“Begini, menurut berkas yang Mbak Devi berikan. Memang benar, jika motor tersebut sah milik Mbak Devi. Tak ada sepeserpun uang milik Mas Yogi yang masuk dalam nota pembelian motor tersebut,” jelas Pak RT.
Entah seperti apa malunya Jubaedah dan Yessi, namun kedua manusia itu masih tetap duduk tegak dengan kepala mendongak. Tak peduli jika mereka sudah salah dan seharusnya merasa malu. “Lalu, bisakah saya bertanya, Pak RT?” tanya Devi, sesaat setelah ia memasukkan berkas tentang kepemilikan motor tersebut ke dalam tas. “Silahkan Mbak Devi. Jika saya bisa menjawab, pasti saya jawab,” sambut Pak Rt dengan legowo. Meski ia masih dipusingkan dengan urusan warganya yang satu ini. Devi mengangguk, kemudian menatap lurus pada ibu mertuanya. Hingga suara wanita itu kembali terdengar, “Apa hukuman bagi seseorang yang melayangkan serangan fisik dan verbal pada orang lain, Pak?” “Barang s“Kita masih bisa membicarakan hal ini ‘kan, Sayang.”Jika orang akan berpikir, semudah itu Yogi melepas Devi. Maka jawabannya adalah tidak! Yogi masih enggan kehilangan sosok yang masih bertahta dalam hatinya. “Tanyakan pada hatimu, Mas.” Devi menatap lekat pada sang suami. “Bagaimana posisiku disana? Jika aku harus jadi yang kedua. Maka keputusanku sudah benar!”“Tidak!” sanggah Yogi, sebab kenyataannya Devi adalah satu-satunya ratu dengan tahta tertinggi dalam hati laki-laki itu. “Kamu satu-satunya, tak ada yang lain lagi, Sayang.”Pak Rt dan Bu Rt yang masih berada di sana hanya bisa diam. Mencoba mengerti akan situasi sulit pasangan suami istri tersebut. “Satu-satunya? Benarkah?” tanya Devi tak percaya. Yogi langsung mengangguk cepat. Mengiyakan ucapan sang istri. “Aku satu-satunya istrimu, tapi aku nomor tiga setelah ibu dan kakakmu,” imbuh Devi melanjutkan. “Sudahlah, Mas. Hubungan ini sudah tak sehat.”“Lagipula, ak
“Belum juga cerai, udah jalan sama laki-laki lain. Memalukan!”Lagi, ucapan pedas diterima Devi dari sosok perempuan yang kini tengah berdiri sambil terus menatap sinis ke arahnya. “Apa maksud-”“Heleh! Memang benar gosip yang beredar, kalo kamu itu istri gak bener!” Wanita itu tampak menyela perkataan Devi. Kemudian dengan tangan bersilang di dada, wanita yang kini masih menatap sinis pada Devi kembali bersuara, “Emang udah bener si Jubaedah gak suka sama kamu, Devi!”“Di rumah aja keliatan sok alim, sok paling tersakiti. Tapi kenyataannya malah, yang kukira cupu ternyata suhu.. Uwow!” ucapnya kemudian. Arya dan Devi tampak saking pandang. Coffe shop yang sore itu tampak sedikit ramai, menjadi semakin ramai saat suara keras tamu tak diundang tersebut. “Bisakah Anda menurunkan nada bicara?” tukas Arya yang mulai menyadari, jika mereka sudah menjadi pusat perhatian di sana. “Kenapa Bos? Malu?” Bukan menurunkan nada su
“Apa saya gak salah denger, Bu?”Devi menatap miring pada wanita yang kini menatap nyalang kepadanya. “Tadi Ibu sendiri yang bilang soal cupu dan suhu. Dan saya sendiri hanya memberikan contoh nyata. Apa itu bisa dikatakan kurang a-jar?” tanya Devi dengan nada santai. Ia tahu betul karakter duo racun tetangga tersebut. Setiap ada gosip, mereka selalu menjadi orang-orang pertama yang akan menggosoknya dan menyebarkan gosip tersebut dengan menambah ataupun menguranginya. “Jika tak ingin diusik maka jangan mengusik, Bu!” Devi kembali bersuara, sejenak ia tampak menjeda kalimatnya. Kemudian melirik tajam pada kamera ponsel yang masih menyorot kepadanya. “Jika aku mau, aku bisa membuka semua aib dan kebusukan kalian. Tapi aku tak akan melakukannya. Tak ada bedanya antara kalian dan diriku, jika sampai itu kulakukan,” tukas Devi kemudian. “Heh! Dasar wanita sok suci! Apa kau pikir, berduaan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya itu
“Ada apa?”Rona keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajah Sarminah. Hingga suara wanita bertubuh sedikit berisi itu kembali terdengar, “Jangan bilang itu masih-”Dengan tergagap Maysaroh menganggukkan kepalanya patah-patah, diiringi suaranya yang menjawab pertanyaan dari Sarminah, “I-Iya, ini masih nyala!”“Dasar Maysaroh go-blok! Cepat matikan!” umpat Sarminah pada akhirnya. Matanya melotot, menatap nyalang pada bestienya tersebut. Jika duo racun itu tampak saling bersitegang, berbeda dengan Devi yang menampilkan senyum puas. Hingga cibiran dari mulutnya akhirnya terlontar, “Tak patut ….” Sebelas tahun hidup bertetangga dengan mereka. Tentu membuat Devi mengetahui bagaimana tabiat kedua tetangganya tersebutAh, tidak! Ralat, mantan tetangganya tersebut. “Ketinggalan dimana sebenarnya otak kau ini, May?” Tanpa memperdulikan Devi dan Arya, Sarminah kembali mengumpat pada rekan seperjuangannya tersebut. “Bisa-bisanya kau lup
