Share

Bab 7

"Sudahlah, Pak! Jangan bahas ini sekarang, Devi gak mau anak-anak ikut mendengar apa yang tak seharusnya mereka dengar," ucapku sesaat sebelum aku melanjutkan untuk membuka handle pintu kamar anak-anak. 

Aku sadar betul, jika masalah ini akan berpengaruh pada mental kedua anakku. Tapi, aku pun manusia yang masih mempunyai batas kesabaran. Jika saja, Mas Yogi berlaku adil dan tak selalu berat sebelah. Mungkin masalah ini tak akan sampai berlarut-larut. 

Malam ini, ayah tidur di kamar anak-anak. Seperti biasa. Aku akan menyelesaikan tugas rumah tangga saat semua orang sudah terlelap. Barulah kemudian beranjak untuk mengistirahatkan diri sendiri. 

"Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku yang terperanjat kaget, saat melihat Mas Yogi masih duduk dengan ponsel di tangannya. 

"Aku sengaja menunggumu masuk, Sayang." Suara berat Mas Yogi seolah menggambarkan betapa banyak beban pikiran yang ada di pikirannya. 

Dengan perlahan ku buka lemari dan mengeluarkan baju tidur, kemudian berlalu ke kamar mandi. "Tunggu sebentar, Mas. Jika lelah, tidurlah lebih dahulu," ucapku seraya berlalu. 

Beberapa saat kemudian,

Aku fikir Mas Yogi sudah terlelap, seperti biasanya. Namun, kala aku keluar kamar mandi, rupanya laki-laki itu masih setia duduk dengan tatapan kosong. 

"Ada apa, Mas?" tanyaku seraya naik ke tempat tidur kami. Mataku memicing, menelisik pada suamiku itu. 

Mas Yogi menoleh menatap padaku, tatapan matanya sayu bahkan cenderung kosong. Aku tau, jika ia masih memikirkan perdebatan beberapa saat lalu. "Apa kau tak bisa berdamai dengan Ibu, Sayang?" 

"Damai?" Alisku bertaut kala mendengar kata yang seolah menyudutkan ku, "apa selama ini yang ku lakukan bukanlah sebuah upaya perdamaian, Mas?"

"Coba kau ingat-ingat. Sejak awal pernikahan kita, Ibu dan Mba Yessi sangat tak menyukaiku. Kamu sendiri kan yang bilang sama aku, sabar Sayang nanti ada masanya mereka tau kebaikan dan ketulusan mu. Bersabarlah sebentar lagi."

"Karna aku percaya padamu, makanya aku memilih diam. Apapun yang terjadi, selama kau ada dipihakku, maka aku akan terus berjuang dan bertahan."

"Tapi, sekarang setelah sebelas tahun berlalu. Mana Mas, mana? Tak ada yang berubah, sebelas tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Bahkan setelah ada Rayyan dan Reno, sikap mereka masih sama dan justru semakin berani menunjukkan ketidaksukaannya terhadap ku. Lalu aku harus bagaimana lagi, Mas?"

"Awalnya, aku masih diam, karena ada kamu yang selalu bersikap baik serta memihak pada kami. Sampai akhirnya satu masa itu datang, hal yang sama itu semakin membuatmu terasa jauh dari aku dan kedua anak kita."

Rentetan kalimat, ku layangkan pada Mas Yogi. Aku bukanlah tipe orang yang suka mengadu dan berkeluh kesah. Memendam segalanya seorang diri adalah jurus ninjaku. Prinsipku, aku ingin orang-orang cukup melihat kebahagiaan dan kesenangan ku. Tidak untuk kesedihan dan kesusahan ku. Sebab, tak semua orang itu benar-benar peduli. Terkadang beberapa dari mereka bertanya tentang kabar dan kondisi kita, bukan karna mereka peduli, tapi murni karna mereka hanya sekedar kepo dan ingin tahu saja.

"Kenapa diem, Mas?" tanyaku saat melihat mas Yogi malah masih asik dalam diamnya. 

"Apa yang harus ku katakan, Sayang? Aku baru mengatakan satu kalimat dan kamu sudah menjawab dengan tiga paragraf sekaligus," tukas Mas Yogi mencibir. 

Aku menghela nafas sejenak, mengurai sesak akan kelakuan suamiku yang terkadang membuatku gemas sendiri, "Lalu? Apa yang kamu mau, dengan menungguku hingga selarut ini?" 

