Kamila turun dari mobil, dan menatap dengan mata memicing mobil yang terparkir di depan butik milik Kalina. "Mobil merah ini kayak yang nggak asing, punya siapa, ya--ohiya mobil si lakor," pekik Kamila ketika sadar. Buru-buru Kamila berlari kecil masuk ke dalam. Setelah sampai, benar saja. Perempuan cantik bergaun putih itu sudah ada di dalam sedang melihat-lihat koleksi pakaian yang terpajang. "Ekhmm, permisi!" sapa Kamila pada Yuna dan manager butiknya. "Loh, Ibu. Akhirnya datang juga," seru sang manager bernama Neli. "Hai, Nel. Maaf, baru sempet mampir. Sibuk soalnya," sahut Kamila kikuk. "Hehe. Iya, nggak apa-apa, Bu. Nanti kita ngobrol lagi, ya. Kebetulan Neli mau nyerahin laporan bulanan.""Oke, siap." Kamila mengedipkan mata sejenak, lalu beralih pada Yuba. "Em, badewei, eniwei, baswei. Ada apa gerangan artis Ikan Terbang fenomenal menyambangi butik kumuh ini?" cibir Kamila pada Yuna dengan satire-nya. "Oh, iya. Neli belum sempet kasih tahu ibu. Bu Yuna, kan salah satu p
Semua orang yang memadati aula sontak menoleh pada objek yang sama. Kamila yang baru saja jadi pusat perhatian hanya bisa membungkukkan badan, dan tersenyum pada hadirin sekalian. Kalimat sarkasme yang dia lontarkan pada Yayang jelas membuat semua orang tercengang, mengingat sosok istri Wisnu yang selama ini tak pernah menghadiri berbagai undangan perusahaan, tiba-tiba datang dengan sangat percaya diri di hadapan para tamu perusahaan. Yayang menuduk dengan kedua tangan yang terkepal di atas paha. Mati-matian dia menyembunyikan wajah di antara juntaian poni rambut pendeknya. Dia bangkit perlahan dan langsung berjalan cepat duduk di sisi paling kanan, dekat dengan para pemegang saham yang datang sendirian. Kamila mengempaskan bokongnya, selepas kepergian Yayang. Dia menoleh ke arah Wisnu, lalu tersenyum penuh kemenangan. "Kenapa kamu nggak bilang kalau acara yang dimaksud itu resmi begini? Tau sendiri, zaman sekarang banyak ulet gatel yang cari kesempatan dalam kesempitan. Nempelin l
"Wuhu ... Neli! Any body here?" Kamila celingukan sembari berteriak memanggil penghuni butik, setelah masuk ke dalam bangunan dua lantai itu. "Eh, Bu Kalina udah datang. Mari, Bu!" Kepala Neli menyembul dari tangga lantai dua. Kamila langsung berlari kecil menghampirinya. Mereka duduk di sebuah sofa yang berhadapan dengan meja kaca di depan. Terdengar suara mesin jahit dan beberapa pegawai yang tengah beroperasi siang ini. "Nah, ini desain gambar yang aku janjikan tiga bulan lalu." Dengan percaya diri Kamila mengeluarkan beberapa kertas bergambar di atas meja. Neli mengernyitkan dahi. "Ibu yakin? Ini nggak salah, kan?" Neli memeriksa satu per satu gambar yang dibuat Kamila, lalu menggaruk rambut yang tak gatal. "Yakinlah. Wong aku bikinnya semaleman sampe pegel tangan.""I-iya, sih. Tapi, kok gambarnya aneh begini. Maaf, ini konsepnya gimana, ya, Bu?" tanya Neli hati-hati. "Yaelah, Nel. Masa begini aja nggak tahu. Yang ini, nih!" Kamila menyambar selempar gambar. "Ini konsepnya
"Aku harus membuktikannya. Dan mengambil sample DNA mereka. Kalau Thea terbukti anak Pak Dahlan, dan saksi keterlibatan Yayang atas kecelakaan Kalina terbongkar ... modyar, tuh si Kuyang!" Sebelah tangan Kamila mencengkeram pegangan tangga. Tekad kuat baru saja tumbuh dalam hatinya. Dia melanjutkan langkah cepat menaiki tangga menuju kamarnya, tapi sebelum itu tiba-tiba dia teringat akan Bu Dahlia. "Ck, kampret kenapa aku harus peduli, sih?" Kamila mengacak rambut saat sampai di depan kamar Bu Dahlia. "Dahlah, itung-itung memanusiakan manusia, walaupun aku nggak yakin masih ada rasa kemanusiaan di keluarga ini."Ceklek! Pintu terbuka perlahan. Kamila berjalan menghampiri tubuh Bu Dahlia yang masih terbaring lemah sejak kepergian Hendri. Dia melirik makanan dan minuman serta buah yang masih utuh di atas nakas samping pembaringan."Ma, kenapa belum makan?" Kelopak mata Bu Dahlia yang semula tertutup perlahan terbuka. "Su--""Susu?" Kamila mengernyit dahi. Bu Dahlia menggeleng. ".
