“Apa saya gak salah denger, Bu?”
Devi menatap miring pada wanita yang kini menatap nyalang kepadanya.“Tadi Ibu sendiri yang bilang soal cupu dan suhu. Dan saya sendiri hanya memberikan contoh nyata. Apa itu bisa dikatakan kurang a-jar?” tanya Devi dengan nada santai.Ia tahu betul karakter duo racun tetangga tersebut. Setiap ada gosip, mereka selalu menjadi orang-orang pertama yang akan menggosoknya dan menyebarkan gosip tersebut dengan menambah ataupun menguranginya.“Jika tak ingin diusik maka jangan mengusik, Bu!” Devi kembali bersuara, sejenak ia tampak menjeda kalimatnya. Kemudian melirik tajam pada kamera ponsel yang masih menyorot kepadanya.“Jika aku mau, aku bisa membuka semua aib dan kebusukan kalian. Tapi aku tak akan melakukannya. Tak ada bedanya antara kalian dan diriku, jika sampai itu kulakukan,” tukas Devi kemudian.“Heh! Dasar wanita sok suci! Apa kau pikir, berduaan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya itu“Ada apa?”Rona keterkejutan tak bisa disembunyikan dari wajah Sarminah. Hingga suara wanita bertubuh sedikit berisi itu kembali terdengar, “Jangan bilang itu masih-”Dengan tergagap Maysaroh menganggukkan kepalanya patah-patah, diiringi suaranya yang menjawab pertanyaan dari Sarminah, “I-Iya, ini masih nyala!”“Dasar Maysaroh go-blok! Cepat matikan!” umpat Sarminah pada akhirnya. Matanya melotot, menatap nyalang pada bestienya tersebut. Jika duo racun itu tampak saling bersitegang, berbeda dengan Devi yang menampilkan senyum puas. Hingga cibiran dari mulutnya akhirnya terlontar, “Tak patut ….” Sebelas tahun hidup bertetangga dengan mereka. Tentu membuat Devi mengetahui bagaimana tabiat kedua tetangganya tersebutAh, tidak! Ralat, mantan tetangganya tersebut. “Ketinggalan dimana sebenarnya otak kau ini, May?” Tanpa memperdulikan Devi dan Arya, Sarminah kembali mengumpat pada rekan seperjuangannya tersebut. “Bisa-bisanya kau lup
“Ini Mas, ada titipan surat.”Bu RT tiba-tiba muncul di halaman rumah Yogi. Tepat beberapa saat setelah laki-laki itu masuk ke pelataran rumahnya. “Lho, Bu RT. Kok-”“Saya tadi sengaja nunggu Mas Yogi lewat. Pas liat, saya langsung buru-buru nyusul kemari,” sergah Bu RT dengan cepat. Nafas wanita yang sudah tak lagi muda itu tampak ngos-ngosan. Sebab buru-buru menyusul Yogi yang baru saja pulang kerja. “Mas Yogi.”Tiba-tiba suara dari ibu ketua kepengurusan tetangga itu kembali terdengar. Wanita yang umurnya sudah hampir sama dengan sang ibu, Jubaedah, tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Hingga suara Yogi terdengar menimpali, “Ada apa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?”“Em ….”“Gak apa Bu, jangan sungkan. Kalo bisa saya bantu pasti saya bantu kok!” ucap Yogi kemudian, sebab wanita di depannya masih tampak ragu. “Apa Mas Yogi gak sayang kalo harus melepas istri sebaik Devi?” Akhirnya, sebuah kalimat tanya meluncur be
“Jangan aneh-aneh Mbak!” Yogi tak menanggapi ucapan sang kakak dan lebih memilih untuk berlalu masuk ke dalam rumah. Ceklek! Ceklek! Yogi memutar anak kunci pada pintu utama rumahnya. Semenjak dua minggu kepergian Devi dari rumah itu. Kini Yogi mulai benar-benar merasakan perbedaan saat ada Devi dan saat ini… “Biasanya kamu yang bukain pintu dan nyambut aku, tapi sekarang-” Mata Yogi menyisir ke arah ruang tamu yang biasanya rapi, bersih dan wangi. Sebab Devi seringkali memasang pengharum ruangan di setiap sudut rumah. Tapi kini, jangankan pengharum ruangan. Hanya debu dan sarang laba-laba yang bersarang di sana. “Mbak sama Ibu gak beres-beres rumah lagi?” Kini Yogi memutar badan dan menghadap kakak perempuannya yang tengah berdiri di ambang pintu. “Tadi Mbak pergi arisan,” jawab Yessi singkat. Tangannya terlipat di dada. Sedangkan wajahnya melihat sang adik dengan tatapan malas. Hembusan nafas Yogi terdengar pelan. Seharian lelah bekerja, namun kini masih dihada
“Heh! Malah bengong kaya sapi ompong!” sentak Jubaedah yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu rumah Yogi. “Lho, Lisa udah sampe?” tanya Jubaedah, saat melihat wanita cantik yang tengah duduk berdua bersama Yessi. “Sampe kapan, Lis?” “Baru beberapa menit kok, Tan,” jawab Lisa sopan kemudian menyalami tangan Jubaedah dengan santun. “Duh, senengnya kalo punya mantu kayak gini,” ujar Jubaedah dengan nada sedikit keras. Kemudian ia kembali melanjutkan, “Udah cantik, baik, santun sama orang tua.” “Ah, Ibu bisa aja,” tukas Lisa menimpali ucapan Jubaedah dengan tersipu. Sedangkan Jubaedah dan Yessi justru saling melirik seolah tengah berbicara melalui tatapan mata. Tiga wanita beda generasi itu kemudian duduk berbincang bertiga. Banyak hal yang mereka bicarakan, dari mulai masa lalu Yogi dan Lisa hingga kehidupan Lisa sekarang. Hal itu sukses membuat Jubaedah terkesan pada wanita itu.
