Untuk menatap Alarich saja, Aeera sudah tak mampu. Sedangkan Alarich, dia tak mengatakan apapun. Hanya memberi isyarat pada Aeera untuk mengikutinya, setelah itu beranjak dari sana. "Shila …." Aeera menatap malu ke arah sahabatnya tersebut. Shila sejujurnya sama terkejutnya dengan Aeera. Akan tetapi dia jua menahan tawa secara bersamaan, merasa konyol karena pembicaraannya dengan Aeera yang sangat berfaedah tersebut didengar oleh Alarich. Ah, pasti sahabatnya ini sangat malu. "I--iya, silahkan saja. Aku sekalian pulang dengan dia," jawab Shila, menunjuk kaku ke arah Bian. Aeera menganggukkan kepala, segera berdiri lalu segera beranjak dari sana. Namun, saat akan melewati Bian, Aeera sengaja menginjak kaki pria itu. Mengingat Bian adalah calon suami Shila, Aeera sedikit kesal. Hais, Bian tak mengatakan apapun padanya padahal mereka cukup dekat sebagai partner kerja. "Nyonya, apa salah …-" "Bodo amat, Pak Bian. Bodo!" potong Aeera dengan nada meninggi, tanpa menoleh ke arah Bian–di
"Aku hanya akan makan setelah mendengarmu mengatakan secara langsung isi pesan yang kau kirim padaku. Silahkan katakan secara langsung, Dek." Pipi Aeera seketika memerah padam, bersemu secara jelas sebab tak bisa mengendalikan perasaan gugup yang sedang melanda. Kepalanya tertunduk sedikit sebab tak berani bertatapan dengan mata elang sang suami. "Ja--jangan makan jika begitu," ucap Aeera buru-buru, melepas diri dari pelukan Alarich lalu berjalan cepat untuk keluar dari kamar. Alarich mengejar, hampir saja berhasil menangkap Aeera yang telah keluar dari kamar. Namun …-"Ya, Ampun!!" Ruqayah spontan meletakkan tangan di atas dada, terkejut karena Aeera tiba-tiba keluar dari kamarnya–posisi setengah berlari, kemudian disusul oleh Alarich yang sepertinya sedang mengejar. "Kalian ini!" tegurnya. "Kalian sedang apa, Humm?" lanjut Ruqayah mengomeli. Sebenarnya dalam hati dia merasa geli. Langkah! Ini fenomena langka, di mana cucunya yang dingin kedapatan lari-lari seperti seekor kucing
Alarich mengatupkan rahang, menatap marah pada Aeera yang masih tersenyum begitu manis pada pria di sana. "Tungg …-" Bug'Ucapan Alarich berhenti, sedikitnya terkejut sebab Bian tiba-tiba turun dari mobil. Tanpa mengatakan apa-apa pada Nadien, dia menyusul untuk turun dari mobil. Sedangkan Nadien, dia bersedekap kesal, berdecak marah sebab Alarich sama sekali tak menggubrisnya. ""Bagus, Shila." Baik Shila maupun Rangga dan Aeera, sama-sama menoleh ke arah Bian. Aeera membolakan mata ketika maniknya tak sengaja bersitatap dengan mata tajam suaminya. Melihat guratan kemarahan di wajah Alarich, Aeera meneguk saliva secara kasar. Sepertinya dia dalam masalah. Tetapi … apa kesalahan Aeera? Karena pesan yang dia kirim pada Alarich? "Eih. Kok kamu di sini?" Shila mengerutkan kening lalu mengerjab beberapa kali. "Harusnya aku yang bertanya." Bian melirik tajam ke arah Rangga. "Aku ke sini untuk menemui Aeera. Mau minjam novelnya," jelas Shila. "Dia siapa?" "Oh, ini Rangga. Pothograp
"Mas Alarich, izin aku makan yah," ucap Aeera, berbicara pada nasi. Mengejutkannya, ada suara deheman yang menjawab. "Humm." Suara deheman terdengar merdu dan serak dari arah belakang Aeera, membuat Aeera tergelonjak kaget dan spontan menoleh panik ke belakang. "Yeah, silahkan," tambah Alarich, menaikkan sebelah alis dengan smirk yang menyungging jelas ke arah Aeera. Mata Aeera membulat sempurna, bibirnya menipis–mengunci rapat. Semburan merah otomatis menghias pipi Aeera, sedangkan dari dalam jantungnya telah berdebar kencang. "Silahkan makan aku, Darling." 'Darling.' beo Aeera, semakin canggung serta gugup. Pria ini sering memanggil darling jika Alarich ingin, sedang dan intinya berkaitan dengan keintiman. Aeera tetap duduk di posisinya, mendongak sepenuhnya untuk menatap Alarich yang berdiri. Alarich melepas jas dan rompi, kemudian berjalan mendekati Aeera dengan tangan yang sibuk melepas dari. "Katakan, kau ingin memakanku sekarang atau … satu detik yang akan datang," ucap Al
