Zafar izin ke kamar dulu pada teman-temannya, ia membuka surat itu dan perlahan membacanya. [Assalamu'alaikum, Neng Hilma. Maaf dengan surat ini Aa ingin mengutarakan, kalau Aa teh sebenarnya sudah jatuh hati pada Neng sudah lama. Maafin Aa yah, karena tidak berani mengutarakan, sampai pada akhirnya kamu diambil orang. Aa kira kamu teh akan tetap menjadi milik Aa. Tapi orang kota itu merebut segalanya, Neng. Padahal akhir tahun ini Aa niat ingin melamar Neng Hilma. Tolong jangan berikan surat ini pada siapa pun ya, Neng. Sekali lagi Aa minta maaf karena selama ini hanya diam, padahal tau, kalau kita saling mencintai. Selamat menikah, ya. Semoga bahagia dengan lelaki kota itu. ]Zafar menghembuskan napas pelan setelah membaca suratnya. Ia menyimpan surat itu di dalam lemari, kemudian kembali ke luar. Ternyata benar dugaan Zafar, bahwa Hilma dan Ajat ada saling menyimpan perasaan satu sama lain. Zafar kembali duduk bersama temannya. Mereka membahas apa yang akan dilakukan saat Sinta d
Pagi menyapa, setelah kejadian semalam, Zafar dan teman-temannya merasa lelah dan memutuskan untuk tidur sebentar. Tapi mereka malah pulas, begitupun dengan Zafar. Saat mendengar suara ayam berkokok, dan cahaya masuk lewat celah gorden, membuat pria itu perlahan membuka mata. Ia mengecek ponsel ingin tahu jam berapa ini. "Oh... Baru jam enam." Zafar menguap lalu ingin kembali tidur, tapi.... "Apa, jam enam!" teriak Zafar, pria itu langsung berdiri dan lari ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia sangat merasa bersalah jika sampai tidak melaksanakan solat. Pria itu kembali ke dalam, mengambil sajadah dan sarung di kamar, kemudian melaksanakan solat. Sedangan di tempat lain, Hilma sedang menyapu rumah karena merasa bingung harus berbuat apa lagi. Dia sampi ke Bekasi baru saja, tapi tidak bisa diam karena merasa tak nyaman dengan rumahnya. Kedua teman Zafar yang mengendarai mobil itu meminta Hilma untuk tetap diam di rumah. Makanan dan apa pun itu akan diberikan olehnya. Jika ingi
Zafar dan pria itu saling tatap, yang pada akhirnya Zafar memilih turun untuk menghampirinya. Ajat yang sengaja mencegat Zafar berusaha tersenyum pada pria itu. "Ada apa?" tanya Zafar dingin. "Maaf kalau nyegat kamu di jalan begini. Saya hanya ingin menanyakan Neng Hilma dan Pak Hasan, ke mana mereka?""Untuk apa kamu nanyain mereka? Ada penting?""Tidak ada, hanya saja sebagai warga yang perduli sesama warga, wajar saja kan jika saya bertanya?"Mendengar itu Zafar memalingkan wajah sambil tersenyum miring. Ia berpikir sok sekali lelaki di hadapannya ini, pandai berakting berusaha mendapatkan cap si paling peduli sesama warga. "Mereka gak ada, dan kamu tidak perlu tau ke mana mereka pergi. Permisi." Zafar berbalik menaiki motornya, ia melaju melewati Ajat yang hanya bisa mengembuskan napas kecewa, karena tidak tau keberadaan gadis itu di mana. Bahkan saat ada kebakaran pun Hilma dan Pak Hasan tak ada membantu. Biasanya mereka selalu turut apa pun yang tengah terjadi. Pria itu memi
Perkenalkan ibu-ibu, bapak-bapak, ini adalah Pak Andre dan ini ponakannya Kakak Sinta. Niat mereka ke sini seperti yang sudah waktu itu saya sampaikan, bahwa mereka ingin membeli tanah yang dekat jalan itu, untuk dibuatkan pabrik."Seterusnya Kepala Desa menjelaskan lagi, jika mereka ingin membuat pabrik pengolahan padi, para warga akan mendoakan pekerjaan baru saat pabrik itu sudah selesai dibangun, warga juga akan mendapatkan hara tinggi untuk penjualan padi. "Betul begitu, Pak Andre?" tanya kepala desa. "Iya, Pak. Betul sekali. Kenapa saya ingin membuat pabrik di sini? Itu semua karena saya mau, kalian bertani di kampung ini, kalian juga mengolahnya di sini. Dengan begitu, para petani semua tak perlu menjual jauh-jauh hasil panen ke kampung seberang, mahal ongkos tapi harga sangat rendah.""Iya, dan kami di sini, tidak akan membeli tanah kalian dengan harga yang sudah ditentukan. Kami akan membayarnya dua kali lipat!" ujar Sinta, setelah sang paman selesai berbicara. Mendengar w
