Kami diam seribu bahasa, Haikal yang biasa bertingkah konyol, kini hanya bisa diam merasakan hawa panas abangnya yang tak dapat lagi ditahan. "Kalian sudah pernah nonton? Berdua?" Pandangan Bang Malik kini menunduk ke lantai, tak mau lagi menatap kami. Haikal masih tetap tak menyahut. Kakiku gemetar menanti-nanti apa yang akan terjadi. "Tidak ada yang bisa menjawab?" Bang Malik terus bertanya."Apa kamu menyukai Chaca, Kal?" todong Bang Malik menatap adik lelakinya itu. Haikal merasa serba salah, dia mengusap pelan rambutnya, belum menjawab apa pun. Aku mencoba membantu Haikal untuk menjawab."Bang, Haikal... ""Diamlah, Chaca! Abang tidak bertanya sama kamu." Ia menyela ucapanku. Saat ini Bang Malik berbicara masih dengan nada yang rendah, tapi itu terdengar makin menakutkan. Aku hanya takut kalau dia sedang mengumpulkan tenaga, lalu meledak dan habis menghajar Haikal begitu saja. Bukankah selama ini ia hanya tahu marah-marah dan sembarangan memukul orang? Haikal belum menjaw
Keesokan harinya Haikal muncul pagi-pagi sekali. Dia terlihat lebih rajin. Dia bahkan membantu Bu Rini untuk mengetik jurnal hari ini. Tak lupa dia membantu Oji dan tim lainnya dari divisi coolroom untuk mengupas kulit udang, dalam jumlah yang sangat banyak. Kulirik Bang Malik senyum-senyum sendiri dari balik kantor dengan aktivitas adiknya itu. Bahkan saat istirahat makan siang, dia menggantikan tugas bu Rini untuk membuat form laporan hasil produksi hari ini, lalu langsung mengcopynya untuk dibagikan ke masing-masing divisi.Dia bahkan terlihat sangat sibuk sehingga tidak punya kesempatan untuk menggangguku. Aku jadi geli sendiri. Dia pasti melakukan itu untuk mengambil hati kakaknya atas kejadian semalam. Mungkin dia juga sudah paham, dengan bersikap baik dan manja, hati Bang Malik akan cepat luluh dan mudah memaafkan."Nih, makan!" Aku meletakkan kotak makan di meja kerjanya. "Pergilah, nanti Bang Malik akan marah lagi sama kamu.""Kamu yang salah, kenapa dia harus marah sama
Hari yang buruk buatku. Bagaimana tidak, jadwal off yang biasa aku pergunakan untuk beristirahat atau berjalan-jalan dengan sang kekasih, malah diambil alih oleh bu Sam. [Sayang, Mama minta kamu nemenin dia ke salon. Mau, kan?] Bang Malik mengirimiku pesan whatsapp dan membatalkan rencana.[Emang pembantu pada libur ya, Bang? Chaca nggak mau!] balasku. [Itung-itung ngambil hatinya Mama lho, sayang. Biar dapat restu.][Abang ikut, ya?][Maunya sih gitu. Tapi Mama nggak ngijinin.][Tuh, kan.]Dengan terpaksa aku menuruti permintaan mereka. Tak lama mobilnya tiba di depan rumah untuk menjemput. Aku menyuruhnya masuk untuk singgah barang sebentar. Dia berjalan mengelilingi sekitar ruangan. Melihat-lihat rumah yang selama ini aku tinggali. Aira keluar dari kamar, memperkenalkan diri sebagai pemilik rumah. Bu Sam terlihat biasa saja, tidak terlalu ramah, namun juga tidak terlalu cuek. Mungkin tahu diri, karena ini rumah orang. Aku berpamitan kepada Aira dan menyuruhnya untuk beristirah
Kami sampai di salon spa elite bintang lima. Bu Sam turun dari mobil dengan gaya elegannya. Kenapa harus mengajakku ke sini? Kejadian tadi membuatku malu menatapnya. Apa lagi mendengar suara tawa pak supir yang sedikit tertahan. Aku mengikuti wanita yang minta dipanggil mama tersebut sampai ke dalam. Mengikuti langkah kakinya yang super elegan tersebut dengan tergesa-gesa. Beberapa wanita menunduk dan menyapa dengan hormat kepada kami. Sepertinya sudah mengenal mama sebagai langganan utama di tempat ini. Kami digiring ke sebuah ruangan khusus. Tak ada tempat tidur berjejer seperti yang aku dan Aira sering datangi. Ruangan kali ini hanya khusus memiliki dua tempat tidur. Inikah yang disebut ruangan khusus vip? Wow.Aku dan mama melepas pakaian kami dan menggantinya dengan handuk sebatas dada. Mama menikmati setiap pijatan yang dilakukan therapist. Begitu pun diriku. Kenapa Mama mengajakku ke tempat seperti ini, sementara dia hanya diam tanpa bicara dan menikmati semuanya dalam diam