"Jangan membaca terlalu dekat dengan wajah, dan … pastikan jika buku yang kau baca tidak terbalik," lanjutnya. Alarich mengacak pucuk kepalanya Aeera kemudian segera beranjak sana. Namun, ketika di ambang pintu, Alarich berhenti melangkah. "Ingin ikut denganku?" "Iya." Dengan semangat, Aeera bangkit dari sopa, melangkah cepat untuk menghampiri Alarich yang menunggunya di ambang pintu. Diajak keluar oleh Alarich?! Tentu saja Aeera senang. Sekian menambah moment, Aeera bisa berduaan dengan Alarich. Yah, dalam kamar juga berduaan. Namun, ada kesan tersendiri ketika mereka berdua keluar jalan-jalan. Alarich meraih tangan Aeera, menggenggamnya dengan cukup kuat. Namun, masih terasa hangat dan nyaman bagi Aeera. Alarich berjalan santai, di mana devil smirk tiba-tiba muncul di bibirnya. Ceklek'"Kita sampai," jawab Alarich–mendapat pelototan tak percaya dari Aeera. "Ini kan ruangan Mas Alarich," ucapnya dengan nada tinggi–protes dan bingung secara bersamaan. "Humm." Alarich menutup
"Kak, aku ingin bicara sesuatu padamu. Boleh kita bicara sebentar?" tanya Nadien, setelah dia sampai di depan gedung apartemennya. "Bicara di sini. Silahkan," jawab Alarich. Nadien menoleh ke arah Aeera, menatap istri dari Kakak sepupunya tersebut dengan raut muka kusam. Nadien ingin membicarakan hal penting, dan tentunya tanpa ada Aeera. Namun, sepertinya Alarich tidak akan mau meninggalkan Aeera sendirian di mobil. 'Kamu merebut Kak Karl, Aeera. Lihat saja, aku akan membalasnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Aku bukan hanya membuatmu kehilangan Kak Karl, tetapi kehilangan bayi dalam perutmu!' dendam Nadien dalam hati, tersenyum ke arah Alarich lalu menggelengkan kepala. "Tidak jadi, Kak. Aku … bicarakan besok saja," ucap Nadien, segera beranjak dari sana–masuk ke gedung apartemen. Alarich memilih tak acuh, menyalakan mesin mobil kemudian segera melaju dari tempat tersebut.Setelah tiba di tempat tujuannya, Alarich memarkirkan mobil. Dia tak langsung keluar, tiba-tiba menole
"Dan naasnya, hanya aku satu-satunya penderita sindrom itu, Darling."Deg deg degJantung Aeera berdebar kencang, melototkan mata karena terkejut oleh ucapan Alarich. Sindrom karena terlalu mencintainya? Hah, sungguh?! Alarich mencintainya?"Ma--Mas bilang apa?" gugup Aeera, memandang tak santai pada Alarich. Pria tersebut masih di atas tubuhnya, setengah menindih Aeera. "Aku bilang, aku mencintaimu. Kenapa?" ucap Alarich, mendadak senyumnya buyar–berganti dengan raut muka dingin serta tatapan tajam. Sejujurnya dia khawatir dengan kata penolakan yang akan keluar dari bibir Aeera. Penolakan adalah hal yang Alarich benci, terutama jika itu Aeera. Selama ini Alarich memilih diam, memiliki perempuan ini lewat paksaan, juga karena kekhawatiran Alarich pada penolakan. Ditolak orang yang tak dia sukai saja, Alarich benci dan marah. Apalagi ditolak oleh Aeera, Alarich bisa gila. "A--aku rasa aku masih bermimpi," gumam Aeera pelan, memejamkan mata untuk tidur kembali. Aeera yakin jika ini h
Alarich memperhatikan Aeera secara intens, menatap wajah gelisah serta malu-malu sang istri. Saat ini mereka berdua sedang sarapan, di mana setelah ini Alarich akan berangkat bekerja. "Cih." Alarich berdecis pelan lalu terkekeh merdu–masih setia memperhatikan semburan merah di pipi istrinya. Menggemaskan! Tadi malam, perempuan ini sungguh pingsan setelah mengatakan cinta pada Alarich. Jujur saja, Alarich tak menyangka jika Aeera akan pingsan. Dia kira Aeera hanya bercanda ketika mengatakan bisa pingsan jika mengutarakan perasaannya, tetapi perempuan itu benar-benar pingsan. Alarich? Dia khawatir namun merasa lucu secara bersamaan. Sembari berusaha menyadarkan Aeera, Alarich tertawa geli. Ini konyol! Alarich selama ini menunda-nunda untuk jujur pada Aeera sebab takut ditolak. Sedangkan istrinya-- tremor parah bahkan berakhir pingsan setelah mengutarakan perasaan pada Alarich. Bukankah itu indah? Tentu! Perempuan yang sedang mengunyah secara lambat ini ternyata sangat mencintainya.