"Ahaha … enggak dong, Dien. Nggak mungkin aku jatuh cinta pandang pertama pada Big Boss sendiri …-"'Bagus, Aeera. Katakan yang lebih buruk lagi supaya Kak Karl semakin salah paham.'Aeera memperlihatkan senyuman tipis ke arah Nadien, tetapi dalam hati dia mengumpati sepupu suaminya tersebut. 'Kamu pikir kamu pintar? Nggak, kamu makhluk terbodoh yang pernah kutemui.' batin Aeera, kesal setengah mati pada Nadien. "Ada peraturan yang mengharuskan staf tidak boleh memandang Big Boss lebih dari tiga detik. Dan aku … tipe staf yang lumayan patuh pada peraturan. Kebetulan kan Big Bosnya rada menyeramkan, daripada dipecat hanya karena natap lebih dari tiga detik mending aku fokus pada pekerjaanku saja kan?" jawab Aeera, mendapatkan kekehan geli dari mertua dan para neneknya. "Betul juga." Ranti mengomentari, "jadi selama bekerja, kamu dan staf lain tak berani curi-curi pandang pada Karl?" Aeera menganggukkan kepala, membenarkan perkataan Ranti. Benar, dan itu fakta! Jelas ada beberapa sta
"Sudah lama?" tanya Aeera dengan datar, mengambil tempat untuk duduk di sebuah meja yang dihuni oleh seorang perempuan. Mata Shila menatap berang ke arah Aeera. "Apaan sih, Aeera?" "Kita musuhan kan?" datar Aeera. Shila menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah merasa kalau kita bermusuhan. Udah dong!" pekik Shila, antara ingin menangis dan kesal melihat tingkah tengil Aeera. "Yaudah.""Yaudah apa?" Shila melongo dengan raut muka memelas, bingung bercampur muram. "Yaudah, baikan." Aeera memajukan tangan, mengajak Shila berjabat tangan dengan dirinya. "Maaf …," lanjutnya secara nada rendah dan serak, bersama dengan raut muka yang berubah sendu. "Maaf juga …," ucap Shila. Meskipun masih tak tahu di mana letak kesalahannya–masih belum tahu kenapa Aeera sempat marah padanya, dia tetap meminta maaf. Mungkin dia telah melakukan kesalahan yang fatal sehingga Aeera bisa sangat marah padanya. "Aku minta maaf, Shil." Shila mengangguk kuat, "iya, aku maafin. Tapi … tolong sebutkan apa kesa
Wanita itu menumpahkan minyak di lantai. "Kamu ngapain tumpahin minyak di lantai?" tanya Shila yang juga melihat Nadien menumpahkan minyak. Shila buru-buru mengambil tepung lalu berjalan cepat ke arah Nadien. Nadien terlihat kaget, tak disangka jika Shila ada di sana. Dia pikir tempat ini kosong dan Aeera maupun Shila yang berniat memasak masih berada di ruang keluarga. "A--aku …-" Nadien bingung untuk menjelaskan. Aeera mengepalkan tangan, rasanya darah dalam dirinya mendidih–marah luar biasa sebab dia tahu apa tujuan Nadien. Pastinya untuk mencelakai kandungannya. Dengan marah, Aeera berjalan ke arah Nadien. Setelah Nadien dekat, Aeera melepas sendal kemudian secara geram dan kesal langsung memukul sendal tersebut ke kepala Nadien. Bug'"Auuu." Nadien meringis, spontan memegang kepala dan langsung menatap kaget ke arah Aeera. "Kamu pengen bunuh anakku yah?!" marah Aeera. Kali ini benar-benar marah; mata melotot dengan guartan merah, napas memburu dan dada naik turun. Wajahnya
Untuk menatap Alarich saja, Aeera sudah tak mampu. Sedangkan Alarich, dia tak mengatakan apapun. Hanya memberi isyarat pada Aeera untuk mengikutinya, setelah itu beranjak dari sana. "Shila …." Aeera menatap malu ke arah sahabatnya tersebut. Shila sejujurnya sama terkejutnya dengan Aeera. Akan tetapi dia jua menahan tawa secara bersamaan, merasa konyol karena pembicaraannya dengan Aeera yang sangat berfaedah tersebut didengar oleh Alarich. Ah, pasti sahabatnya ini sangat malu. "I--iya, silahkan saja. Aku sekalian pulang dengan dia," jawab Shila, menunjuk kaku ke arah Bian. Aeera menganggukkan kepala, segera berdiri lalu segera beranjak dari sana. Namun, saat akan melewati Bian, Aeera sengaja menginjak kaki pria itu. Mengingat Bian adalah calon suami Shila, Aeera sedikit kesal. Hais, Bian tak mengatakan apapun padanya padahal mereka cukup dekat sebagai partner kerja. "Nyonya, apa salah …-" "Bodo amat, Pak Bian. Bodo!" potong Aeera dengan nada meninggi, tanpa menoleh ke arah Bian–di
