Rini tercengang mendengar ucapan sang suami. Sebenarnya dia kasihan dengan Laila yang tampak mencintai dokter Marzuki. Lagipula bukan kah Anisa dulu pernah bilang kalau dia menyukai teman kantor nya?"Hm, kalau begitu terserah bapak saja. Tapi menurut ibu, jaman sekarang kan bukan jaman Siti Nurbaya lagi. Jadi hormati saja keputusan anak, Pak. Nggak usah ada pemaksaan untuk anak," sahut Rini. Belum sempat Jaka menanggapi ucapan istrinya, mendadak terdengar suara Rama dari dalam ruang tengah. "Bu, Ibu! Dari tadi hp ibu bunyi terus nih. Mbak Anisa telepon!" seru anak bungsunya itu seraya menyerahkan ponsel sang Ibu. "Ini hpnya, takut nya ada sesuatu yang penting."Seluruh mata di ruang tamu menatap ke arah Rini dan Rama. "Hm, makasih ya Ram."Rama mengangguk dan kemudian berlalu dari ruang tamu. Rini menoleh ke arah orang6-orang yang ada di ruang tamu. "Wah, panjang umur nih anak saya. Saya terima telepon dulu ya," tukas Rini lalu menjauh dari ruang tamu. Beberapa saat kemudian, Ri
"Lagipula, bapak tuh aneh. Kayak pernah deket dengan Bu Ambar. Kata bapak, Bu Ambar cuma teman sekelas. Tapi kalau ibu amati, kayaknya lebih dari sekedar teman sekelas. Sebaiknya bapak ngaku deh, apa dulu bu Ambar itu mantannya bapak?" tanya Rini dengan ekspresi wajah serius. Jaka menatap wajah istrinya dengan pias. Lelaki itu lalu lalu menyendok makanan yang ada di hadapannya dan mengunyah nya perlahan. "Kalau bapak cerita, ibu jangan marah ya," sahut Pak Jaka dengan menatap mata Reni. Istrinya melengos. "Tergantung apa yang akan bapak katakan sih," ujar Reni cemberut.Jaka terdiam sejenak. "Sebenarnya bapak dan ibunya dokter Marzuki dulu saling mencintai. Tapi orang tua Ambar tidak merestui. Dan lagi saat kelulusan SMA, keluarga ku kan pindah ke desa ini lalu bertemu dengan kamu, Bu."Reni mendelik. "Tuh kan! Ibu sudah menduganya kalau bapak itu ada main dengan Bu Ambar!""Astaghfirullah, Bu. Enggaklah! Demi Allah, Bu! Lagipula rasa cinta masa sekolah kan masih cinta monyet? Ngga
Lidah ibunya Laila menjadi kelu saat melihat foto yang ditunjukkan oleh Anisa, anak pertamanya."Apa kamu serius pacaran dengan laki-laki ini?" "Serius, Bu. Anisa bahkan ingin membangun rumah tangga berdua dengannya. Dia lelaki yang baik. Bapaknya dokter anak dan ibunya punya butik. Etos kerjanya juga tinggi. Sopan dan agamis. Ibu dan bapak tidak akan kecewa jika mempunyai menantu seperti mas Fatih," sahut Anisa meyakinkan. Ibunya menatap Anisa dan memegang kedua bahu anaknya. "Ibu setuju. Setuju sekali dengan pilihan kamu, Nduk!" seru ibunya bersemangat. Anisa tersenyum lebar, merasa bahagia saat ibunya sudah mendukung nya padahal belum bertemu dengan calon suami pilihan nya. "Hanya tinggal bapakmu saja yang entah setuju, entah tidak," sambung Reni lagi. Wajah pak Jaka memang keruh. Sebenarnya dia ingin agar Anisa bisa bersanding dengan dokter Marzuki, tapi justru anak sulungnya lebih memilih menikah adik dokter Marzuki. Anisa menatap wajah bapaknya. "Pak, boleh ya Anisa menik
Mata Laila membeliak dan mulutnya terbuka melihat kedatangan dokter Marzuki. Sebentuk firasat buruk menyapanya. 'Ya Allah, apakah calon suami mbak Nisa adalah dokter Marzuki? Aku memang sengaja tidak bertanya pada bapak dan ibu tentang calon suami mbak Nisa. Aku takut jika jawabannya membuat ku patah hati. Tapi ternyata benar. Calon suami mbak Nisa adalah dokter Marzuki. Pupuslah cintaku ya Allah. Benar-benar layu sebelum berkembang,' rintih Laila dalam hati. Sementara itu dokter Marzuki tampak mengibaskan sebelah tangannya secara bergantian agar keranjang buah yang dibawanya tidak jatuh. "Hm, ehem. Mbak La. Apa boleh kami masuk ke dalam? Tangan saya kesemutan," pinta dokter Marzuki menyadarkan lamunan Laila. "Iya nih. Dari tadi bengong mulu di depan pintu," sahut suara di belakang punggung dokter Marzuki. Laila reflek menengok ke arah dokter Marzuki, dan semakin tercengang saat melihat di belakang dokter Marzuki ada seorang laki-laki yang berwajah mirip dengannya, kemudian diiku
