Alarich berjalan cepat menuju kamar, dia baru pulang dari kantor dan tak sabar untuk menemui sang istri. Ada perasaan kesal sebab Aeera tidak hadir di depan untuk menyambutnya pulang. Padahal Alarich sudah berharap akan seperti itu–di mana Aeera menunggunya di lantai pertama, menyambut kedatangannya dengan hangat. Namun, harapan tinggal harapan! Ceklek'Suara pintu terbuka terdengar, membuat Alarich maupun Aeera sama-sama menoleh ke arah satu sama lain. Alarich membuka pintu untuk masuk dalam kamar, Aeera membuka pintu kamar mandi untuk keluar dari sana–dia baru selesai mandi, di mana handuk melilit serta membungkus tubuhnya dengan indah. "Kenapa kau tidak ada dibawah untuk menyambut kedatanganku?" tanya Alarich dingin, berjalan masuk–setelah Alarich menutup pintu. "Nenek Ranti baru pulang dan aku baru bisa mandi sekarang," jawab Aeera pelan, menatap sekilas ke arah Alarich kemudian buru-buru menjauhkan pandangannya dari pria itu. 'Hais, tampan sekali. Ya Tuhan, penampilannya aga
"Silahkan," ucap Alarich kembali. Pada akhirnya Aeera pasrah, menebalkan muka agar tidak malu-malu amat. Iya, dia tahu dia pernah sepenuhnya tanpa busana di depan pria ini. Namun, bukankah itu hal yang berbeda situasi dengan sekarang? Intinya, Aeera malu sedang berganti pakaian dan Alarich mempertontonkannya. 'Suami modelan begini sih enaknya dijual. Tapi kalau laku bukannya untung, aku mah jadi janda. Sialan emang!' batin Aeera, 'Orang yang pernah kukira gay ternyata sangat mesum. 100% mesum!' ***"Ini enak," komentar Alarich tiba-tiba. Mereka sedang makan malam bersama, pertama kalinya Alarich makan malam dengan masakan istrinya. "Itu makanan kesukaan Nenek Ranti," jawab Aeera santai, lalu menyuapkan nasi dalam mulutnya.Sedangkan Alarich, mood makannya langsung hilang. Reflek dia meletakkan sendok, menyender di kursi dengan aura dingin yang menguar dari dirinya–dia bersedekap dengan angkuh. 'Perasaan aku baca doa sebelum makan, tapi … hais, jin mana yang masih bisa lewat-lew
"Tulis." Aeera menghela napas pelan, menoleh ke arah Alarich lalu mendengkus pelan. Dia masih di ruang kerja Alarich, masih tentang makanan favorit pria ini. "Iya, aku mau nulis apa, Mas? Makanan Favorit Mas apa?" keluh Aeera, setengah kantuk dengan kelopak mata yang sudah terasa berat. Ini sudah jam setengah dua belas malam. Namun dia masih terjebak dalam ruangan kerja sang suami. "Sarapan favoritku adalah …." Alarich menatap datar ke arah Aeera, setengah duduk di meja–di sebelah buku Aeera. Sedangkan istrinya tersebut duduk di kursi depan meja kerja, terlihat mencondongkan tubuh ke arah buku karena bersiap-siap untuk menulis, "Adek," lanjut Alarich rendah, bersedekap di dada secara arogan–terus menatap intens ke arah makhluk menggemaskan di sebelahnya. "Adek." Aeera dengan lugu dan tanpa sadar mencacat ucapan suaminya tersebut. Namun, ketika dia tahu Alarich sedang mengerjainya, seketika Aeera mendongak. Matanya melotot dengan mulut mengerucut ke depan, lalu pipi menggembung. C
Aeera sangat antusias ingin mengolah dapur. Makanan kesukaan suaminya sangat me-lokal, dan Aeera juga suka. Alarich ternyata pecinta olahan ayam garis keras–mulai dari rendang, ayam kecap, semur, bakar hingga ayam goreng biasa. Ada banyak jenis makanan lokal lainnya. Namun, masalah sang suami hanya satu. Alarich malas makan, memilih mengonsumsi roti tawar tanpa selai dan brokoli rebus setiap hari. Bagi Alarich itu lebih simpel, tidak ribet dan tidak menggangu aktivitasnya. Saat bekerja sekalipun, dia bisa tetap makan. Tetapi tidak setelah menikah, ada Aeera yang sangat mengurus kebutuhannya. Makan tinggal disuap, baju tinggal dipakaikan, dan … semua berubah praktis bagi Alarich. Kebetulan hari ini weekend, jadi serta bisa mengolah dapur sepuasnya. Hah, ini impian Aeera. Punya dapur luas dan bahan makanan serta alat super lengkap. Seharian ini Aeera sibuk membuat kue, dan sekarang dia lanjut memasak makan malam. Sedangkan Alarich, meskipun weekend, Alarich tetap berkutat dengan pek