"Aku hanya ingin rumah tangga kita damai seperti sebelumnya, Devi. Akhir-akhir ini, banyak percekcokan yang bikin kepalaku pusing. Belum lagi, entah setan mana yang merasuki mu, sampai istriku yang penurut dan pendiam jadi istri yang-"

"Pembangkang! Begitu maksudmu, Mas? Atau lebih tepatnya maksud Ibumu?" Aku dengan cepat menyela perkataan Mas Yogi. 

Ya! Aku dengar sendiri apa yang dikatakan ibu mertua beberapa saat lalu, kala mereka masih asik mengobrol di teras rumah. Niatku yang ingin ke dapur dan membuat susu untuk Roni, malah dibuat penasaran atas apa yang dilakukan oleh mas Yogi dan keluarganya di teras depan. Dengan langkah berjingkat, aku mencoba menguping dari balik pintu yang memang hanya ditutup separuhnya. Dari sanalah aku akhirnya mengetahui jika selama ini, bahkan mas Yogilah yang membiayai sekolah keponakannya, anak dari mba Yessi. 

"Kamu! Kamu sudah menikah denganku sebelas tahun, Mas! 24/7 aku berada di rumah. Seharusnya, kamulah yang paling tau seperti apa aku. Bagaimana aku. Perubahan sikapku pun, seharusnya kau sendiri menyadarinya. Ahh.. Tidak-tidak, kau bukan tak menyadarinya tapi lebih tepatnya tak memperdulikannya. Aku benar kan, Mas?" Setelah cukup lama terdiam, kini aku mulai bicara. 

"Kita ini suami istri, Mas! Jika tak ada asas keterbukaan diantara kita. Maka tak akan ada juga rasa damai dalam rumah tangga kita!" 

"Aku sudah cukup mengalah dan bersabar selama ini, Mas. Dan aku masihlah manusia biasa yang kesabarannya bisa habis jika terus digempur sikap dan perkataan yang cukup menyakitkan hati."

"Sekarang, aku tanya sama, Mas. Kapan kali terakhir kamu melihat aku menangis?" Ku lirik wajah mas Yogi yang tampak berfikir. Namun aku tahu, jika ia tak akan mungkin menemukan jawaban. 

Benar saja, endikkan bahu mas Yogi membenarkan dugaanku. "Kau tak tau kan, Mas?!"

"Jangan main teka-teki, Devi," sinis mas Yogi lirih. 

"Baiklah-baiklah.. Akan aku jawab!" Helaan nafasku terasa berat, banyak beban yang menghimpit di dalam sana. Meninggalkan rasa sesak berkepanjangan. "Kamu bahkan sampai lupa kapan aku menangis, karna air mataku itu sudah kering, Mas. Aku sudah lelah mengeluh dan menangis karna sikap Ibu dan Mba Yessi yang tak pernah memperlakukan aku dan anak-anak dengan baik."

"Ketahuilah, Mas. Jika tak ada lagi air mata yang keluar dari mata seorang wanita. Percayalah, itu bukan hal yang baik. Itu justru awal dari sebuah bencana!"

"Air mata yang keluar dari mata seorang wanita, bukan karna dia itu cengeng dan manja. Tapi karna ia masih punya hati. Tapi saat air mata itu sudah enggan keluar. Itu berarti, hatinya sudah mati! Mati, Mas!"

Sreettt... 

Ku tarik selimut hingga menutupi separuh tubuhku. Sambil mencoba menumpuk bantal agar nyaman, aku menoleh pada mas Yogi. "Tidurlah, Mas! Agar besok tak terlambat. Kan sayang kalo besok terlambat, maka bonus yang harusnya kamu terima besok jadi hangus!"

"Devi.. Ka-kamu.."

"Selamat malam, Mas!" ucapku menyela kalimat mas Yogi yang terbata. Namun, dalam hati ini ada rasa tercubit dan menggelitik. 

Ku rebahkan tubuh ini membelakangi mas Yogi. Tak lagi ku perdulikan suamiku yang terlihat masih ingin bersuara. Jika keluarga mu saja tak peduli denganku yang masih berstatus istrimu. Tapi, kau ingin memintaku peduli dengan keluargamu itu? Maaf, mas. Itu hanya akan menjadi harapan mu saja! 

Ceklek! Ceklek! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status