“Ini Mas, ada titipan surat.”Bu RT tiba-tiba muncul di halaman rumah Yogi. Tepat beberapa saat setelah laki-laki itu masuk ke pelataran rumahnya. “Lho, Bu RT. Kok-”“Saya tadi sengaja nunggu Mas Yogi lewat. Pas liat, saya langsung buru-buru nyusul kemari,” sergah Bu RT dengan cepat. Nafas wanita yang sudah tak lagi muda itu tampak ngos-ngosan. Sebab buru-buru menyusul Yogi yang baru saja pulang kerja. “Mas Yogi.”Tiba-tiba suara dari ibu ketua kepengurusan tetangga itu kembali terdengar. Wanita yang umurnya sudah hampir sama dengan sang ibu, Jubaedah, tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Hingga suara Yogi terdengar menimpali, “Ada apa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?”“Em ….”“Gak apa Bu, jangan sungkan. Kalo bisa saya bantu pasti saya bantu kok!” ucap Yogi kemudian, sebab wanita di depannya masih tampak ragu. “Apa Mas Yogi gak sayang kalo harus melepas istri sebaik Devi?” Akhirnya, sebuah kalimat tanya meluncur be
“Jangan aneh-aneh Mbak!” Yogi tak menanggapi ucapan sang kakak dan lebih memilih untuk berlalu masuk ke dalam rumah. Ceklek! Ceklek! Yogi memutar anak kunci pada pintu utama rumahnya. Semenjak dua minggu kepergian Devi dari rumah itu. Kini Yogi mulai benar-benar merasakan perbedaan saat ada Devi dan saat ini… “Biasanya kamu yang bukain pintu dan nyambut aku, tapi sekarang-” Mata Yogi menyisir ke arah ruang tamu yang biasanya rapi, bersih dan wangi. Sebab Devi seringkali memasang pengharum ruangan di setiap sudut rumah. Tapi kini, jangankan pengharum ruangan. Hanya debu dan sarang laba-laba yang bersarang di sana. “Mbak sama Ibu gak beres-beres rumah lagi?” Kini Yogi memutar badan dan menghadap kakak perempuannya yang tengah berdiri di ambang pintu. “Tadi Mbak pergi arisan,” jawab Yessi singkat. Tangannya terlipat di dada. Sedangkan wajahnya melihat sang adik dengan tatapan malas. Hembusan nafas Yogi terdengar pelan. Seharian lelah bekerja, namun kini masih dihada
“Heh! Malah bengong kaya sapi ompong!” sentak Jubaedah yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu rumah Yogi. “Lho, Lisa udah sampe?” tanya Jubaedah, saat melihat wanita cantik yang tengah duduk berdua bersama Yessi. “Sampe kapan, Lis?” “Baru beberapa menit kok, Tan,” jawab Lisa sopan kemudian menyalami tangan Jubaedah dengan santun. “Duh, senengnya kalo punya mantu kayak gini,” ujar Jubaedah dengan nada sedikit keras. Kemudian ia kembali melanjutkan, “Udah cantik, baik, santun sama orang tua.” “Ah, Ibu bisa aja,” tukas Lisa menimpali ucapan Jubaedah dengan tersipu. Sedangkan Jubaedah dan Yessi justru saling melirik seolah tengah berbicara melalui tatapan mata. Tiga wanita beda generasi itu kemudian duduk berbincang bertiga. Banyak hal yang mereka bicarakan, dari mulai masa lalu Yogi dan Lisa hingga kehidupan Lisa sekarang. Hal itu sukses membuat Jubaedah terkesan pada wanita itu.
Prak!"Jadi mantu yang becus, dong! Udah jadi ibu gak beres, jadi istri juga bego, ini lagi ... Kamu mau ngeracunin aku sama Ibu, iya?!"Aku menatap tempat makan berisi lauk yang baru mertuaku lempar di depan mataku. Ini bukan pertama kalinya ia marah-marah seperti ini. Dan kali ini, ia marah gara-gara ada potongan bawang putih yang tidak tergiling sempurna di sambal balado yang kubuat."Maaf, Bu. Devi gak teliti tadi," jawabku. Sekilas, kulirik sambal balado yang berserakan di lantai. Itu pasti sudah tidak bisa dimakan lagi."Ah, sudahlah! Ibu udah gak berselera makan!" setelah itu, ibu mertuaku pergi begitu saja dari rumah.Ya, kami memang tinggal terpisah, tapi jarak rumah kami tidak begitu jauh. Itulah kenapa ibu mertuaku selalu datang untuk meminta makanan, atau sekadar menyuruhku ini-itu.Aku menghela napas, dan segera membereskan kekacauan itu sebelum Mas Yogi, suamiku, pulang kerja. Hari ini adalah hari gajian, jadi sebisa mungkin aku melayaninya dengan baik.Pukul 6 sore, Ma