"Terima kasih putri bapak yang baik."

"Sama sama pak."

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Pak Widodo sudah bersiap menunggu kedatangan sahabatnya di ruang tamu. Laudia yang sudah menyelesaikan semua masakannya, bergegas membersihkan diri.

Selesai mandi, Laudia duduk di depan cermin. Mencoba menerima permintaan bapaknya dengan lapang dada. Diumur yang masih terbilang muda ia harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal.

"Aduh gimana ini. Kalau tadi aku nolak keinginan bapak, aku takut bapak sedih. Tapi kalau di iyakan aku sendiri yang susah. Wajahnya tampan gak ya? Kalau jelek gimana? Percuma dia kaya tapi kalau udah tua. Terus dia tukang selingkuh gimana? Aku kan gak mau sakit hati juga. Arghh... Mikir apa sih aku. Lagipula aku udah bilang mau sama bapak. Dan aku gak mau kecewain bapak. Apapun konsekuensinya, yang penting aku bisa buat bapak bahagia," batin Laudia.

Mobil yang di tumpangi Pak Edwin, Axele dan Nyonya Mela sudah tiba di depan rumah Pak Widodo.

"Ayo turun kita sudah sampai," ucap Pak Edwin.

Nyonya Mela dan Axele saling bertatapan. Sesekali mereka menolak ke rumah berukuran kecil dengan lampu kuning yang menerangi teras rumah mereka.

"Pah, ini rumah siapa?" tanya Axele.

"Ya ini rumah sahabat papa, sekaligus rumah calon istri kamu," jawab Pak Edwin.

"APA? Mas kamu yakin mau menjodohkan anak kita sama teman kamu yang miskin ini," sahut Nyonya Mela sambil menatap jijik rumah Pak Widodo dari dalam mobil.

Pak Edwin hanya bisa menghela nafas. Sebenarnya ia sudah tahu reaksi apa yang di tunjukkan istri dan putranya ketika tiba di rumah sahabatnya.

"Mah, Axele. Ayo turun. Jangan banyak bicara," ucap Pak Edwin.

"Tapi pah," Nyonya Mela mendesis kesal sambil melipatkan kedua tangannya ke dada.

"Kenapa mah? Kamu keberatan karena Axele akan menikah dengan anak orang tidak punya? Kamu lupa siapa aku dulu? Bukannya kamu juga menikahi pria miskin? Jangan lupa diri mah. Kamu harus ingat kita dulu juga miskin," cetus Pak Edwin.

Axele hanya bisa diam mendengarkan perdebatan kedua orang tuanya di dalam mobil.  Dia juga masih ingat ketika perjuangan papa dulu sebelum menjadi orang sukses seperti sekarang.

Apa yang di katakan papanya ada benarnya. Tidak pantas rasanya jika dia menolak perjodohan hanya karena gadis yang akan dia nikah dari orang miskin. Tapi masalahnya, Axele sudah mempunyai kekasih yang dia cinta. Bukan karena faktor derajat mereka yang berbeda.

"Ayo turun," Pak Edwin mulai bicara dengan nada yang meninggi.

"Iya pah," jawab Axele.

Mata Nyonya Mela kembali membulat. Ia menarik tangan Axele, supaya tidak menyetujui ide gila suaminya.

"Axele, kamu sudah gila ya. Kamu bisa dapat wanita mana pun sayang. Kamu itu tampan, kaya, pintar. Jangan mau menuruti ide papa kamu yang gak waras ini. Pokoknya mama gak setuju jika kamu menikah dengan gadis yang derajatnya jauh dibawah kita," cetus Nyonya Mela.

"CUKUP MELA!" bentak Pak Edwin.

"Stop mah, pah. Jangan bertengkar lagi. Sebaiknya kita semua turun. Dan Axele minta sama mama, ikuti ucapan papa."

"Tapi Axele.."

"Please ya mah."

Nyonya Mela terpaksa mengikuti kemauan suaminya. Mereka bertiga akhirnya turun dari mobil. Beberapa kali Pak Edwin melirik istrinya yang terus mengamati sekeliling rumah Pak Widodo.

"Ini rumah apa kandang sih. Kumuh banget. Kecil lagi. Kamu kok bisa sih pah punya temen orang miskin," protes Nyonya Mela.

"Kamu bisa diam gak mah. Berapa kali aku harus bilang ke kamu, aku dulu juga orang gak punya. Jadi wajar jika aku punya banyak temen yang senasib dengan aku dulu."

"Tapi itu kan dulu mas. Sekarang kamu kan.."

"Mela, bisa diam gak. Aku gak mau di depan mereka kamu berbicara seperti ini lagi. Mengerti!"

"Mah, pah. Udah ya jangan bertengkar terus. Papa juga, Axele udah setuju dengan perjodohan konyol dari papa. Jadi papa jangan marahin mama terus. Wajar jika mama kecewa sama keputusan papa yang sepihak ini. Karna jujur, Axele pun juga kecewa," ucap Axele.

Pak Edwin hanya diam. Biarkan sajalah istri dan anaknya terus meracau. Yang terpenting Laudia akan segera menjadi menantunya.

"Kamu bisa bicara seperti sekarang, Axele. Tapi lihat nanti, kamu akan berterima kasih sama papa karena sudah memberikan wanita yang baik, cantik, dan berbakti pada orang tua. Hanya Laudia yang papa percaya bisa merubah sifat kamu yang masih kekanak kanakan ini. Meski usianya masih muda, tapi pikirannya sudah seperti gadis dewasa," gumam Pak Edwin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status