"Ehem, ehem! Mbak Laila saya sebagai neneknya Yasmin ingin mengatakan agar jangan mengajari Yasmin hal-hal yang tidak baik. Jangan mengajari Yasmin memanjat pohon atau main layangan. Itu kan mainan anak laki-laki," sahut Ambar dengan nada tak suka yang membuat suasana tegang seketika.Wajah Iwan, suami Ambar juga memucat. Sebelum dia sempat membuka mulut, Yasmin menyela, "Yasmin suka lho main sama mbak Laila. Orangnya baik, cantik, lucu, suka senyum. Kenapa nggak boleh manjat pohon, Nek? Kan manjat pohon juga berguna untuk mengambil layang-layang atau buah yang sudah matang? Yang penting kan hati-hati. Terus main layang-layang juga bagus. Daripada main hp. Dan bikin sehat karena lari-lari."Semua orang di ruang tamu menatap Yasmin yang masih asyik mengunyah baksonya. Laila pun mendelik saat mendengar anak sekecil Yasmin bisa membelanya. Diam-diam Laila semakin merasa sayang pada Yasmin. "Sebenarnya Yasmin pengen banget punya mama kayak mbak Laila. Tapi papa selalu bilang nanti-nanti
Laila menatap Ayu dan Juleha dengan sikap waspada. "Ada apa? Kita mau ujian sekarang. Tapi kalau kalian mau menantang aku berkelahi, aku jabanin deh. Sekalian nanti aku buat jontor wajah kalian biar kalian nggak ganggu aku lagi!" sahut Laila tegas. Ayu mencebik. "Dih, siapa juga yang akan nantangin kamu.""Lah terus kalian kesini mau ngapain kalau nggak untuk mencari masalah sama aku? Kalian kesini kan nggak mungkin nawarin aku cilok atau bakso?" tanya Laila to the point. Ayu dan Juleha yang ada di hadapan Laila, berpandangan lalu tertawa terbahak bersama. "Laila, Laila! Kamu kok nggak berubah. Selalu mikirin makanan terus. Apa di otak kamu itu cuma ada makanan, panjat pohon, dan main layang-layang?" sindir Ayu tertawa. Laila mendengus kesal. "Masih untung kan kalau aku mikirin makanan saja. Daripada aku mikirin pacaran kayak kalian, yang ada ya bikin dosa terus!" sahut Laila tak mau kalah. Wajah Ayu dan Juleha memerah karena marah. "Heh, kamu jangan munafik ya. Aku tahu denga
"Aku tahu sendiri. Ibunya Ayu dan Ibunya Juleha nangis-nangis di puskesmas setelah anaknya diperiksa bidan. Katanya Ayu dan Juleha hamil diluar nikah!""Hah? Kok bisa?"Laila terkejut dan melongo. Tapi dia tetap menyimak pembicaraan kedua temannya itu. "Ya aku nggak tahu lah. Kan yang melakukan Ayu dan Juleha. Kenapa kamu malah nanya sama aku?""Hilih, kan kamu yang membawa kabar jadi kamu dong yang harus tanggung jawab menjelaskan sepenuhnya pada kami!" Temannya Laila mengedikkan bahu. "Aku hanya tahu secara berita singkat nya. Saat itu aku juga nggak menyangka akan bertemu ibunya Ayu dan Juleha yang masih bersaudara sepupu itu saat mengantar kan ibuku yang sedang sakit gigi. Ya nggak mungkin dong, aku ikutan nimbrung urusan emak-emak!""Pasti sebentar lagi berita kehamilan Ayu dan Juleha akan menyebar ke seluruh desa.""Iya, pasti itu. Kasihan ya. Padahal sudah mau lulus, malah bunting. Eh, apa kamu tahu siapa yang menghamili Ayu dan Juleha?""Katanya sih Rangga dan sepupu nya itu
Ibu Laila melongo mendengar pengakuan anaknya. "Tidak mungkin. Kamu jangan bercanda, La!" seru Reni kaget. "Laila serius, Bu! Bahkan Laila sempat gelut dengan Ayu dan Juleha karena mereka meremehkan Laila. Dan ternyata justru merekalah lah yang hamil duluan."Reni mengepal kan tangan kanannya dan meninju ke telapak tangan kiri yang terbuka lebar. "Mereka bilang gitu ke kamu, La? Ini nggak bisa dibiarkan?! Berani-beraninya mereka memfitnah kamu!"Laila hanya menghela nafas panjang. "Yah, gitulah, Bu. Tapi kan ternyata kebenaran sekarang terlihat langsung. Yang murahan siapa?""Ya sudahlah. Biarlah itu yang menjadi kesalahan mereka tapi yang jelas, mulai sekarang kamu harus hati-hati dalam bergaul. Kamu harus benar-benar bisa jaga diri dan jaga nama baik keluarga. Ngerti kan, La?"Laila mengangguk kan kepala nya. "Ya Bu. Aku ngerti kok.""Oh, ya. Bagaimana dengan rencana kuliah kamu di kebidanan?" tanya Ibunya Laila. "Apa kamu sudah mempunyai pandangan kamu kuliah akademi kebidanan