Share

Bab 5

Mataku membola sempurna, kala melihat sosok laki-laki yang amat aku kenal, tengah berdiri menatap tajam pada Mba Yessi, kakak dari Mas Yogi. 

"Yogi! Aku percayakan anakku padamu, tapi apa yang aku lihat sekarang?" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Tak sebanding dengan tubuhnya yang terlihat kurus tak terawat. 

"Bapak.." ujar Mas Yogi terkejut. 

Sama terkejutnya dengan diriku yang menatap tak percaya pada pria paruh baya yang kini berdiri di belakang tubuh mba Yessi. 

"Bapak, kok-"

"Jadi ini kelakuan keluarga suamimu padamu, Nak?" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku. Bapak sudah lebih dulu mencecarku dengan pertanyaan yang tak bisa lagi aku elak. Sebab, sudah dipastikan jika bapak bahkan mendengar semua kalimat yang diucapkan kakak ipar. 

"Kau ku ratukan di rumah, ku didik dan ku sayangi sepenuh hati. Bahkan tak akan ku biarkan seekor nyamuk sekalipun menyakiti dirimu. Tapi disini? Bukan menjadi ratu, tapi harga dirimu diinjak seolah kau tak berharga sama sekali di mata mereka," tutur bapak menatap Mas Yogi dengan tatapan berkaca. 

"Mana janjimu padaku, Yogi? Kau melamar Devi padaku, dan berkata akan membahagiakan dia. Hingga aku percaya, dan tak menjenguknya sebab sudah yakin jika dia baik-baik saja. Tapi, apa yang ku lihat dan dengar sekarang?" Bapak terus mencecar Mas Yogi, membuat suamiku itu tersudut. 

Mba Yessi tampak mendelik, saat adiknya itu tersudutkan oleh kata-kata bapak. Tubuhnya yang sejak tadi menghadap ke arah ku dan Mas Yogi, kini beralih menghadap bapak. "Ngomong apa tadi kau, Bapak Tua? Apa sekarang kau sedang menyalahkan Adikku, begitu?"

"Apa ada yang salah dengan perkataanku, Mba Yessi? Apa yang aku katakan benar adanya, karna saat Yogi mengikrarkan ijab qobul atas nama putriku. Tanggung jawabku sudah beralih ke pundaknya. Aku rasa Mba Yessi juga mengerti, karna Mba Yessi sendiri adalah seorang istri!" Bapak terdengar melawan perkataan kakak ipar. 

"Ho ho.. Tentu saja beda! Aku istri berpendidikan, tentu berbeda dengan Devi. Jangan samakan aku sama anak bapak yang hanya bisa menjadi beban dan benalu buat Yogi, ya!" Mba Yessi tak mau kalah, ia terus melayangkan kata-kata yang berhasil membuat ku tak lagi tinggal diam. 

"Benalu? Beban? Siapa yang Mba maksud? Aku? Anakku?" Bertubi-tubi aku layangkan pertanyaan pada kakak ipar dan hanya dibalas dengan ekspresi bibir yang mencebik. "Apa kau tidak salah? Kau bilang istri berpendidikan, tapi masih jadi benalu untuk rumah tangga adiknya? Situ waras?"

"Jika soal Ibu, aku paham. Karena Mas Yogi masih memiliki kewajiban untuk mensejahterakan Ibunya. Tapi tidak untuk kamu dan anakmu. Ya, kecuali kau itu janda!" imbuhku yang dengan sengaja menekan kata-kata terakhir. 

Benar saja, mba Yessi seketika mendelik saat aku menekan kata janda. "Apa kau sedang menyumpahi ku?"

Tak ku respon perkataan kakak ipar. Aku hanya melengos sembari memutar mata malas. Namun, suara kakak dari suamiku itu seketika membuat ku kembali fokus padanya, "Ibu, aku dan anakku adalah keluarga Yogi. Berbeda dengan mu yang orang lain. Yang hanya bisa mengadahkan tangan pada adikku!"

"Oh ya? Begitukah?" Aku memasang wajah terkejut kemudian menoleh kearah Mas Yogi. "Mas, apa aku jadi beban untuk mu?"

