Langit mulai mendung seperti kemarin-kemarin. Nampaknya hujan akan kembali turun ke muka bumi.Ara menengadah ke atas langit sore itu. Sedikit menyipitkan mata karena merasa silau oleh matahari yang mengintip sedikit di antara awan kelabu.“Untung cucianku udah pada kering,” gumamnya sambil mengangkat semua jemuran di halaman belakang.Perutnya kini lebih membesar. Padahal kehamilannya baru saja memasuki usia empat bulan. Namun, wanita itu sudah sering merasa mudah lelah.Contohnya sekarang. Hanya berjalan dari halaman belakang menuju ruang tengah saja sudah membuat kakinya pegal.Ara menaruh pakaian-pakaian itu berserakan di atas Sofa. Dan ia berani bersumpah kalau sekarang dia tak kuat lagi untuk berjalan menaiki tangga.“Sepertinya mulai sekarang aku harus pindah kamar,” ucapnya sambil memijat betis.Ponselnya berbunyi. Rangga. Dia yang menghubunginya seperti biasa.“Ya, Mas?”“Kamu pulang belum? Aku baru selesai ngajar,” tanya Rangga di seberang telepon.“Udah. Ini aja udah di rum
Sejak itu, ketika Ara membakar foto Fery, hari-harinya kosong. Bagai telaga tanpa air. Kering. Sejak dia menghapus semua keinginan konyol yang baru disadari begitu terlambat.Sekarang kehamilan Ara sudah memasuki usia delapan bulan. Artinya empat bulan sudah dia berproses melupakan Fery.Namun, sayang sekali proses itu bisa dibilang gagal setelah Ara tetap tak bisa melupakannya. Sekeras apa pun mencoba.Pernah dia berpikir lebih konyol lagi, berharap datang seorang penyihir yang memberinya sebuah pil lupa. Ia tak peduli meski efeknya akan membuat dia lupa segalanya. Termasuk tentang dirinya sendiri.Beruntungnya semua itu hanyalah khayalan belaka. Khayalan yang pernah dia pikirkan saat stres kembali menyerang. Namun, sekarang sudah tidak pernah lagi Ara memikirkan hal yang tak mungkin terjadi di dunia. Bahkan dia sesekali menertawakan diri mengapa bisa-bisa sempat berpikir konyol begitu.“Bayinya sehat dan berkembang dengan baik. Selalu jaga kesehatan, banyak makan sayur dan buah, ya,
“Duh, Bu Ara. Perut udah sebesar ini masih aja maksain kerja. Istirahat aja. Nanti kelelahan gimana?” Mirna pasti menjadi orang pertama paling bawel tentang kondisinya.Namun, wanita itu hanya tertawa menanggapinya.“Di rumah terus malah bosen, Mir. Enggak ada kegiatan. Kesepian.”Sigap Mirna membantu Ara untuk duduk di kursinya. Dia sedikit mengeluh karena akhir-akhir ini pinggangnya sering merasa sakit. Hari ini juga.“Ya, kan namanya juga lagi hamil, Bu. Gimana, sih?” Mirna menyela ucapan atasannya. Tanpa dipinta, ia memijat bahu Ara, sesekali mengusapnya.“Kayak udah pengalaman aja kamu, Mir.” Ara tertawa renyah.Dan tawanya bersambut.“Ada, kan, tuh materinya. Materi saja dulu, prakteknya nanti kalau udah ada jodohnya,” jawab Mirna pintar. Dia mengakhiri kalimatnya dengan tawa lebih kencang.Ada-ada saja.“Duh, enak banget dipijitin. Tapi kamu harus balik ke ruanganmi segera, deh. Ada tanggung jawab yang lebih penting di meja kerjamu, Mir.”Mirna tahu itu. Ia pun berhenti memijat
Ara meniti hidup barunya dengan berani. Tanpa lagi memikirkan Fery atau bayang-bayang ketakutan masa depan sang buah hati. Sebab, ia tahu ada orang yang bisa ia andalkan untuk bisa menepis semua kegundahan itu.Rangga. Siapa lagi jika bukan dia.Saat itu jam makan siang. Karena ingat saat makan, Ara memutuskan untuk menanyakan apakah Rangga sudah makan siang dengan baik.Rangga masih tersipu malu usai digoda rekan-rekannya. Dia mangkir menjauh, tak mau sampai obrolan dengan Ara kacau gara-gara diganggu para makhluk jomlo itu.“Ya, Ra? Ada apa? Perutmu kerasa lagi?” tanya Rangga cemas.Namun, kecemasannya bersambut tawa.“Bukan. Aku cuma mau tanya apa Mas udah makan atau belum. Kenapa, sih, tiap aku telepon duluan pasti nanya masalah kehamilan? Dasar.” Ara meredam tawanya yang tak tertahan. Dan dia sungguh kacau. Merasa Rangga sangatlah lucu.Desahan lega melesat di bibir Rangga begitu saja. Ternyata bukan seperti apa yang dia pikirkan.“Aku kira gitu. Cuma berjaga-jaga aja, takut kamu
