Part 20"Pak, besok saya izin libur, kalau gak boleh geser libur saja, Pak," pamitku pada pria yang sedang duduk di meja kerjanya.Dia menatapku seakan bertanya.Ijm "Besok 100 harinya putriku, Pak, makanya saya izin libur.""Ya," jawabnya singkat.Terhitung, sudah tiga bulan rupanya aku bekerja di pabrik pengolahan makanan. Setiap hari, pabrik ini selalu beroperasi. Setiap karyawan diberi hak libur di hari yang berbeda alias bergantian. Maka dari itu pabrik tetap beroperasi."Apa kau butuh sesuatu?" tanya pria itu lagi. "Eh? Maksud bapak?""Apa kau butuh tambahan uang?""Ah tidak, Pak, saya tidak mau kashbon.""Baiklah. Kamu boleh libur," jawabnya. Kemudian tatapannya kembali berkutat ke layar laptop.Upah yang kudapat itu buat memenuhi kebutuhanku sendiri sehari-hari selama aku tinggal di sini. Sisanya ditabung. Aku masih membutuhkan banyak uang untuk modal tinggal sendiri.Mas Herdy?Ah, kami bagaikan orang asing. Kami memang masih tinggal satu atap bersama tapi saling acuh dan t
Part 21"Aku ingin kau segera bertanggung jawab, Mas!" ungkap Irdiana setelah ia berkeluh kesah pada ibu."Paling tidak lamar aku secara resmi, Mas. Biar ayah dan ibu tahu kalau kamu memang serius. Aku gak ingin menggugurkan kandungan ini, tapi aku juga gak ingin keluargaku mendapatkan malu.""Iya, Dek. Aku akan segera melamar kamu. Tapi nanti tolong bantu bicara sama Pak Renaldi ya, biar dia gak menghukumku.""Sekali-kali dihukum tidak apa-apa kan, Mas?""Duh, bisa mati aku, Dek," keluhku.Irdiana justru tertawa pelan. "Terus kapan?""Emmh, aku harus diskusi dulu kan sama keluarga," jawabku pelan. Aku tak ingin menyakitinya maupun memberi harapan besar."Aku ingin kepastiannya sekarang!" pungkas Irdiana dengan nada manja. Sikapnya yang begitu menggemaskan membuatku makin sayang. Padahal dia hanya memakai piyama tidur saja, tapi bisa secantik dan seseksi ini kelihatannya."Dek, tenanglah, jangan gegabah dulu.""Aku gak gegabah, Mas! Semua sudah terlambat, aku cuma butuh kepastianmu k
Part 22Meski mendapat penolakan dari orang tua Irdiana, tapi aku yakin kalau gadis itu bisa mengatasinya. Pak Renaldi dan istrinya pasti akan luluh dan menerimaku. Untuk itulah aku perlu mengumpulkan uang. "Gimana Irdiana?" tanya ibu. "Aku ditolak, Bu. Tapi aku sangat yakin, Diana pasti bisa mengatasi ini. Bu, tolong persiapkan aja semuanya untuk melamar Diana.""Lamaran itu butuh uang gak sedikit, Her," sahut ibu."Aku akan minta pada Muti, Bu.""Ibu gak yakin istrimu akan membantu."Aku menghela nafas gusar. Uang tabunganku sudah menipis, paling hanya cukup untuk membeli cincin, belum barang bawaan yang lain. Tapi tidak mungkin kan hanya bawa cincin saja, keluargaku pasti akan dipermalukan habis-habisan. Apalagi Pak Renaldi memang keluarga terpandang.Kuhampiri Mutia selesai tahlilan di rumah. Kuutarakan kalau aku ingin meminjam uangnya, dan itu pasti akan kukembalikan suatu saat nanti. Aku tak percaya kalau dia tak punya uang. Sejak kepulangannya semua serba rahasia. "Sebenar
Part 23“Bu, Ibuu ...!” teriakan Devina mengagetkan Bu Imas Ismawati yang masih shock sepeninggal putranya. Gadis itu lari tergopoh-gopoh menghampiri ibundanya.“Mas Herdy mana, Bu? Dia jadi pergi sama Bang Santos?” tanya putrinya dengan nafas tersengal.Bu Imas mengangguk. “Sebenarnya ibu khawatir sama kakakmu, Dev. Takut kalau anak itu diapa-apain sama si preman. Kasihan.” Wanita paruh baya itu menghela nafas dalam-dalam. “Coba kamu tanya Irdiana, Dev, siapa tahu kakakmu dibawa ke rumah Pak Kades.”Devina mengangguk.“Oh iya, motor kakakmu mana?”“Ada di rumah Mbak Tantri, sepertinya karena panik, Mas Herdy jadi melupakan motornya," sahut gadis itu lagi.“Haduh, dasar anak itu memang pelupa.”Devina masuk ke dalam rumahnya dan mengambil ponsel yang ia geletakkan di sudut ranjang.[Ir, tadi Mas Herdy dibawa pergi sama Bang Santos? Apa dia ke rumahmu?] Devina mengirimkan pesan wa pada Irdiana. Lima menit menunggu tak ada respon. Ia pun menghubungi temannya itu, tapi tak kunjung dian
