Jengkel betul saat menengok emoticon love yang terselip di sana. Nahas, baru saja hendak menolak panggilan itu, secara mendadak Aina timbul kembali. Inara mendengar derap langkah kaki dari toilet yang terdapat di dalam kantor. Cepat ia memasukkan gawai dan mengunci tasnya."Ada telepon, Ai. Nggak tahu dari siapa." Untuk mengalihkan perhatian, Inara turut bermain ponsel juga. Biar terkesan sibuk saja.Aina semula santai, ketika proses pembukaan tas. Namun, begitu dia tahu siapa penelepon tersebut, matanya menyorot Inara penuh gugup. Setengah berlari ke tempat lain. Inara mengikut dari belakang. Menguping pembicaraan yang dilakukan secara bisik-bisik itu."Sayang, kan sudah aku bilang jangan pernah telepon, kalau di sekolah. Sudah dulu, ya!"Samar-samar terdengar sahutan Aina kembali. Inara yang penasaran lantas melalukan panggilan ke nomor Angga. Benar saja. Suara perempuan alias sang operator terdengar. Katanya nomor Angga sedang sibuk."Sialan! Berarti kontak itu punya Mas Angga. Me
"Terima kasih banyak ya, Ra." Aina mengusap mulutnya menggunakan tisu yang terdapat di meja cafe."Eh, aku loh yang semestinya ngucapin terima kasih, karena sudah ditemenin beli obat." Inara meraup punggung tangan konconya. Senyum palsu mengembang.Sebenarnya mood Aina pasca mendengar gombalan maut Angga kepada Inara tadi kurang baik. Namun, Inara perhatikan sejak tadi ia mencoba menyeimbangkan emosional. Mungkin tak ingin membuat Inara tersinggung, sementara ia sudah syukur ditraktir makan enak di cafe tersebut."Ayo, pulang!" ajak Inara yang lagi-lagi bersikap manis dengan menggandeng tangan orang yang sudah ia anggap sebagai bekas sahabat itu. Jijik sebenarnya menyentuh Aina si pengkhianat, tetapi semua ini demi sebuah misi besar. Orang-orang yang telah dia baikin, takkan mungkin mengira kalau dia menjelma sebagai penjahat suatu hari nanti.Aina dan Inara yang tengah melintas menuju parkiran motor menjadi sorot banyak pasang mata. Mereka memandang aneh serta lucu.Awalnya Aina acu
Tangan Inara lekas menyembunyikan surat nikah siri antara suami dan mantan sahabatnya tersebut. Syukurnya, Bu Dila tidak sampai memahami tentang selebaran itu. Ia hanya fokus kepada jumlah orang yang ada di pos satpam tersebut."Kalian kelihatan akrab banget. Nggak kayak biasanya." Entah kenapa, Inara seolah menangkap adanya kecemburuan di hati Bu Dila, karena menantunya dekat dengan lelaki lain, meskipun sosok itu adalah penjaga rumah mereka sendiri."Tetapi, dia tak pernah memikirkan perasaanku yang sesungguhnya telah diduakan ini," batin Inara.Manik mata hitam itu kelihatan menyimpan rasa penasaran yang amat besar. Mungkin sudah sejak tadi ia memantau gerak-gerik Inara bersama Pak Sentot. Maklum saja, karena selama ini siapapun yang mengobrol dengan security itu, memang tak pernah awet. Cuma hal tertentu saja."Lagi nasehatin Pak Sentot supaya jangan sering ketiduran lagi, Bu." Kata-kata bullshit Inara keluar. Garis bibirnya melengkung."Oh, begitu. Kirain lagi PDKT," sindir Bu Di
"Ya, Allah, Bi. Mulut Abi kenapa ndower begitu?"Perkataan itu mengakhiri permainan ponsel Inara di ranjang. Jujur, dia juga kaget sekali sebenarnya. Bibir atas dan bawah Angga membengkak, warnanya merah kebiruan. Seperti habis kena tonjok.Lelaki itu meraba mulutnya yang jelas terasa pegal. Bagaimana tidak? Bibir tipis nan seksi berubah menjadi buah tomat yang jelas bobotnya lebih berat."Abi kenapa cepet banget pulangnya? Nggak jadi ketemu kepala sekolah? Abi dilabrak preman, ya?" Deretan pertanyaan Inara belum satu pun ada yang terjawab. Manusia pemilik muka layu itu duduk bersandar pada tembok kamar."Di g- git emut, Mi.""Ha?" Inara memiringkan kepala. Suaminya antara berbicara dan berkumur-kumur."Digigit semut?" ulang Inara, begitu otaknya berhasil menerjemahkan perkataan Angga.Pria itu mengangguk. Untuk pertama kalinya Inara melihat Bebek Donal secara nyata. "Abi sudah jadi ketemu kepala sekolahnya belum?""Dah." Sekarang ini Angga tidak bisa banyak berbicara."Jadi, digigi
