Share

Bab 8

"Kamu yakin tak ingin pulang sama Bapak, Dev?" 

Sekali lagi, pertanyaan itu meluncur dari mulut ayah. Pria tua itu menatap ku sendu, seolah menyiratkan rasa sedih yang teramat dalam. Ku balas tatapan mata itu dengan lekat dan ku raih tangan keriputnya. 

"Bapak tenang aja ya, Devi baik-baik aja kok. Devi minta, jangan ceritakan apapun sama Ibu. Devi gak mau Ibu mikir terlalu berat dan bikin kesehatan Ibu malah drop," ucapku dengan masih menggenggam erat tangan laki-laki cinta pertama ku. 

"Tapi, apa kamu pikir, Bapak bisa pulang dengan tenang begitu?" Manik mata itu menatap ku teduh, bahkan kini sudah mulai berkaca. 

"Tolong percayalah sama Devi. Devi pasti bisa melalui ini semua. Ada Rayyan dan Reno yang menjadi tiang kekuatan Devi." Aku terus menenangkan ayah, agar ayah tak lagi merasa berat hati meninggalkan kami disini. 

Helaan nafas ayah terasa berat, "Baiklah, bapak percaya padamu. Tapi ingat ini, kamu masih punya orang tua. Kamu bukan anak yatim piatu dan kamu masih punya rumah untuk pulang.

***

"Baiklah, Mas Arya. Secepatnya nanti saya kasih kabar, terima kasih sebelumnya," ucapku seraya menekan tombol merah pada layar ponselku. 

"Siapa Mas Arya?" Sebuah suara tiba-tiba masuk, dan cukup membuatku terkejut. "Astaghfirullah!"

"Kenapa kamu kaget begitu? Memang aku ini setan?" sungut sosok tersebut yang ternyata ibu mas Yogi. 

Kedatangan ibu yang tiba-tiba. Langsung masuk dan tanpa mengucapkan salam, tentu tak aneh bukan jika aku merasa kaget. Tapi, hal tersebut malah seolah aneh di mata ibu mertuaku itu. 

"I-ibu, kapan dateng?" tanyaku terbata karna masuh merasa gugup. 

"Kamu habis telpon selingkuhanmu?" cecar ibu mertua tanpa mengindahkan pertanyaan ku. 

Keningku mengernyit, tak mengerti akan tuduhan yang baru saja dilayangkan Bu Jubaedah. "Selingkuhan?"

"Iya! Aku sudah dari tadi datang, saat kamu masih telponan sama selingkuhanmu itu!" bentak ibu mertua dengan suara meninggi. 

Aku tersentak, saat ibu mengatakan dengan jelas dan berulang kali tentang selingkuhan. Apa serendah itu pandangan ibu padaku. Padahal aku bahkan membatasi aktivitas di luar rumah. Aku lebih senang di dalam rumah, mengurus rumah dan anak-anak. Kalaupun keluar rumah, hanya untuk anter jemput dan belanja ke warung. Itu pun aku memakai daster lusuh tanpa riasan di wajah sama sekali. Tapi, bisa-bisanya ibu malah menuduh ku seperti itu. 

"Selingkuhan? Apa Ibu sedang bermimpi? Kalo ngantuk tidur di rumah, Bu! Bukan malah keluyuran dan bikin sensasi," ketusku. 

Selama ini aku selalu menjaga perilaku dan tutur kata pada ibu mertuaku itu. Meski setiap kata yang ia lontarkan padaku adalah sebuah penyakit dan seperti sebuah sembilu yang sengaja ditancapkan dalam hati, namun aku memilih tak pernah menghiraukannya. 

Tapi kini tidak lagi, sekarang sudah waktunya aku bangkit. Ini semua ku lakukan demi keutuhan rumah tanggaku. Aku tak ingin kalah dengan keadaan, setidaknya aku harus bisa memutar balikkan segalanya. 

"Jangan ngelak kamu, Devi. Aku tau selama ini kamu diam-diam selingkuh di belakang Yogi kan? Mengaku kamu!" sungut ibu mertua sambil menjatuhkan dirinya di atas sofa ruang televisi kami. 

