Tak ada angin, tak ada hujan. Vina terasa bagai disambar petir ketika berhadapan dengan Ara di apotek itu tanpa diduga. Bahkan sempat merasakan kakinya membeku tak mampu bergerak barang sedetik. Matanya menatap dalam, tak bisa lepas.Entah itu keberuntungan atau bukan, Vina berhasil melarikan diri dari Ara saat itu. Tanpa menoleh lagi ke belakang, ia berlari sekencangnya.“Vina! Vina!”Bahkan panggilan Ara yang sangat jelas itu tak ia gubris.‘Maafkan aku, mbak. Aku belum siap bertemu muka sama mbak,’ batinnya penuh sesal.Vina lari pontang-panting setengah gila, membelah kerumunan jalan, dan menyeberang sembarangan. Tak aneh jika banyak orang mengumpatinya di jalan itu. Namun, karena kepanikannya lebih besar, Vina tak peduli dan melanjutkan lari bak atlet maraton.Ia berhenti di sebuah gang kecil. Vina berjongkok dengan degup jantung yang amat keras. Napasnya tersenggal. Berkali-kali menoleh ke belakang takut Ara mengejar.Setelah dipastikan aman, barulah Vina merasakan kelegaan yang
Semesta ini seperti sedang mempermainkan Ara. Di saat dia berjuang mati-matian mengejar apa yang menjadi harapannya untuk masa depan, justru masa depan yang ia kejar malah semakin menjauh.Ara tersungkur kelelahan setalah berlarian ke sana ke mari mencari Vina. Bahkan tak terasa waktu tengah hari hampir tiba.Putus asa tak bisa menemukannya, Ara bangkit dan berlari ke toilet umum. Terisak di dalam sana.‘Kenapa kamu pergi, Vina? Kenapa?’ lirih berkata dalam tangisnya.Mengingat raut wajah gadis itu kaget bukan main membuat Ara sadar, bahwa mantan adik iparnya itu sangatlah syok bisa bertemu muka dengannya.Akan tetapi, mengapa harus lari darinya? Satu tanya itu terus menggunduk semakin tinggi di hati. Sayangnya tak ada satupun jawaban yang ia tahu.‘Apa dia sungguh-sungguh ingin tak mau melihatku lagi? Serius?’ batinnya tak paham.Sial. Tangisan Ara tak juga bisa berhenti. Malah semakin menjadi, dan ia hanya bisa meredamnya kuat-kuat dengan dua telapak tangan.Di saat sama, ponselnya
“Mas, ayo katakan apa rencana kamu itu?” Ara tak sabaran, menagih janji Rangga cepat-cepat, padahal luka bekas teriris pisau di jarinya belum dibalut plester. Rangga baru selesai mengoleskan salep luka.Mata laki-laki itu menatap sepasang iris sendu Ara. Namun hanya sekilas. Kemudian dia kembali fokus pada jari itu.“Sabar, Ra. Plesternya aja belum dibalutkan. Belum lagi makan siang. Aku yakin perut kamu masih belum diisi oleh menu makan siang, kan?” Begitu santainya Rangga berkata.Ah, bisa saja laki-laki itu bicara. Dia sendiri bahkan belum sarapan sama sekali. Di apartemen, masakan itu sudah mendingin dan tak ada yang menyentuhnya.Sementara itu Ara terpaku. Menatap lurus pada Rangga dengan alis yang tertaut hampir menyatu.“Makan siang?” tanyanya pelan.Rangga mengulas senyum seraya menunjukan jam di tangan.“Kamu terlalu fokus mengejar seseorang yang jelas dari kamu, sampai tak sadar waktu sudah begini siangnya.”Kontan Ara menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Benar kata
Lagi-lagi Ara menangih janjinya setelah selesai makan siang. Dia tak akan berhenti merengek kalau yang diinginkannya belum terwujud.Rangga mendesah berat. Hatinya bertanya, inikah akhirnya ia harus mempertemukan Ara dengan keluarga Fery? Rangga sedih. Dan rasa itu tak akan bisa dengan mudah hilang.“Kita bisa cari tahu lewat CCTV,” ucap Rangga akhirnya mengatakan ide sederhananya itu.Ara tercenung. Hah? Hanya itu? Apa bisa? Dirinya sampai meragukan ide Rangga. Namun hati tak bisa dibohongi. Ada segelintir bahagia sebab memiliki sebuah peluang lebih besar untuk menemukan keluarga Fery.“Kita bisa mulai dari sana, ayo.”Ide Rangga tak terlalu buruk. Setelah satu jam menelusuri jejak Vina, akhirnya mereka sampai ke gedung apartemen kumuh yang letaknya berada di gang yang menjorok dalam. Satu persatu pintu diketuk, menanyai apakah mereka mengenal sosok Bu Asti dan Vina, dan apakah mereka tinggal di salah satu aprtemen itu?Keduanya memperlihatkan Foto Vina dan ibunya sebagai alat bantu
