Share

Bab 6

Mataku melirik ke arah dimana ayah tengah berdiri, mengamati perdebatan yang terjadi antara aku dan keluarga Mas Yogi. Sekian lama ayah tak mengunjungi kami, kini saat ia datang dengan membawa sejuta kerinduan. Namun sayangnya, beliau justru malah disambut dengan hal yang tak terduga. Yakni perlakuan keluarga Mas Yogi padaku. 

"Yogi, kau tahu betapa lelahnya istrimu karena harus mengurus rumah tangga sekaligus membesarkan anakmu yang mulai semakin pintar itu. Dua puluh ribu sehari, apa kau pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka?" katanya dengan nada marah namun terus mencoba menurunkan emosi yang masih membuncah. 

Mas Yogi hanya terdiam, tak bisa menjawab apa-apa. Bahkan aku sendiri tak tahu, mengapa Mas Yogi bisa berubah sepelit ini. Masih melekat kuat diingatanku, moment-moment sebelum ini semua terjadi... 

"Mas, apa ini gak kebanyakan?" ucapku saat baru saja menerima gaji milik Mas Yogi kala itu. 

"Kebanyakan gimana? Kalo kebanyakan yang tinggal disimpen aja Dev. Kalo kurang, barulah bilang sama Mas." Dengan santai Mas Yogi menjawab, tangannya terulur mengelus puncak kepalaku. Sungguh, saat itu aku masih merasa jika Mas Yogi benar-benar mencintaiku. 

"Tau apa kau Pak tua?! Asal kau tahu saja, justru mereka itu perlu menghemat uang agar bisa ditabung untuk masa depan dan anak-anak. Untuk persiapan juga jika suatu saat dibutuhkan dana dadakan." Bukan Mas Yogi yang menjawab melainkan Mba Yessi, seraya menyilangkan tangan di dada dengan angkuh. Suara kerasnya itu mampu membuatku tersadar dari lamunan. 

"Tapi, meski begitu. Bukan berarti Yogi bebas memperlakukan Devi seperti itu. Kau tahu betapa sulitnya bagi Devi untuk membesarkan dua anak dari gaji yang lebih dari cukup, tapi ia sendiri hanya diberi dua puluh ribu sehari. Kau harus memberinya nafkah yang layak, Yogi!" sahut Pak Benyamin, ayahku, dengan semakin meningkatnya nada suaranya.

"Pak, sudah ya. Bapak pasti capek. Mending Bapak istirahat dulu," ucapku menengahi. Aku berusaha membujuk ayahku itu, agar mau turut pergi bersamaku ke kamar anak-anak. Namun, langkah cinta pertamaku itu seolah berat dan justru terpaku disana. 

"Asal kau tau saja Yogi, ini sama sekali tidak adil bagi Devi dan cucu-cucuku. Jangan pernah lupakan bahwa ia juga mempunyai hak yang sama dengan keluargamu. Surgamu memang ada di kaki ibumu, tapi seorang suami tak akan mencium bau surga, jika ia lalai dan dzalim pada anak istrinya! " Ayah kembali berkata dengan suara dan nada penuh penekanan, lebih dari sebelumnya.

"Jika kau masih berlaku seperti itu, lebih baik kau kembalikan saja Devi padaku. Aku, Ayahnya! InsyaAllah masih sanggup menanggung tanggung jawab itu di pundak renta ini!" Dengan tegas ayah bahkan mulai memberikan ancaman pada Mas Yogi. 

Namun, tiba-tiba suara ibu mertua terdengar. Mengintervensi perbincangan yang semakin memanas itu. "Bawa saja dia! Setidaknya itu bisa mengurangi beban putraku! Istri kok bisanya cuma jadi beban suami!"

"Astaghfirullah," ucap ayah sambil mengelus dadanya. Bahkan kepalanya turut menggeleng perlahan, menandakan jika ayah benar-benar terkejut dengan apa yang dihadapinya kini. 

"Yogi! Jawab aku!" sentak ayah kemudian, yang melihat Mas Yogi masih diam tak bergeming sama sekali. 

"Aku serius, Yogi! Lebih baik kau kembalikan putriku padaku! Aku sungguh tidak terima dan tidak akan ikhlas dunia akhirat jika kau terus berlaku dzalim pada putri dan cucuku terus menerus!" Kilatan amarah terlihat jelas di mata ayah. 