"Sebentar, biar aku periksa dulu. Suaranya, sih kayak Indra!" Bu Dahlia mengangguk. Dia menatap punggung Kamila yang berlalu. Kamila langsung berlari kecil menuju lift untuk mengefektivitaskan waktu. Tiba di lantai dasar dia sudah melihat beberapa guci pajangan tercecer di lantai dan Indra berteriak-teriak memanggil namanya dengan tubuh sempoyongan."Lu ngapain, Indra? Pake ada acara lempar-lempar guci!" pekik Kamila tepat di hadapan lelaki setengah teler itu. "Mabok, ya?"Indra malah menyeringai, dengan gerakan yang tidak terprediksi tiba-tiba dia menarik keras dress Kamila dengan sekali sentak hingga mengakibatkan empat kancing teratasnya terlepas. Tampaklah dada penuh yang putih mulus itu. "Hehe, ternyata semontok yang gue kira." "Bangsat!"Plak! Kamila menampar keras pipi Indra. "Mulai kurang ajar lu, ya!"Ditampar seperti itu Indra malah cengengesan dan kemudian menahan kedua tangan Kamila dan berusaha mencumbunya dengan memojokkan ke sofa panjang. "Nggak usah muna kakak ipa
"Astaga ... apa yang baru saja terjadi, Kalina?!" Wisnu yang baru saja tiba sangat terkejut melihat kondisi Indra yang sudah babak-belur terkulai di lantai bergerak tak beraturan, sementara Kamila menangkup wajah di sofa. "Tanya aja sendiri sama adik bejat lo, atau langsung cek CCTV!" cetus Kamila sengit. Tanpa bertanya lagi dia langsung berlari ke ruang kendali yang terletak di bagian paling dasar kediaman ini. Beberapa saat kemudian Wisnu kembali tanpa hasil. "Beberapa CCTV mati. Bisa kamu jelaskan secara garis besar?"Kamila menghela napas panjang. Lalu bangkit berdiri menatap Wisnu yang diliputi kebingungan. Saat itulah dia bisa melihat pakaian Kamila yang sudah koyak dengan rambut semrawut, bersama dengan kedua punggung tangan yang memar setelah memukuli Indra seperti orang yang kesetanan. "Sumpah, gue udah bener-bener muak sama keluarga, lo, Nu." Kamila menatap Wisnu dengan nanar. "Lo tahu? Kalian yang katanya keluarga konglomerat, tapi punya kelakuan yang bener-bener nggak
"Maaf, Mbak. Apa wanita dengan rambut sepundak dan mantel hitam baru saja chek in di hotel ini?" Wisnu berdiri di depan meja resepsionis Hotel Melati, saat melihat mobil yang dikendarai Kamila berbelok ke sini. "Mohon maaf, kalau boleh tahu bapak siapanya, ya? Kami tidak bisa memberi tahu informasi lebih lanjut kalau memang tidak ada hubungan berarti," tutur sang resepsionis dengan ramah. "Saya suaminya, Mbak. Nama istri saya Kalina Fathira.""Saya periksa sebentar." Resepsionis tersebut terlihat mulai memeriksa layar komputer di hadapan. Beberapa saat kemudian dia mengangguk pelan setelah memeriksa kedua data diri yang diberikan, dan menemukan kecocokkan. "Kalau begitu silakan, Pak. Beliau ada di lantai 6 kamar nomor 120."Wisnu mengangguk, lalu buru-buru menuju kamar yang dituju. "Kal! Kalina! Tolong biarkan aku masuk. Kita bicara sebentar." Wisnu menggedor-gedor pintu kamar bernomor 120 itu. Namun, tetap tak ada sahutan dan respons dari dalam. "Kal, aku mohon. Maaf, atas segala
"Mendingan sekarang kamu pulang, keadaan di rumah mungkin sedang kacau, pastikan Indra dapat penanganan yang sesuai. Dia udah bener-bener kecanduan." Sembari merapatkan outer yang melapisi gaun tidurnya, Kamila melirik Wisnu yang duduk di sofa, sementara dia di sudut ranjang. Meskipun sesuatu yang tak terduga baru saja terjadi, beruntung Kamila sempat menarik diri hingga tidak ada hal lebih yang terjadi walaupun keduanya sama-sama tak bisa saling mengindari. "Tapi--""Tenang, aku bisa mengurus diri sendiri," potong Kamila, sebelum sempat Wisnu menyanggahnya. "Baiklah." Dengan berat hati Wisnu beranjak dan berjalan menghampiri, dia merunduk hendak mengecup puncak kepala Kamila, tapi perempuan itu lebih dulu menghindarinya. Akhirnya dia terpaksa pergi, meski ada yang masih tertinggal di sini. ***Beberapa pejalan kaki dan para pengendara roda empat maupun dua, menatap penasaran pada seorang wanita yang memanjat tangga menyobeki iklan yang dipasang pada papan reklame di pinggir jalan