"Mereka sudah mati," jawabku asal, namun tulus berasal dari hati. "Dari mana kamu tau mereka sudah mati?" Mama juga menggunakan kata 'mati' yang kugunakan dari pada mengubahnya menjadi kata yang lebih halus lagi. "Bang Malik bilang, orang tuanya sudah meninggal saat seseorang meninggalkannya di panti. Jadi Bang Malik menyuruh Chaca untuk beranggapan begitu saja. Karena tidak ada hukuman yang pantas selain mati, untuk manusia yang tega membuang bayinya!" Mama tampak terkejut mendengar umpatanku. "Apa kamu membenci orang tuamu?""Chaca bahkan tidak mengenal mereka. Bagaimana bisa membenci?"Aku sudah tidak heran kenapa dia bertanya seperti itu. Dari semua orang yang kukenal, selalu menanyakan tentang keberadaan orang tuaku, begitu tahu kalau aku pernah dibesarkan di panti asuhan. Mulai dari sekolah, rekan-rekan kerja. Bahkan saat pertama kali aku membawa Bang Malik ke rumah ini. Dengan percaya diri dia bertanya dimana keberadaan orang tuaku, padahal dia sendiri tidak memilikinya. A
Hiss.. gara-gara begadang sama Aira tadi malam, aku jadi terlambat bangun. Bukannya dapat panggilan dari Bang Malik, malah pagi-pagi mendapat pesan yang tidak enak. [Kalau masih capek, istirahat aja ya, sayang.Nggak usah masuk kerja dulu.]Sudah kemarin seharian tidak ketemu, malah disuruh jangan masuk. Apa sedikit pun tidak ada rasa kepadaku? "Ra? Lihat sisirku nggak?" teriakku dari dalam kamar."Nggak," sahut Aira dari dapur. "Serius lho. Kemarin ada.""Ya ampun, Cha. Segala sisir diributin. Tuh di kamarku ada selusin. Tinggal pilih," omel Aira yang melihatku tergesa-gesa keluar dari kamar."Nggak sempat. Bang gojek udah dateng."Aku bergegas keluar karena ojek online yang kupesan memang sudah menunggu. Dan benar saja, untuk pertama kalinya dalam sejarah SunCo, aku datang terlambat. Rusak sudah reputasiku sebagai karyawan teladan. Aku memasuki dapur di mana mereka semua sudah memulai aktivitas. Bu Rini melotot sambil memandangku dari atas ke bawah. Mulutnya juga komat-kamit men
Aku menceritakan kejadian yang dialami mama waktu itu. Meski tidak tahu secara terperinci, aku harap Bang Malik dapat menjelaskan sesuatu. Ia hanya menggeleng, sembari berpikir. Namun ia juga belum menemukan apa pun. Bahkan putranya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya juga tidak dapat menyimpulkan apa yang tiba-tiba terjadi. Apa mama memang selemah itu? Bahkan dia pernah hampir pingsan saat mendengar aku dan Bang Malik bukanlah saudara kandung. Aku pun tak lagi mempedulikannya. Mungkin memang seperti itu sikapnya. Mudah terkejut pada hal-hal yang sepele.Tapi lagi-lagi hal itu mengusikku. Hal sepele macam apa yang membuatnya duduk bersimpuh dengan wajah pucat seperti itu? Kemana pula dia sampai pulang larut malam?"Chaca?""Iya, Bang?""Semalam pulang cepat, ya?" Aku mengangguk. Kini kaitan tangannya kepadaku dilepaskan, kemudian berpindah menyilang ke dadanya. Matanya mulai menyipit. "Lupa, kalau punya pacar yang harus dikabari?" Eh? Tadinya aku ragu kalau dia tidak me
Kenapa hidupku harus terus berada dilingkaran orang-orang yang sama setiap harinya. Sejak kehamilannya, Aira juga terlihat semakin percaya diri. Mungkin karena bentuk perhatian dari suaminya yang semakin hari semakin takut akan kehilangan Aira dan calon bayinya. Oleh sebab itu, Aira yakin sekali, walau apa pun yang terjadi, suaminya pasti akan tetap membela. Tidakkah itu terlalu egois dan terkesan tamak? .Beberapa hari kemudian Bang Malik masih melaporkan kejadian yang dialami mamanya. Beliau terus-terusan mengurung diri dan sangat susah untuk di ajak bicara.Hal ini pernah terjadi saat Haikal sudah tinggal bersamanya. Mama terus-terusan menyendiri dan matanya sembab seperti habis menangis yang tiada henti. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli, aku bahkan tidak punya sedikit pun hati untuk sekedar prihatin atas apa yang dialaminya. Aku hanya menghargai dia sebagai mama dari orang yang kucintai. Tak ada hasrat tuk sekedar mengambil hatinya sebagai calon menantu atau apa pun itu. To