Satu kata untuk Bu Asti. Tega.Sebegitunya takut membuat Fery terpuruk lagi andai bertemu Ara, ia sampai berbohong besar. Mengatakan Fery telah menikah dengan wanita lain.Padahal, jangankan bisa menikah dengan wanita lain, sembuh dari penyakitnya saja belum. Dan entah kapan itu akan terjadi.Ara yang hendak memberitahukan tentang kehamilannya pada Bu Asti pun tak jadi. Ia tercenung syok hebat menelisik dalam ke bola matanya, berharap apa yang didengar baru saja itu hanyalah kepalsuan.Namun, akting Bu Asti amat sempurna. Ara tak bisa membaca semua kebenarannya. Dan wanita itu kini menangis sesegukan. Menggelang tak percaya.“Itu nggak mungkin,” kata Ara serak.“Apa pun pendapatmu. Tapi itu nyata. Fery sekarang tinggal bersama istrinya.”Ara semakin terisak.“Jadi, sudah jelas, kan? Berhenti mengejar Fery lagi kalau kamu tidak mau tambah terluka. Pulanglah, dan jalani kehidupan baru kamu.” Bu Asti bangkit dari duduknya, berjalan dengan langkah dingin menuju pintu.“Silakan pergi. Semu
Sesal itu akhirnya datang. Sesal yang pernah Ara pikir tak akan ia rasakan. Penyesalan terhadap Rangga yang telah ia sia-siakan. Tentang semua pengorbanan Rangga yang selalu ia anggap biasa. Dan semua hal yang terkait dengan laki-laki itu.Ara menyesal untuknya.‘Baru kusadari setelah ditampar keras oleh kenyataan pahit itu. Dengan penuh keyakinan aku datang ke London demi bisa bertemu mas Fery dan mengajaknya untuk rujuk. Tapi apa yang kudapat hanyalah rasa sakit yang sangay besar. Dia telah menikah dengan perempuan lain katanya. Dia sangat keterlaluan. Bahkan untuk menikah lagi pun tak memberitahuku. Sebenci itukah padaku? Menyebalkan!’“Kamu mau pulang?” tanya Rangga masih tak percaya. Secepat inikah? Bukannya Ara belum bertemu dengan Fery?Rangga yang tak mengerti dengan situasi ini cukup bingung. Sementara Ara kini hanya menatap lurus berkaca-kaca.“Heem. Aku mau pulang. Buat apa lagi tetap di sini. Buang-buang uang saja,” kata Ara mati-matian menahan diri agar tak menangis.“Tap
Pernah Rangga berpikir untuk kembali mendatangi apartemen kumuh itu untuk menemui ibu Fery. Untuk mengatakan tentang kehamilan Ara yang menurutnya tak bisa dirahasiakan. Akan tetapi, urung ketika Ara berkata itu tidak perlu. Tak ada lagi yang perlu disampaikan.Semua selesai baginya.***“Mama, kenapa kita harus pindah segala, sih?” Vina datang ke rumah kecil yang agak menjorok dari kota. Kecil, tetapi bersih.Rumah itu adalah rumah sewaan yang secara dadakan Bu Asti sewa. Wanita separuh baya itu terlalu takut jika Ara terus mengejarnya, meminta bukti tentang pernikahan Fery yang jelas-jelas adalah bualannya semata.Vina datang ke sana setelah ibunya menelepon, berangkat dari rumah sakit setelah kakaknya tertidur. Sekarang, dia sangat bingung, mengapa ibunya bisa seaneh ini. Baginya, sang ibu tampak bagai orang yang habis bertemu hantu saja.“Ara datang, maksa buat ketemu Fery.” Sesingkat itu penjelasan Bu Asti, lantas dirinya sibuk merapikan barang-barang bawaannya di rumah kecil itu
Perjalanan melelahkan dan menyakit untuk Ara itu akhirnya selesai, pun dengan liburan masa sekolah. Rangga akan bersiap untuk kembali pada pekerjaannya.“Ra, kamu udah siap belum? Aku jemput sekarang, ya?” tanya Rangga di corong telepon. Laki-laki itu tak pernah menghilangkan senyumnya yang merekah sepanjang mengobrol dengan Ara.Bucin.“Sudah. Ini udah nungguin di depan.”“Kamu mau sarapan apa pagi ini? Nanti kubelikan di perjalanan.” Lagi, Rangga bertanya.“Oh, itu enggak perlu, Mas. Aku lagi sarapan bubur di sini, di depan rumah,” ucap Ara mencegah.Saat ini Ara memang sedang sarapan pagi. Entah mengapa tadi terpikir ingin makan bubur. Ara pun memesan secara online. Sambil menunggu Rangga, dia menyantapnya di depan. Duduk di kursi teras.“Ya, udah. Aku on the way sekarang kalau kamu enggak butuh makan yang lain.”“Heem. Tutup aja teleponnya, Mas. Nanti kamu enggak fokus,” saran Ara mengingatkan. Ia tak mau kalau sampai Rangga mengalami kecelakaan kalau dia tetap ngotot mengendara s