Satu kata untuk Bu Asti. Tega.Sebegitunya takut membuat Fery terpuruk lagi andai bertemu Ara, ia sampai berbohong besar. Mengatakan Fery telah menikah dengan wanita lain.Padahal, jangankan bisa menikah dengan wanita lain, sembuh dari penyakitnya saja belum. Dan entah kapan itu akan terjadi.Ara yang hendak memberitahukan tentang kehamilannya pada Bu Asti pun tak jadi. Ia tercenung syok hebat menelisik dalam ke bola matanya, berharap apa yang didengar baru saja itu hanyalah kepalsuan.Namun, akting Bu Asti amat sempurna. Ara tak bisa membaca semua kebenarannya. Dan wanita itu kini menangis sesegukan. Menggelang tak percaya.“Itu nggak mungkin,” kata Ara serak.“Apa pun pendapatmu. Tapi itu nyata. Fery sekarang tinggal bersama istrinya.”Ara semakin terisak.“Jadi, sudah jelas, kan? Berhenti mengejar Fery lagi kalau kamu tidak mau tambah terluka. Pulanglah, dan jalani kehidupan baru kamu.” Bu Asti bangkit dari duduknya, berjalan dengan langkah dingin menuju pintu.“Silakan pergi. Semu
Sesal itu akhirnya datang. Sesal yang pernah Ara pikir tak akan ia rasakan. Penyesalan terhadap Rangga yang telah ia sia-siakan. Tentang semua pengorbanan Rangga yang selalu ia anggap biasa. Dan semua hal yang terkait dengan laki-laki itu.Ara menyesal untuknya.‘Baru kusadari setelah ditampar keras oleh kenyataan pahit itu. Dengan penuh keyakinan aku datang ke London demi bisa bertemu mas Fery dan mengajaknya untuk rujuk. Tapi apa yang kudapat hanyalah rasa sakit yang sangay besar. Dia telah menikah dengan perempuan lain katanya. Dia sangat keterlaluan. Bahkan untuk menikah lagi pun tak memberitahuku. Sebenci itukah padaku? Menyebalkan!’“Kamu mau pulang?” tanya Rangga masih tak percaya. Secepat inikah? Bukannya Ara belum bertemu dengan Fery?Rangga yang tak mengerti dengan situasi ini cukup bingung. Sementara Ara kini hanya menatap lurus berkaca-kaca.“Heem. Aku mau pulang. Buat apa lagi tetap di sini. Buang-buang uang saja,” kata Ara mati-matian menahan diri agar tak menangis.“Tap
Pernah Rangga berpikir untuk kembali mendatangi apartemen kumuh itu untuk menemui ibu Fery. Untuk mengatakan tentang kehamilan Ara yang menurutnya tak bisa dirahasiakan. Akan tetapi, urung ketika Ara berkata itu tidak perlu. Tak ada lagi yang perlu disampaikan.Semua selesai baginya.***“Mama, kenapa kita harus pindah segala, sih?” Vina datang ke rumah kecil yang agak menjorok dari kota. Kecil, tetapi bersih.Rumah itu adalah rumah sewaan yang secara dadakan Bu Asti sewa. Wanita separuh baya itu terlalu takut jika Ara terus mengejarnya, meminta bukti tentang pernikahan Fery yang jelas-jelas adalah bualannya semata.Vina datang ke sana setelah ibunya menelepon, berangkat dari rumah sakit setelah kakaknya tertidur. Sekarang, dia sangat bingung, mengapa ibunya bisa seaneh ini. Baginya, sang ibu tampak bagai orang yang habis bertemu hantu saja.“Ara datang, maksa buat ketemu Fery.” Sesingkat itu penjelasan Bu Asti, lantas dirinya sibuk merapikan barang-barang bawaannya di rumah kecil itu
Perjalanan melelahkan dan menyakit untuk Ara itu akhirnya selesai, pun dengan liburan masa sekolah. Rangga akan bersiap untuk kembali pada pekerjaannya.“Ra, kamu udah siap belum? Aku jemput sekarang, ya?” tanya Rangga di corong telepon. Laki-laki itu tak pernah menghilangkan senyumnya yang merekah sepanjang mengobrol dengan Ara.Bucin.“Sudah. Ini udah nungguin di depan.”“Kamu mau sarapan apa pagi ini? Nanti kubelikan di perjalanan.” Lagi, Rangga bertanya.“Oh, itu enggak perlu, Mas. Aku lagi sarapan bubur di sini, di depan rumah,” ucap Ara mencegah.Saat ini Ara memang sedang sarapan pagi. Entah mengapa tadi terpikir ingin makan bubur. Ara pun memesan secara online. Sambil menunggu Rangga, dia menyantapnya di depan. Duduk di kursi teras.“Ya, udah. Aku on the way sekarang kalau kamu enggak butuh makan yang lain.”“Heem. Tutup aja teleponnya, Mas. Nanti kamu enggak fokus,” saran Ara mengingatkan. Ia tak mau kalau sampai Rangga mengalami kecelakaan kalau dia tetap ngotot mengendara s