Tangan ibu mertua terulur mengambil puding yang ada di atas meja. Dasar nenek lampir, marah sama tuan rumah tapi masih sanggup menelan makanan buatan sang tuan rumah. Aku hanya tersenyum sinis, melihat kelakuan ibu mertua yang semakin hari kian menjadi-jadi. 

Ku lipat tanganku di depan dada, kemudian menatap datar ibu mertuaku itu. Namun, itu ku lakukan tanpa berpindah posisi sama sekali. Masih dengan duduk di sofa yang berbeda dengan lampir Jubaedah. "Atas dasar apa Ibu menuduhku selingkuh?"

"Yogi sudah cerita semuanya! Dia bilang sekarang kamu mulai berubah. Bukan lagi Devi yang penurut dan patuh!" Masih dengan mulut penuh makanan, ibu mertua menceramahi ku panjang lebar. "Lihat saja sekarang, kau bahkan berani bersikap sombong padaku. Dasar Mantu durhaka!"

"Durhaka? Sama Mertua?" tanyaku dengan ekspresi terkejut, "liat dulu dong, mertuanya kaya apa. Kalo mertuanya model dajjal sih, kayanya itu malah bagus! Sah-sah aja."

Mata ibu mertua mendelik sempurna, aku yakin puding di tenggorokannya itu ikut berhenti di tengah kerongkongannya. "Lagian, Mas Yogi ngadu sama Ibu?"

Pertanyaan ku sontak dihadiahi anggukan kepala oleh ibu mas Yogi. Dengan senyum miring aku menimpali, "Sambil nangis nggak, Bu? Atau, sambil minta permen?"

Mendengar kalimat yang baru saja ku layangkan, sukses membuat ibu mertua semakin berang. Diletakkannnya dengan keras, piring kecil berserta sendok bekas puding ke atas meja. Hingga menimbulkan bunyi berdenting yang cukup nyaring. 

"Jangan kurang ajar kamu, Devi!" tunjuk ibu mertua tepat di depan wajahku. 

Ku singkirkan pelan telunjuk ibu mas Yogi, dan menatapnya dingin. "Jangan pernah lagi melakukan hal semacam itu, Bu! Atau-"

"Atau apa hah?!" Ibu mertua berdiri dan berkacak pinggang. 

"Atau Ibu akan menemui sisi lain dari menantumu ini," jawabku yang kini sudah berdiri berhadapan dengan Bu Jubaedah. 

"Kamu!" 

Ku lirik tangan Bu Jubaedah yang sudah terangkat tinggi dan bersiap mendarat di wajahku. Tapi dengan cepat aku menepis tangan tersebut, hingga membuat ibu semakin berang. 

"Dengar, Bu! Aku sudah capek bersiteru dengan Ibu, jadi lebih baik Ibu pulang sekarang." Aku yang sudah jengah dengan sikap mertua memilih untuk mengusir wanita itu sambil menunjuk ke arah pintu. 

"Heh, Wanita Udik!" Telunjuk ibu mertua mendorong tubuhku dengan kuat hingga membuatku mundur selangkah. "Ini rumah anakku, jadi jangan pernah berani mengusir ku dari sini! Kau hanya benalu, jadi cukup sadar diri dan jangan bertingkah!"

"Ahh, sekarang aku tau kenapa Mas Yogi berubah jadi pelit. Itu semua karna hasutan Ibu, kan?!" sinisku, menatap remeh pada wanita paruh baya itu. 

Seumur hidup, aku bahkan tak pernah terlibat perdebatan apalagi bertengkar dengan siapapun. Dan hal ini cukup membuat tubuhku gemetar karenanya. 

"Ha ha ha.. Akhirnya kau sadar diri juga!" Gelak tawa ibu mertua menggema di seluruh penjuru rumah. 

"Tapi kenapa, Bu? Apa salah Devi sama Ibu?" tanyaku dengan bodoh. Padahal, aku bahkan sudah bisa menebak apa jawabannya. 

"Itu karna aku tak pernah suka dengan mu, Devi! Kehadiran mu di keluargaku, bak sebuah kesialan yang malah justru dibawa pulang dengan sengaja oleh Yogi!" teriak ibu mertua. Riak suaranya yang bergetar, serta wajah yang merah padam, seolah menyiratkan betapa besar rasa benci yang ada di hatinya. 

"Lalu, kenapa Ibu merestui pernikahan kami dulu? Kenapa, Bu?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status