Share

Bab 3

"Devi!" Kali ini suara Mas Yogi makin keras. Bahkan ia sampai menyudahi sarapan paginya dan berlalu bangkit mendekat ke arahku. 

Sret! 

Lengan kanan ku dicekal kuat oleh Mas Yogi, membuat ku meringis ngilu dibuatnya. "Kalo suami lagi ngomong itu didengerin! Bukan malah ditinggal pergi!"

"Sshh, sakit Mas!" keluhku merintih seraya meronta. Ku genggam tangan Mas Yogi yang masih mencekal lengan kananku. 

Mataku menatap nanar laki-laki yang selama ini bahkan tak pernah sama sekali berlaku kasar padaku. Meski tingkahnya sungguh sangat menyebalkan. 

"Ma-maaf, Dev. Mas gak sengaja.." lirihnya menyesal. Terlihat jelas tatapan matanya yang berkaca. 

Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba mengurai sesak atas perlakuan suamiku pagi ini. "Ini sudah siang, Mas! Aku harus mengantar anak-anak ke sekolah!" Aku mencoba menjelaskan mengapa terlihat ingin menghindar. Berharap jika Mas Yogi mengerti. 

"Kamu cukup jawab aja Devi. Kamu beneran masak cuma segitu?" Kini Mas Yogi mulai menurunkan nada bicaranya. 

Tanpa kami sadari, ada sepasang mata yang mengintip apa yang terjadi di dapur, yang hanya dibatasi lemari bufet setengah badan. 

"Bukankah sudah ku katakan sejak tadi, Mas. Aku hanya memasak untuk empat porsi." Kembali ku jelaskan apa yang sudah ku katakan sejak tadi. 

"Tapi kan, biasanya-"

"Biasanya apa, Mas? Biasanya Ibu dan Kakakmu serta Ponakan tersayangmu mu itu ikut numpang sarapan disini, begitu?" Sengaja ku potong kalimat Mas Yogi. 

Mata Mas Yogi mendelik sempurna, aku tahu jika ia tak akan suka dengan apa yang ku katakan. Sebab ia bahkan lebih memilih aku dan anakku kelaparan hanya demi menuruti permintaan Mba Yesi yang mengidam martabak. 

"Ibu dan Kakakmu itu orang dewasa, mereka juga bisa masak. Lalu kenapa mereka gak masak sendiri?" protesku. 

Memang benar, setiap pagi selama sebelas tahun, keluarga benalu itu selalu menumpang sarapan di rumahku. Tentu saja itu memangkas uang jatah belanja yang diberikan Mas Yogi setiap harinya. 

"Mana sempet Devi! Yesi ngurus si Bella tiap pagi!" Bukan suara Mas Yogi yang ku dengar melainkan  ibu mertuaku. Namun kemudian dengan cepat ku jawab, "Lalu apa bedanya dengan ku, Bu? Anakku bahkan dua. Belum lagi mengurus Mas Yogi, yang hanya perkara mandi lupa bawa handuk atau sabun saja, teriak-teriak sampai satu RT aja denger!"

"Devi!" Mas Yogi rupanya tak terima dengan apa yang ku katakan. "Apa Mas? Aku hanya mengatakan kebenaran sesuai dengan kenyataan!"

"Lagi pula, jika aku hanya memasak untuk keluarga kecil kita. Aku rasa uang jatah harian darimu yang minimalis itu pasti bakal cukup," ucapku kemudian. 

Bu Jubaidah segera bangkit dan mendekat ke arah kami. "Apa kau ingin itung-itungan, hah?! Kau tau biaya untuk membesarkan dan menyekolahkan Yogi itu lebih dari apa yang kamu sebutkan itu! Kamu itu harusnya merasa beruntung, terlahir sebagai gadis kampung yang naik pangkat karena diperistri oleh Yogi! Ini bukannya bersyukur malah durhaka sama suami dan mertua. Kau menikmati hasil jerih payah anakku, dan aku tak mempersoalkan. Padahal seharusnya akulah yang-"

"Bersyukur kata Ibu? Aku beruntung begitu? Heh! Kalo saja bulan bisa ngomong, dia pasti bakal bersaksi. Jika disini, aku itu lebih mirip pembantu dibandingkan seorang istri!" Ku langkahkan kaki dengan kesal, meninggalkan ibu dan anak itu. Huh, bersyukur konon! 

***

"Aku berangkat dulu ya, Dev!" ucap Mas Yogi usai mengelap motor sport kebanggaannya. 

Motor yang dibeli hasil dari menjual kebun milik orang tuaku di kampung. 

"Iya, Mas.." Aku yang tengah menyiram beberapa tanaman cabai di kebun mini depan rumah segera beranjak. 

Ku cium punggung tangan lelaki halalku, kemudian aku menyadongkan tangan tepat di depannya. Membuat alisnya seketika bertaut. "Apa?"

"Beras, sabun, dan minyak di rumah habis!" ujarku tanpa jeda. 

"Ck! Giliran begini, gercep banget kamu!" keluhnya namun tetap saja tangannya bergerak mengambil dompet di saku belakangnya. "Nih!"

Mataku mendelik saat tau lembaran hijau yang disodorkan oleh suamiku. "Duit segini dapet apaan mas?"

"Dapet lah itu, jangan boros-boros Devi. Kita harus nabung untuk masa depan!" kelit Mas Yogi. 

Sret! Plak! 

Ku tarik tangan kanan suami ku dan meletakkan kembali lembaran uang dua puluh ribu itu ke atas telapak tangannya. "Kalo memang cukup, maka buktikan!"

Dengan wajah bingung, Mas Yogi kembali melayangkan pertanyaan, "Hah? Gimana maksudnya?" 

"Saat istirahat siang nanti, Mas mampir belanja ke warung dan beli tiga barang yang aku sebutkan tadi!" titah ku dengan tegas. 

"Kamu itu gimana sih, Dev? Biasanya juga cukup kok. Kenapa sekarang kamu protes?"

"Itu kan biasa, tapi kali ini luar biasa. Kamu beli itu, atau besok, kamu gak akan makan! Karna beras di rumah bener-bener habis!" Tanpa menunggu jawaban Mas Yogi, aku melangkah pergi meninggalkannya yang masih termangu kebingungan. 

Jika dulu uang dua puluh ribu, ku cukupkan untuk sehari, bahkan aku dan anak-anak rela makan hanya dengan sayur bening berlaukkan kerupuk. Itu semua demi agar Mas Yogi bisa makan ayam. Tapi tidak untuk sekarang, aku tak mau lagi kau bodohi, Mas! 

"Hallo. Oh tentu saja boleh, kenapa tidak? Baiklah saya tunggu ya.." Ku akhiri panggilan telpon masuk di ponselku. Tak ku dengar suara deru motor Mas Yogi, itu artinya laki-laki itu sudah pergi. Ahh, ingin sekali aku melihat ekspresi wajahnya saat pergi membeli barang yang ku mau dengan uang dua puluh ribu itu. Rasakan kau, Mas!

Dengan senyum tipis aku memasukan ponsel itu kedalam saku daster. "Bersiaplah menemui Devi versi baru, Mas!"

"Devi.. Devi.. Keluar kau!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status