"Aku hanya akan makan setelah mendengarmu mengatakan secara langsung isi pesan yang kau kirim padaku. Silahkan katakan secara langsung, Dek." Pipi Aeera seketika memerah padam, bersemu secara jelas sebab tak bisa mengendalikan perasaan gugup yang sedang melanda. Kepalanya tertunduk sedikit sebab tak berani bertatapan dengan mata elang sang suami. "Ja--jangan makan jika begitu," ucap Aeera buru-buru, melepas diri dari pelukan Alarich lalu berjalan cepat untuk keluar dari kamar. Alarich mengejar, hampir saja berhasil menangkap Aeera yang telah keluar dari kamar. Namun …-"Ya, Ampun!!" Ruqayah spontan meletakkan tangan di atas dada, terkejut karena Aeera tiba-tiba keluar dari kamarnya–posisi setengah berlari, kemudian disusul oleh Alarich yang sepertinya sedang mengejar. "Kalian ini!" tegurnya. "Kalian sedang apa, Humm?" lanjut Ruqayah mengomeli. Sebenarnya dalam hati dia merasa geli. Langkah! Ini fenomena langka, di mana cucunya yang dingin kedapatan lari-lari seperti seekor kucing
Alarich mengatupkan rahang, menatap marah pada Aeera yang masih tersenyum begitu manis pada pria di sana. "Tungg …-" Bug'Ucapan Alarich berhenti, sedikitnya terkejut sebab Bian tiba-tiba turun dari mobil. Tanpa mengatakan apa-apa pada Nadien, dia menyusul untuk turun dari mobil. Sedangkan Nadien, dia bersedekap kesal, berdecak marah sebab Alarich sama sekali tak menggubrisnya. ""Bagus, Shila." Baik Shila maupun Rangga dan Aeera, sama-sama menoleh ke arah Bian. Aeera membolakan mata ketika maniknya tak sengaja bersitatap dengan mata tajam suaminya. Melihat guratan kemarahan di wajah Alarich, Aeera meneguk saliva secara kasar. Sepertinya dia dalam masalah. Tetapi … apa kesalahan Aeera? Karena pesan yang dia kirim pada Alarich? "Eih. Kok kamu di sini?" Shila mengerutkan kening lalu mengerjab beberapa kali. "Harusnya aku yang bertanya." Bian melirik tajam ke arah Rangga. "Aku ke sini untuk menemui Aeera. Mau minjam novelnya," jelas Shila. "Dia siapa?" "Oh, ini Rangga. Pothograp
"Mas Alarich, izin aku makan yah," ucap Aeera, berbicara pada nasi. Mengejutkannya, ada suara deheman yang menjawab. "Humm." Suara deheman terdengar merdu dan serak dari arah belakang Aeera, membuat Aeera tergelonjak kaget dan spontan menoleh panik ke belakang. "Yeah, silahkan," tambah Alarich, menaikkan sebelah alis dengan smirk yang menyungging jelas ke arah Aeera. Mata Aeera membulat sempurna, bibirnya menipis–mengunci rapat. Semburan merah otomatis menghias pipi Aeera, sedangkan dari dalam jantungnya telah berdebar kencang. "Silahkan makan aku, Darling." 'Darling.' beo Aeera, semakin canggung serta gugup. Pria ini sering memanggil darling jika Alarich ingin, sedang dan intinya berkaitan dengan keintiman. Aeera tetap duduk di posisinya, mendongak sepenuhnya untuk menatap Alarich yang berdiri. Alarich melepas jas dan rompi, kemudian berjalan mendekati Aeera dengan tangan yang sibuk melepas dari. "Katakan, kau ingin memakanku sekarang atau … satu detik yang akan datang," ucap Al
"Jangan membaca terlalu dekat dengan wajah, dan … pastikan jika buku yang kau baca tidak terbalik," lanjutnya. Alarich mengacak pucuk kepalanya Aeera kemudian segera beranjak sana. Namun, ketika di ambang pintu, Alarich berhenti melangkah. "Ingin ikut denganku?" "Iya." Dengan semangat, Aeera bangkit dari sopa, melangkah cepat untuk menghampiri Alarich yang menunggunya di ambang pintu. Diajak keluar oleh Alarich?! Tentu saja Aeera senang. Sekian menambah moment, Aeera bisa berduaan dengan Alarich. Yah, dalam kamar juga berduaan. Namun, ada kesan tersendiri ketika mereka berdua keluar jalan-jalan. Alarich meraih tangan Aeera, menggenggamnya dengan cukup kuat. Namun, masih terasa hangat dan nyaman bagi Aeera. Alarich berjalan santai, di mana devil smirk tiba-tiba muncul di bibirnya. Ceklek'"Kita sampai," jawab Alarich–mendapat pelototan tak percaya dari Aeera. "Ini kan ruangan Mas Alarich," ucapnya dengan nada tinggi–protes dan bingung secara bersamaan. "Humm." Alarich menutup