Vanya sedang duduk manis menghadap meja kerjanya. Karena jam istirhat sedang berlangsung, ia sedikit bersantai, merias diri sehabis makan siang beberapa saat lalu.Di ruangan itu tak sendiri, ada beberapa guru lain yang juga sedang asyik mengobrol, ada juga yang sedang diskusi, membicarakan tentang murid-murid berprestasi.Rangga datang dengan emosi yang hampir meledak. Bagai lava yang siap muntah kapan saja, bergemuruh dalam perut bumi.Melihat Vanya sedang membenarkan rambutnya yang tergerai bebas, laki-laki itu langsung menghampiri tanpa menghilangkan raut kesalnya.“Ayo keluar dulu. Ada yang perlu saya sampaikan,” ajak Rangga. Dia tahu kalau ditegur di sini, nanti yang ada Vanya hanya akan mendapat malu. Selain itu, ia juga tahu kalau itu terjadi, nanti akan ada bahan gosipan miring lagi.Vanya menurunkan cermin kecil, menatap heran.“Sepenting itu, ya, Pak Rangga? Sampai harus keluar.”Rangga yang sedang berjuang meredam emosinya itu tersenyum sumir. Menganggap pertanyaan Vanya a
Pengakuan Vanya masih saja mengiang di telinga Rangga. Bahkan itu sudah terjadi dua minggu yang lalu. Akan tetapi, meski telah diminta untuk melupakannya oleh guru muda itu, dan berharap pengakuannya tak sampai terbawa ke lingkup pekerjaan agar tak sampai terjadi kecanggungan, Rangga sama sekali tak bisa lupa. Mau itu dipaksa sekalipun.Ini akhir pekan. Rangga bersiap untuk pulang kampung, mengantar Ara yang sudah hamil tua mudik ke rumah orang tuanya.Ditepislah semua bayangan yang sebenarnya tak mau dia ingat lagi itu. Tentang Vanya dan pengakuannya. Lantas, dia menyetir mobilnya menuju rumah Ara.Tiiid!Wah, hampir saja Rangga oleng dan berpindah jalur. Alamat celaka kalau tak cepat-cepat sadar.“Astagfirullah ...,” ucapnya.Rangga memilih fokus meski sulit. Dan ini hal yang tidak bagus. Bagaimana kalau nanti dia melakukannya lagi ketika sedang bersama Ara?“Tidak, jangan sampai itu terjadi. Dia sedang hamil besar, aku harus hati-hati.”Rangga menghentikan sejenak kendaraan roda em
“Aduh, Pak! Buruan!” Bu Ratna kesal, sudah berteriak ini dan itu hanya karena lama menunggu suaminya yang ada di toilet, sementara hati dan pikirannya sudah ada di Jakarta, memikirkan Ara yang sedang berjuang di ruang bersalin.Bukan tak panik, bapak Ara tak bisa pergi kalau aktivitas ini belum selesai.Gedoran pintu toilet entah sudah berapa kali diketuk istrinya.Di lain tempat, tepat di rumah Rangga, wanita yang menyendiri itu tengah merapalkan doa-doa untuk keselamatan Ara yang sedang melahirkan. Serta berharap agar proses persalinannya berjalan lancar.Ia menyesal karena tak bisa pergi ke Jakarta sebab urusan di kampung tak bisa ditinggalkan begitu saja. Rangga memaklum, dan laki-laki itu tak menuntut agar ibunya bisa datang. Cukup doakan saya dia sudah dangat bersyukur.Bu Ratna akhirnya bisa pergi setelah suaminya selesaikan aktivitasnya itu. Mereka menaiki pick up putih yang biasa Pak Wisnu pakai kalau sedang mengantar hasil pertanian ke pasar-pasar.“Eling, ya, Pak. Hati-hati
Ponsel Rangga bergetar, pertanda telepon masuk. Saat itu dia sedang berada di warteg untuk membeli makanan. Katanya Ara masih lapar walau tadi sudah makan makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit.Rangga memaklum. Memangnya siapa yang tak akan kelaparan setelah berjuang di antara hidup dan mati dalam ruang bersalin? Setelah mendengar Ara ingin makan lagi, ia segera pamit pergi untuk membelikannya.Bu Ratna. Jelas sekali nama itu tertera di layar utama.“Assalamualakum, Bu.”“Waalaikumsallam. Rangga, sebentar lagi kami sampai ke Jakarta. Di sini masih macet. Gimana Ara? Dia sudah mau keluar ASI-nya?”Itulah hal pertama yang ditanyakan calon mertuanya.“Sudah, Bu katanya tadi sudah bisa,” jawab Rangga sedikit kurang nyaman.Bahas ASI? Rangga tak habis pikir.“Syukurlah. Ibu senang dengarnya. Tolong jaga Ara dan cucu kami, ya, Ga. Jangan ditinggal. Sampaikan pesan maaf kami karena terlambat datang hingga akhirnya nggak bisa menyambut kelahiran si kecil lebih awal.”Rasa sesal itu m