Sumpah mati, Rangga serasa disetrum oleh tegangan listrik besar. Ketika masuk ke ruangan kepala sekolah, baru tahu ternyata ada gosip tentangnya tersebar buruk.“A-apa? Sa-saya ....”“Iya, saya tanya kamu apa benar itu? Benar kamu memiliki hubungan dengan wanita tanpa status pernikahan, dan dia hamil?” tanya ulang kepala sekolah.Dahi Rangga menciut, kerut. Dia tak tahu harus menjawab apa dalam situasi menegangkan seperti sekarang. Pikirannya tertuju pada Ara. Mungkinkah maksudnya dia? Sejak tadi pertanyaan itu menggelayut dalam benak.“Ini saya bukan lagi ikut campur tentang masalah asmara kamu. Ya, sebetulnya sah saja punya pasangan. Tapi, ya, tolong sebagai seorang guru jaga harga diri. Malu, lah, pacaran pakai gaya bebas sampai kalian melakukan hubungan terlarang itu. Sampai mau punya anak pula. Saya tidak mau citra sekolah tercoreng hanya karena masalah pribadi kamu, paham?” Pak kepsek melanjutkan kata-katanya. Pedas.Rangga tambah bingung. Dan mulai merasa tersinggung.“Jadi int
Langit mulai mendung seperti kemarin-kemarin. Nampaknya hujan akan kembali turun ke muka bumi.Ara menengadah ke atas langit sore itu. Sedikit menyipitkan mata karena merasa silau oleh matahari yang mengintip sedikit di antara awan kelabu.“Untung cucianku udah pada kering,” gumamnya sambil mengangkat semua jemuran di halaman belakang.Perutnya kini lebih membesar. Padahal kehamilannya baru saja memasuki usia empat bulan. Namun, wanita itu sudah sering merasa mudah lelah.Contohnya sekarang. Hanya berjalan dari halaman belakang menuju ruang tengah saja sudah membuat kakinya pegal.Ara menaruh pakaian-pakaian itu berserakan di atas Sofa. Dan ia berani bersumpah kalau sekarang dia tak kuat lagi untuk berjalan menaiki tangga.“Sepertinya mulai sekarang aku harus pindah kamar,” ucapnya sambil memijat betis.Ponselnya berbunyi. Rangga. Dia yang menghubunginya seperti biasa.“Ya, Mas?”“Kamu pulang belum? Aku baru selesai ngajar,” tanya Rangga di seberang telepon.“Udah. Ini aja udah di rum
Sejak itu, ketika Ara membakar foto Fery, hari-harinya kosong. Bagai telaga tanpa air. Kering. Sejak dia menghapus semua keinginan konyol yang baru disadari begitu terlambat.Sekarang kehamilan Ara sudah memasuki usia delapan bulan. Artinya empat bulan sudah dia berproses melupakan Fery.Namun, sayang sekali proses itu bisa dibilang gagal setelah Ara tetap tak bisa melupakannya. Sekeras apa pun mencoba.Pernah dia berpikir lebih konyol lagi, berharap datang seorang penyihir yang memberinya sebuah pil lupa. Ia tak peduli meski efeknya akan membuat dia lupa segalanya. Termasuk tentang dirinya sendiri.Beruntungnya semua itu hanyalah khayalan belaka. Khayalan yang pernah dia pikirkan saat stres kembali menyerang. Namun, sekarang sudah tidak pernah lagi Ara memikirkan hal yang tak mungkin terjadi di dunia. Bahkan dia sesekali menertawakan diri mengapa bisa-bisa sempat berpikir konyol begitu.“Bayinya sehat dan berkembang dengan baik. Selalu jaga kesehatan, banyak makan sayur dan buah, ya,
“Duh, Bu Ara. Perut udah sebesar ini masih aja maksain kerja. Istirahat aja. Nanti kelelahan gimana?” Mirna pasti menjadi orang pertama paling bawel tentang kondisinya.Namun, wanita itu hanya tertawa menanggapinya.“Di rumah terus malah bosen, Mir. Enggak ada kegiatan. Kesepian.”Sigap Mirna membantu Ara untuk duduk di kursinya. Dia sedikit mengeluh karena akhir-akhir ini pinggangnya sering merasa sakit. Hari ini juga.“Ya, kan namanya juga lagi hamil, Bu. Gimana, sih?” Mirna menyela ucapan atasannya. Tanpa dipinta, ia memijat bahu Ara, sesekali mengusapnya.“Kayak udah pengalaman aja kamu, Mir.” Ara tertawa renyah.Dan tawanya bersambut.“Ada, kan, tuh materinya. Materi saja dulu, prakteknya nanti kalau udah ada jodohnya,” jawab Mirna pintar. Dia mengakhiri kalimatnya dengan tawa lebih kencang.Ada-ada saja.“Duh, enak banget dipijitin. Tapi kamu harus balik ke ruanganmi segera, deh. Ada tanggung jawab yang lebih penting di meja kerjamu, Mir.”Mirna tahu itu. Ia pun berhenti memijat