Semenjak dekat diam-diam dengan Aina, Angga tak pernah lagi memanjakan istrinya dengan sentuhan harta. Dia juga tak segan-segan meminta agar Inara berhemat. Sebagai istri pertama, jelas dia iri kepada Aina, apalagi ada oknum yang memang sengaja menyembunyikan pernikahan siri tersebut. Inara tentu juga ingin menikmati hasil jerih payah suaminya seperti sedia kala."Buang-buang duit maksudnya gimana, Mi?""Masak Abi nggak tahu, sih? Ya, kita belanja-belanja di mall. Beli baju kek, makan enak dan membeli apapun yang Umi inginkan nanti. Selama ini Umi sudah baik dengan menuruti permintaan Abi supaya hidup lebih berhemat, jadi tak apalah, kalau besok kita boros sedikit saja." Inara menatap Angga dengan pandangan memelas. Menjadikan dirinya seperti anak-anak yang memohon permen pada orang dewasa.Angga mendongak. Menyesap oksigen di kamar yang sudah menjadi ruangan bagi Aina juga. "Abi nggak mau!" tolaknya mentah-mentah. Angga menepis kepala Inara yang bersembunyi di dadanya, lalu menuju k
Ciiiit!Thin... Tit... tit...Mata Angga sampai mau keluar biji hitamnya. Mobil direm mendadak, sampai membuat ia dan Inara nyaris menabrak dashboard. Adegan itu membuat pengendara di belakang transportasi mereka heboh. Bariton klakson bertabur di mana-mana.Angga mendesah panjang. Menjalankan kembali mobilnya daripada harus menelan amukan orang-orang. "Dompet warna hitam?" Nada bicara pria itu meninggi."Iya."Angga spontan menubrukkan kepalanya di kemudi. Beberapa kali, sementara kuda besi itu terus berjalan. Jadilah kendaraan tersebut melipir ke kiri melipir ke kanan."Abi, perhatikan jalan!" seru Inara mulai khawatir.Angga kelihatan begitu pusing. Wajahnya menyerupai kepiting rebus. Mendengar pernyataan Inara membuat amarahnya membumbung tinggi."Mengapa Umi lancang sekali menggunakan uang itu? Kan, sudah Abi bilang jangan pernah boros lagi!""Habisnya Abi pelit banget! Sesekali perlu dikasih pelajaran.""Jangan main-main soal uang, Mi. Abi sudah susah payah banting tulang, kok,
Air mata Inara merebak ke mana-mana. Bayangan ketika Angga memarahinya, karena belanja banyak kembali berputar, menghiasi seisi kepala. Bahkan, sampai sekarang mereka masih bertengkar perkara kejadian beberapa hari silam. Namun, tiba-tiba saja Aina mengupload foto barang-barang hasil shopping dengan kata "suami" di sana, yang sudah jelas itu adalah Angga. Terbukti bahwa laki-laki itu mempunyai banyak tempat simpanan duit yang sejatinya akan ia hambur-hamburkan untuk istri keduanya.Dada Inara serasa hendak meletup menahan kecemburuan. Isakannya hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu.Beberapa detik setelahnya, Aina kembali mengunggah foto tangannya dan tangan sang suami. Mungkin tujuannya adalah untuk menyamarkan identitas pria tersebut, terutama dari Inara sendiri. Namun, siapa yang lebih dulu memiliki Angga, maka dialah yang paling memahami. Walaupun hanya sebatas 5 jari, tetapi dia tanda betul, bahwa yang memiliki jemari kokoh dan berisi seperti itu adalah suaminya."Keparat!" gumam
Di luar dugaan, pukulan itu malah membuat Aina tercampak dengan posisi dahi menubruk batang pinang terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya sekujur tubuh itu nyemplung ke lumpur. Inara refleks membeliakkan netra dengan posisi mulut berbentuk huruf O. Namun, kepuasan tersendiri berhasil ia peroleh sehabis menghajar Aina dan membuat pelipis gadis itu mengeluarkan darah segar.Semula para penonton tertawa, menghadiahi Inara dengan tepuk tangan yang meriah. Namun, begitu tahu apa yang terjadi dengan Aina, seketika suasana menjadi kacau. Orang-orang menarik kembali ucapan selamat itu dan langsung mengerubungi Aina.Inara turun perlahan dari batang pinang selaku saksi bisu pembalasan dendam yang tidak seberapa itu. Ia berjongkok untuk melihat Aina yang sudah diamankan oleh warga pria dan sekarang sedang tergeletak di tanah sambil mengaduh kesakitan. "Ya, Allah. Ai! Aina! Kamu kenapa?" kalau Aina bisa berakting, lalu kenapa Inara harus kalah. Alhasil, dia berlagak lugu sebagaimana tingkah Ain