Mendapat pertanyaan dariku, membuat Mas Yogi gelagapan dan tampak ragu untuk menjawab. "A.. Aku.."

"Katakan saja Yogi, ada Mba disini! Jangan takut!" Mba Yessi terdengar memberikan dorongan pada Mas Yogi. 

Sementara aku dan bapak hanya saling lirik. Hingga beberapa saat kemudian, suara Mas Yogi kembali terdengar. "Bukan beban, Dev. Hanya saja, kamu terlalu boros. Belum akhir bulan, uang dariku sudah habis. Itu yang membuat ku-"

"Jadi itu yang ada di pikiranmu selama ini, Mas?" tanyaku sengaja memotong kalimat Mas Yogi. 

"Apa Mas tau, kenapa aku selalu mengeluh uang menipis saat akhir bulan?" Aku menatap intens pada manik mata suamiku itu. "Sekarang, coba sebutkan. Berapa uang yang kau berikan setiap bulannya. 

"Empat juta," jawab Mas Yogi. 

"Baiklah, empat juta ya!" sahutku kemudian berlalu mengambil ponsel milik Mas Yogi yang tergeletak di nakas samping tivi. "Pegang ini! Dan buka kalkulator!"

"Satu juta untuk Ibumu! Satu juta untuk Mba Yessi! Lima ratus untuk bayar listrik! Lima ratus untuk bayar air!" Sejenak aku menjeda kalimat, guna mengambil oksigen demi melonggarkan rongga dada yang terasa tercekat. "Sekarang coba kau hitung, berapa total?"

"Tiga juta.." lirih Mas Yogi. Dan ku balas dengan anggukan kepala. "Sekarang, masih sisa satu juta, bukan?"

"Apa kau tau berapa harga beras, minyak, ayam, telor? Enggak 'kan? Atau perlu aku beberkan semua harganya di depanmu, Mas?" 

"Jangan belagu dengan mengatakan jika aku terlalu boros. Sedangkan kau hanya memberiku empat juta! Sungguh dramamu itu, membuat ku ingin menghadiahkan piala nominasi best drama pada keluarga kalian!"

"Jika kamu memberi ku dua puluh juta sebulan, dan saat belum masuk tanggal gajian sudah habis. Itu berarti aku boros!"

"Lha ini! Duit cuma empat juta, tapi permintaan mu udah kayak raja fira'un!"

Mas Yogi melongo, kala aku melayangkan banyak cecaran padanya. Karna yang ia tahu, aku adalah istri pendiam. Padahal yang orang tak tahu, pendiam nya seorang istri, adalah bukti jika hatinya sudah mati. Dan tak lagi bisa kau selamatkan. 

"Kamu kok ngomongnya gitu, Dev?" lirih Mas Yogi. 

Aku menghela nafas perlahan, mencoba mengurai sesak yang sejak lama menghimpit dalam rongga dadaku. Bukan aku terlalu cinta hingga bucin goblok pada Mas Yogi. Namun aku masih mencoba memberi kesempatan pada Mas Yogi agar ia lebih peka dan memperhatikan tiga nyawa yang bergantung dan menjadi tanggung jawabnya. 

"Lalu apa, Mas?" Aku berusaha menimpali perkataan Mas Yogi tanpa emosi, sebab aku sadar jika itu tak akan mengubah apapun. "Saat aku memilih bekerja, kau melarangku. Kau bilang, jika istri punya penghasilan sendiri, ia tak akan lagi bisa menghormati dan menghargai suaminya sebagaimana mestinya. Tapi, saat ku turuti apa kemauanmu. Kau malah justru semakin dzalim pada anak dan istrimu. Lalu? Kau mau aku berbuat apa dan bagaimana?"

"Lebih baik mau kembalikan putriku padaku, Yogi! Aku sungguh tidak terima dan tidak akan ikhlas dunia akhirat jika kau terus berlaku dzalim pada putri dan cucuku terus menerus!"

"Silahkan! Bawa saja mereka!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status