"Zafar!" Haji Burhan yang baru sampai langsung menghampiri pria itu, ia tau dari salah satu desa yang lewat saat kejadian kebakaran tadi. "Kamu gak papa?" tanyanya panik, Haji Burhan takut sekali jika saat rumah terbakar dia ada di dalam. "Aku gak papa, Paman. Hanya saja rumahnya...." Zafar menangis, ia sungguh bingung apa yang harus dikatakan pada Bapak mertuanya nanti. "Sudah, kita pikirkan nanti soal rumahnya. Ayo, sekarang ke rumah paman dulu. Ayo-ayo semua," ujar Haji Burhan, yang mengajak teman Zafar juga. Pito dan Bima saling tatap, barang-barang mereka ada di sana semua. Beruntung dompet dan ponsel selalu mereka bawa. Mereka ke rumah Pak Burhan, sepanjang jalan Zafar diam, ia takut sekali dimarahi oleh Pak Hasan, saat sedang melamun, pria itu melihat dari kejauhan, Ajat sedang berdiri di depan rumah Haji Burhan. "Pria brengsek itu. Untuk apa dia di sana, apa jangan-jangan...." Zafar meminta Pamannya itu untuk melaju lebih cepat, saat sudah sampai di pekarangan rumah, ia l
Di kota, Hilma gusar, ia tak bisa tidur. Berkali-kali ia mengecek ponsel jadul itu, tapi tak kunjung ada balasan dari Zafar. Sedari tadi pagi perasaanya tak enak, membuat gadis itu sering melamun. Begitu juga dengan Pak Hasan, wajah sang almarhum sang istri terbayang-bayang. Ia merasa tak enak hati, tapi tak tau kenapa. Padahal, mungkin semua itu karena ikatan batin mereka dengan rumah yang sudah hangus terbakar sangat lekat. Sehingga mereka bisa merasakan kegelisahan. Jika saja mereka tau rumahnya sudah hangus terbakar. Mereka pasti akan memaksa untuk pulang melihat keadaan rumah. Hilma memilih keluar dari kamar. Ia sedikit terkejut mendapati sang Bapak yang juga sedang duduk termenung di kursi. "Bapak belum tidur?""Belum, Neng. Bapak teh gak bisa tidur. Neng, tanyain ke Zafar, kapan kita bisa pulang? Bapak udah gak betah di sini."Hilma ikut duduk di samping Sang Bapak, ia menatap wajahnya. "Pesan Hilma yang tadi juga belum di jawab, Pak. Sama kayak Bapak, Hilma juga mau seger
Malam selepas isya, warga berkumpul di pos ronda bersama dengan hansip. Mereka diminta untuk berjaga sampai pukul sebelas malam. Setelah itu semuanya bisa berpencar. Zafar dan Haji Burhan turut hadir. Mereka juga ingin tau siapa yang telah membuat kampung ini kacau, jika memang malam ini dia akan tertangkap. Ajat saat di rumah tadi, melihat gerak-gerik sang adik yang seperti biasa, sering menjauh saat ada telpon, dan pergi setelahnya. Ia akan merasa sangat malu jika memang Adi yang bertanggung jawab atas semua ini. Tapi, untuk apa dia melakukannya? Semua berkumpul di pos sampai jam yang ditentukan, kemudian mereka mulai meronda samping ke pelosok kampung. Awalnya semua tidak ada yang aneh, sampai seorang warga melihat kilatan hitam saat mereka sedang melewati persawahan. "Apa dia orang?" tanyanya ke warga yang tengah meronda juga bersamanya. "Kayaknya iya, ini sangat mencurigakan. Untuk apa dia di saung malam-malam begini?"Warga yang lain memberikan instruksi, kemudian mereka k
Pak Hasan yang bangkit, membuat Hilma tersadar dari lamunan. Ia langsung memalingkan wajah dari pandangan Zafar. Bisa-bisanya dia malah diam menatap pria itu."Yuk masuk yuk. Kita lihat dalamnya seperti apa," ujar Zafar, membawa Pak Hasan masuk, begitu juga dengan Hilma. Pria itu membuka pintu dan berucap salam, di dalamnya sudah ada sofa dan TV, dapur yang sudah lengkap dengan alat-alat masak. Melihat itu Pak Hasan mengusap air mata, ia tidak bisa berkata-kata selain berucap syukur. Kemudian Zafar membuka pintu kamar, yang di mana itu untuk kamar Pak Hasan. Sudah berisi lemari dan juga springbed. "Nah, Bapak bisa tidur dengan nyaman di sini. Gak usah pake AC lah, ya. Kan di sini dingin, gak kayak di bekasi kemarin."Pak Hasan tersenyum di sela-sela tangisnya. Ia membawa Zafar ke dalam pelukan. Berucap Terima kasih untuk semua ini. Kini tiba lah Hilma, pria itu mengajak sang istri ke atas, berdua. Karena Pak Hasan merasa sakit dengkul jika harus menaiki tangga. Hilma terpaku melih