"Silahkan! Bawa saja mereka!" Lagi-lagi, ibu mertua yang menjawab. Padahal aku tau persis, jika ayah hanya mau mendengar dan melihat respon serta jawaban dari Mas Yogi. 

"Tak perlu repot-repot protes dan ikut campur keputusan Yogi sebagai kepala rumah tangga, Pak Benyamin. Saya sangat setuju dengan Yogi! Devi memang tak bisa dibiarkan memegang uang banyak-banyak. Belum juga akhir bulan, anakku sudah hanya makan dengan tempe goreng. Istri macam apa itu?!" Bu Jubaedah, mertuaku, kembali bersuara. 

Wajah ayah menegang, matanya membola. Aku bisa lihat raut wajah keterkejutannya. "Lalu, apa bedanya dengan Bu Jubaedah yang ikut campur urusan rumah tangga Devi dan Yogi? Sekarang jika saja posisinya dibalik, Bu Jubaedah yang saya kasih dua puluh ribu untuk belanja sehari-hari. Apa ibu sanggup?"

"Heleh! Tentu saja!" jawab ibu mertua santai.

Padahal aku tahu betul, jika ibu mertua bahkan tak pernah sekalipun masak sendiri di rumah mereka. Selalu hanya numpang makan disini, atau pesan makanan melalui delivery order. 

"Aku tidak boros, Bu. Aku rasa, kau juga tau itu!" Kini aku tak bisa terus diam saja, saat ayahku mati-matian membelaku. Akan ku buktikan, jika anak perempuan ayah, bisa berdiri kokoh seperti batu karang yang melawan ganasnya ombak di lautan. 

"Bagaimana aku tak boros, jika saja uang jatah Ibu dan Mba Yessi itu-"

"Jadi kau mempermasalahkan Yogi yang memberi kewajibannya sebagai seorang anak? Begitu?!" Belum selesai aku berkata ibu mertua sudah lebih dulu menyela. Astaghfirullah, aku harus banyak-banyak mengucap kalimat istighfar dalam hati. 

"Aku tak pernah keberatan Mas Yogi memberikan sedikit gajinya untuk ibu. Tapi mba Yessi dan anaknya, bukanlah tanggung jawab suamiku!" Dengan nada cukup tinggi ku bantah perkataan ibu mertua. Yaa Allah, maafkan aku yang telah berani meninggikan suara di hadapan orang tua. 

"Cukup Devi! Jangan berani kamu tinggikan suara di depan ibuku! Bagaimanapun juga, kau harus menghormatinya seperti kau menghormati orang tua mu sendiri!" tekan Mas Yogi dengan nada tertahan. 

Dengan tatapan mata berkaca, ku tatap lekat manik mata laki-laki yang sudah ku gandeng tangannya selama sebelas tahun ini. "Kau bisa mengatakan seperti itu, Mas. Tapi apa kau sudah mengatakan pada Ibumu? Untuk menerima ku bukan hanya sebagai menantu, tapi selayaknya seorang anak perempuan? Sebagaimana ayah dan ibuku menerima dan memperlakukan mu?"

"Setidaknya jika ingin dihormati layaknya orang tua. Maka terlebih dulu, posisikan dirimu seperti orang tua pada umumnya. Karena, harimau yang ganas saja tak akan sanggup untuk menerkam anaknya sendiri! Tapi ini.." sindirku. 

Mata ibu mertua, kakak ipar dan suamiku melotot sempurna. Namun, aku bahkan tak peduli lagi. Aku lebih memilih mengajak ayah untuk beristirahat di kamar anak-anak. 

"Ayok, Pak. Anak-anak pasti senang liat Kakeknya dateng!" Sedikit ku tarik lengan ayah, seraya memberi kode anggukan kepala. 

Terlalu lama berada dalam atsmosfer yang sama dengan keluarga suamiku. Hanya akan membuat habis tenaga dan juga meracuni pikiran. Lebih baik, menyingkir demi kewarasan diri sendiri. 

Kini, aku merasa tidak lagi sendirian dalam masalah ini, aku tahu jika Mas Yogi akan tetap berat pada keluarganya. Tapi, akupun bukan seorang yatim piatu. 

"Pulanglah, jika kau sudah tak sanggup lagi, Devi!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status