Part 24"Mbak Mut, gawat, Mbak. Suamimu babak belur dihajar preman. Lukanya parah katanya sampai sekarang gak sadarkan diri. Sekarang dirawat di puskesmas."Kuhentikan aktivitasku dan menoleh ke arah Mang Damin, lelaki berumur 40 tahunan itu tetangga Mbak Tantri. “Tadi kakak iparmu yang bilang, Mbak Mut, saya hanya menyampaikan saja,” ujarnya lagi, kemudian permisi pergi.“Kau boleh izin pulang,” ujar Pak Arya. Aku menoleh ke arahnya. “Dia masih suamimu, lebih baik temui dia.” Usai mengatakan hal itu bosku itu pun pergi.“Baik, Pak,” sahutku entah didengar ataupun tidak.Aku menghela nafas panjang, melepas celemek serta seragam yang kukenakan dan berganti baju sendiri. “Kamu mau pulang, Mut?” tanya Santi.Aku mengangguk. “Mas Herdi katanya dirawat dan belum sadarkan diri.”“Halah suami gitu aja, kamu masih punya rasa kasihan. Biar aja mati sekalian, Mut! Dia kan sudah menyakitimu!” tukas Santi geram. Desas-desus kabar Mas Herdi yang kritis akibat dikeroyok preman terdengar santer d
"Bercerailah dengan Herdy dan pergi sejauh mungkin dari desa ini!" Aku mendongak menatap wajah Pak Kades. Jadi seperti inikah wajah asli kepala desa ini?"Saya tidak ingin berbasa-basi. Tinggalkan Herdy sebelum sesuatu yang buruk menimpamu!" tegasnya lagi."Bapak mengancam saya? Apakah pantas ini yang dikatakan oleh kepala desa?""Saya seorang ayah yang tak ingin putrinya hanya jadi istri kedua."Setelah mengatakan hal itu, ia justru meninggalkanku penuh pertanyaan. Aku tersenyum masam, mentang-mentang aku hanya rakyat biasa dan dia seorang kepala desa seenaknya sendiri bilang seperti itu. Benar, mereka semua disini tak lagi menginginkanku. Untuk apa aku terus menerus bertahan di sini. Kenapa sih aku masih bodoh. Ya, aku memang perempuan yang plinplan, entah kenapa masih belum ada ketegasan dalam diri ini.Kulangkahkan kaki menjauh dan pulang tanpa berpamitan lagi dengan mereka. Sesampainya di rumah ... Kulihat rumah ibu tampak sepi bahkan tergembok dari luar. Kemana mereka?Aku me
Part 25Setelah dua hari dirawat di puskesmasHerdi tersenyum kala mendengar hari ini dia diperbolehkan pulang. Ada hal yang membahagiakan lagi yakni tentang kedua orang tua Irdiana yang akhirnya menyetujui hubungan mereka. Ya, Pak Kades dan istrinya luluh juga dan hendak menikahkan mereka berdua."Akhirnya sebentar lagi kita menikah, Mas," ujar Irdiana seraya membantu mengemasi barang-barang yang hendak dibawa pulang.Ibunda Herdi dan saudaranya sudah menunggu di depan menyelesaikan bagian administrasi. "Ini semua berkat kamu, Dek.""Ya iyalah, aku harus berkorban demi anak yang kukandung agar dia punya ayah," sahut Irdiana seraya tersenyum manis.Satu hal yang membuat Herdi bertanya-tanya, sejak kemarin ia tak melihat Mutiara menampakkan batang hidungnya.Sesampainya di rumah ..."Bu, kenapa rumah sepi sekali ya? Apa Mutiara kerja?"Sang ibunda hanya menghela nafas berat. "Ibu gak lihat dia dua hari ini. Mungkin dia nginep di rumah selingkuhannya."Deg! Jantung Herdi terpompa lebih
Part 26"Tapi sekarang pergi kemana sih dia, Bu? Kok gak pulang-pulang? Siapa tahu kan dia punya tabungan, kita palak aja!" seru Tantri yang membicarakan adik iparnya.Bu Imas hanya mengendikkan bahunya seraya membuang napas panjang. "Dia ngilang kalau lagi dibutuhin, memang dasar istri tak berguna!"Suasana hening sejenak."Gini Tantri, Fitri, coba kalian hubungi suami kalian. Siapa tahu punya uang lebih. Mohon bantu sebisanya saja.""Ini sih pemaksaan, Bu! Aku gak sekaya itu! Bahkan akhir-akhir ini Mas Doni kirim jatahnya dikurangi," sungut Tantri kesal.Bu Imas kembali menghela napas. "Tolonglah lihat ibu, Nak. Ibu gak mau kalau harus dipermalukan sama orang-orang desa. Kalian juga pasti akan malu.""Ck!" Tantri berdecak kesal. "Oke nanti aku usahakan, ngomong sama suamiku dulu. tapi kalaupun ada mungkin gak banyak, Bu. Aku gak bisa janjiin apa-apa.Seulas senyum merekah di bibir tua itu. Ia merasa sedikit lega meskipun belum pasti."Bu, aku sih gak bisa bantu. Kondisi kami juga la