“Apa tak bisa dibicarakan lagi?” Yogi langsung menyerbu Devi dengan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya. “Kamu udah tau jawabannya, Mas. Jadi cukup, jangan menanyakan hal yang sama berulang kali,” jawab Devi dingin. “Ah, iya. Bagaimana kabar Ibu dan Mbak Yessi?” Devi yang sudah ingin melangkah tiba-tiba berhenti dan kembali menoleh ke arah calon mantan suaminya. “Mereka-” “Kami baik! Kenapa?” Tiba-tiba suara Yessi terdengar dari arah lain, menjawab pertanyaan Devi yang diajukan pada Yogi. Devi tersenyum miring, ia sudah menduga jika dua wanita itu akan selalu membayangi Yogi, dimanapun laki-laki itu berada. “Apa kabar Bu, Mbak? Aku pikir, kalian gak akan dateng.” Tanpa basa basi, Devi melontarkan apa yang ada dalam pikirannya, namun dengan cara yang berbeda. Tentu saja hal itu membuat Yessi dan Jubaedah seketik
Prak!"Jadi mantu yang becus, dong! Udah jadi ibu gak beres, jadi istri juga bego, ini lagi ... Kamu mau ngeracunin aku sama Ibu, iya?!"Aku menatap tempat makan berisi lauk yang baru mertuaku lempar di depan mataku. Ini bukan pertama kalinya ia marah-marah seperti ini. Dan kali ini, ia marah gara-gara ada potongan bawang putih yang tidak tergiling sempurna di sambal balado yang kubuat."Maaf, Bu. Devi gak teliti tadi," jawabku. Sekilas, kulirik sambal balado yang berserakan di lantai. Itu pasti sudah tidak bisa dimakan lagi."Ah, sudahlah! Ibu udah gak berselera makan!" setelah itu, ibu mertuaku pergi begitu saja dari rumah.Ya, kami memang tinggal terpisah, tapi jarak rumah kami tidak begitu jauh. Itulah kenapa ibu mertuaku selalu datang untuk meminta makanan, atau sekadar menyuruhku ini-itu.Aku menghela napas, dan segera membereskan kekacauan itu sebelum Mas Yogi, suamiku, pulang kerja. Hari ini adalah hari gajian, jadi sebisa mungkin aku melayaninya dengan baik.Pukul 6 sore, Ma
Lagi, datang satu manusia yang akan membuat pagi ini semakin bermakna. Ku langkahkan kaki menuju ke ruang tamu dan membuka pintu. "Dimana Yogi?" tanyanya saat baru saja pintu utama rumah kami terbuka. Namun aku memilih berbalik tanpa menanggapi pertanyaannya. "Apa kau tuli, hah?!"Kini kalimat tanya itu kembali terdengar, namun dengan nada yang lebih tinggi. Membuatku menghentikan langkah. "Maaf Nyonya, saya tidak tahu jika ada manusia disini. Sebab sejak tadi saya hanya mendengar suara namun tanpa wujud," jawabku dengan nada sindiran. Manusia mana yang masuk rumah tanpa mengucapkan salam? Ku abaikan Mas Yogi yang mungkin nanti akan kembali berteriak minta kopi, lebih baik aku lanjutkan satu hal yang sejak tadi tertunda. Sambil duduk di bangku kecil milik anak-anak, tanganku kini kembali bergerak menyemir sepatu Mas Yogi. Sebelum laki-laki itu kembali berubah wujud menjadi tarzan. "Devi, dimana Yogi?" pertanyaan yang sama kembali terdengar, namun kali ini aku mencoba menjawabnya,
"Devi!" Kali ini suara Mas Yogi makin keras. Bahkan ia sampai menyudahi sarapan paginya dan berlalu bangkit mendekat ke arahku. Sret! Lengan kanan ku dicekal kuat oleh Mas Yogi, membuat ku meringis ngilu dibuatnya. "Kalo suami lagi ngomong itu didengerin! Bukan malah ditinggal pergi!""Sshh, sakit Mas!" keluhku merintih seraya meronta. Ku genggam tangan Mas Yogi yang masih mencekal lengan kananku. Mataku menatap nanar laki-laki yang selama ini bahkan tak pernah sama sekali berlaku kasar padaku. Meski tingkahnya sungguh sangat menyebalkan. "Ma-maaf, Dev. Mas gak sengaja.." lirihnya menyesal. Terlihat jelas tatapan matanya yang berkaca. Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba mengurai sesak atas perlakuan suamiku pagi ini. "Ini sudah siang, Mas! Aku harus mengantar anak-anak ke sekolah!" Aku mencoba menjelaskan mengapa terlihat ingin menghindar. Berharap jika Mas Yogi mengerti. "Kamu cukup jawab aja Devi. Kamu beneran masak cuma segitu?" Kini Mas Yogi mulai menurunkan nada bicar