"Nasinya ditambah lagi, Dek." Aeera meneguk saliva secara kasar, reflek menoleh panik ke arah Alarich. Matanya membulat sejenak, tak percaya melihat ekspresi santai Alarich. Memang tak ada yang perlu ditakutkan, tetapi … setidaknya pria ini menunjukan rasa malu-malu meong sebab kepergok makan masih disuapi. Namun, Alarich malah terlihat biasa saja. Gilanya, dia meminta tambah secara santai. 'Gemas!! Sampe pengen nampol,' batin Aeera, mau tak mau menambah nasi dalam piring Alarich. Mungkin karena sudah sangat lapar, bayi besarnya ini makan lebih banyak dari porsi yang seharusnya. "Seenak itu yah makan disuap istri, Karl? Sampai Mama dan Papa datang, kamu nggak nanggepin," canda Audriana, terkekeh pelan sembari berjalan mendekat ke arah menantu dan putrinya. Melihat putranya makan dengan lahap, Audriana begitu bahagia. Setelah sibuk di dunia bisnis, Alarich sudah sangat jarang makan lahap seperti sekarang. Jangankan makan dengan porsi pas, Alarich makan porsi kucing saja Audriana
Aeera kini telah kembali ke kantor, berada di ruangan Alarich untuk menyusun dokumen penting–akan dibawa ke ruang rapat. Aeera masih memikirkan masalah hutang. Akhir bulan hanya tinggal beberapa hari lagi, dan bagaimana cara Aeera mendapatkan uang untuk melunasinya. Dia punya uang pemberian Alarich, tetapi rasanya tak etis jika dia menggunakan uang tersebut untuk membayar hutang orang tuanya. Namun, Apa Aeera punya pilihan selain menggunakan uang itu? Tidak. Aeera mendongak ke arah Alarich, yang terlihat sedang menandatangi sebuah dokumen penting. Sejujurnya Aeera ingin meminta izin pada Alarich untuk menggunakan uang tersebut. Namun, Aeera ragu dan takut. "Pak--" "Kita hanya berdua," tegur Alarich cepat, menoleh sejenak untuk melayangkan tatapan penuh peringatan pada Aeera. Dia tidak suka jika Aeera memanggilnya dengan pak. Panggilan tersebut hanya menciptakan jarak, mereka seperti orang asing yang terikat oleh pekerjaan. Bukan sepasang suami istri. "Mas," panggil Aeera, merala
"Tuan, kemana Aee …- ah, maksudku Nyonya. Kemana dia?" tanya Bian, celingak-celinguk untuk mencari Sang Nyonya dalam ruangan Alarich. Namun, pencariannya tersebut berhenti saat melihat tatapan tajam serta raut muka dingin Alarich. Matanya langsung membelalak dan kepalanya reflek menggeleng kuat, panik sekaligus khawatir pada nasibnya. "Jangan salah Paham, Tuan. A--aku mencari Nyonya sebab akan ada meeting pertemuan dengan klien satu jam lagi," jelas Bian dengan nada terburu-buru dan terbata-bata, benar-benar panik sebab Alarich melayangkan tatapan yang begitu mengerikan padanya. "A--aku ingin menemani calon istriku jalan-jalan, Tuan. Jadi, aku …-""Kau berharap agar Ara yang menemaniku menemui klien? Begitu?" potong Alarich datar, mendapat anggukan dan senyuman lega dari Bian, "sayang sekali, kencanmu harus batal. Ara sedang pergi menemui keluarganya.""Lagi?" Mata Bian membelalak horor, "bukankah tadi pagi sudah?""Humm. Ara kembali ke sana," jawab Alarich acuh tak acuh. Bian gala
"Kenapa yah aku disuruh ke rumah Mama dan Papa?" gumam Aeera, berjalan cepat memasuki ruang mewah bernuansa klasik tersebut dengan perasaan waspada. Biasanya jika ada yang penting, mertuanya lah yang mendatangi Aeera ke rumah Alarich. Namun, mendadak hari ini Aeera yang disuruh ke sana. Ekspresi Aeera semakin kaku, gugup bercampur takut melihat semua orang di ruang tamu. Ketika Aeera memasuki ruangan tersebut, mata mereka langsung tertuju pada Aeera–menatap sinis bercampur marah. 'Aku lagi nggak ulang tahun, jadi nggak mungkin mereka berniat memberiku kejutan. Fix, aku melakukan kesalahan.' batin Aeera, meneguk saliva dengan kasar, menatap sayup bercampur ragu-ragu pada kumpulan orang-orang di sana. Aeera berdiri tegap, menghadap orang tua serta keluarga suaminya yang lain. Jantung Aeera sudah berdebar sangat kencang dalam sana, merasa jika masalah besar akan melandanya. Mereka di depan sana belum melakukan apa-apa pada Aeera, tetapi Aeera sudah gemetar. Tatapan mereka begitu meng