Share

Bab 4

"Ibu?" gumamku, kala terlebih dahulu mengintip dari jendela, siapa yang datang. 

Ku putar handle kunci dua kali dan membuka pintu. 

Ibu mertua menatap tajam padaku yang baru saja membuka pintu, "Kenapa pintunya dikunci?"

Aku mengela nafas perlahan. Jika dulu aku akan gemetar saat mendapat tatapan tajam dan pertanyaan sinis ibu mertua. Namun sekarang tidak lagi, "Gak apa-apa kok,Bu! Aku cuma gak mau ada orang main nyelonong ke dalam rumah. Aku juga butuh privasi."

"Heleh! Privasi.. Privasi.. Tai kucing!" sentak Bu Jubaedah, mertuaku.

"Katakan! Apa yang kau lalukan di dalam, huh?!" tanya wanita itu, lagi.

"Aku" Telunjukku mengacung, menunjuk diriku sendiri.

"Aku gak ngapain kok. Cuma lagi duduk santai aja!" jawabku santai. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan oleh ibu mertua setelah ini. 

Benar saja, mu lihat mata ibu mertua melotot sempurna. Menandakan jika setelah ini akan ada  rentetan kalimat yang meledak. 

"Apa kau bilang? Lagi santai? Gak punya otak kamu, hah?!" Telunjuk ibu mertua terulur dan menunjuk tepat di dahi samping ku. 

Dengan cepat ku genggam jari telunjuk itu dan ku turunkan. "Jangan pernah berani melakukan hal bodoh itu lagi, Bu! Atau kau akan menyesal!"

Ibu mertua terdiam, namun terlihat dari ekspresi wajahnya, menyiratkan jika wanita paruh baya itu terkejut dengan aksi yang ku lakukan. 

Sedetik kemudian, tiba-tiba ekspresinya berubah dan terlihat tenang. "Apa yang kau katakan pada Yogi?"

Alisku bertaut, memikirkan apa yang dimaksudkan oleh ibu mertua. "Apa yang ku katakan?"

Sret! 

Ibu mertua mencengkram lenganku dan membawa ku masuk ke dalam rumah lalu menghempaskannya begitu saja. 

"Kamu itu dijadiiin istri sama Yogi, ya buat ngurusin Yogi. Bukan malah nyuruh-nyuruh si Yogi!" tekan ibu mertua. 

Aku sedikit tersentak kaget, namun kemudian aku mencoba terlihat santai. "Oh jadi Mas Yogi ngadu ceritanya?"

"Mau sampai kapan anak Ibu itu bersembunyi di ketek anda, ibu mertua?" cibirku dengan nada mengejek. 

Deru nafas ibu mertua terdengar berat, rongga dadanya naik turun. "Dasar Mantu kurang ajar!"

Grep! 

"Jangan pernah berani menampar ku, Bu! Atau kau akan tau akibatnya!" Dengan cepat ku cekal tangan Bu Jubaedah yang beberapa inchi lagi mendarat di pipiku. 

"Aww!" pekikku kemudian. 

Ku letakkan tangan ibu mertua di rambutku, dan sengaja membuatnya seperti beliau tengah menarik rambutku. "Lepaskan Devi, Bu. Devi mohon.."

"Heh! Lepaskan tanganmu itu!" teriak ibu mertua. 

Brak! 

"Aw.."

"Yaa Allah Devi.."

Suara pekikan suamiku terdengar, tepat saat aku menjatuhkan diri di lantai. 

Dengan mata berkaca ku tatap wajah Mas Yogi dengan raut wajah sendu. "Mas.."

"Ibu ini apa-apaan sih?!" cecar Mas Yogi yang kini sudah duduk jongkok di sampingku. 

Dengan telaten Mas Yogi menolong ku untuk bangkit dan duduk di sofa ruang tengah. Usai memastikan aku baik-baik saja. Kini Mas Yogi berdiri menghadap ibunya. "Apa salah Devi, Bu? Kenapa ibu sampai tega-"

"Ini tak seperti kamu liat Yogi," sela ibu mertua cepat. Tangannya bergerak menyentuh lengan Mas Yogi namun berkali-kali ditepis dengan keras. 

"Lalu, seperti apa?" tanya Mas Yogi dingin. 

"Tidak ada apa-apa, Sayang. Sudah jangan seperti itu. Mungkin Ibu-" ucapku lembut, sengaja seolah menerima perlakuan Bu Jubaedah. Padahal.. 

"Nggak! Ibu sudah keterlalun, Devi! Dia sampai main tangan sama kamu. Dan aku sebagai suamimu tak akan pernah terima." Dengan cepat Mas Yogi membantah. 

Aku sudah bisa menebak itu. Sebenarnya Mas Yogi sangat menyayangi aku, begitu juga sebaliknya. Namun, entah sejak kapan suamiku itu menjadi sangat menyebalkan. 

Mas Yogi langsung menarik nafas panjang, "Ibu, aku tau kalo Ibu tak menyukai Devi. Tapi apa tak bisa, jika Ibu jangan sampai menyakiti Istriku? Bagaimanapun juga dia adalah tanggung jawabku."

Bu Jubaedah tampak marah, "Maksudmu, kau lebih percaya sama Devi  daripada Ibu begitu? Durhaka kamu Yogi!"

Mas Yogi tampak menggeleng lembut, "Bagaimana aku tak percaya dan memihak pada Devi, Bu? Sedangkan itu semua sudah jelas dan terjadi tepat di depan mataku!"

Melihat wajah lembut anaknya, Bu Jubaedah tidak bisa marah lagi. Aku tahu pasti jika ini adalah akal-akalan ibu mertua. Ia akan menggunakan cara agar Mas Yogi berat kepadanya, dengan bertumpu pada kasih sayang Mas Yogi pada beliau. Dasar nenek lampir! 

"Terserah kamu saja, Yogi. Kamu gak percaya sama Ibu, Ibu terima kok. Sepertinya akan lebih baik kalo Ibu pulang."

Aku hanya bisa mengamati ibu mertua yang pergi dengan wajah sendu. Sedangkan Mas Yogi menatap ibunya dengan perasaan sedikit merasa bersalah. Namun, aku tahu jika Mas Yogi hanya akan percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya. 

Malam ini, ketika aku bersama suami dan kedua jagoan kecilku, tengah menikmati makan malam bersama, tiba-tiba pintu rumah terbuka tanpa permisi. Aku memutuskan menyudahi makanku dan beranjak, untuk melihat siapa yang masuk. Hingga tampak Mba Yessi masuk dari arah ruang tamu. Ia datang dengan mata merah.

"Kalian pikir kalian bisa berbuat semena-nena pada Ibu dirumah ini, huh?!" teriak mba Yessi dengan wajah merah karena marah. 

Aku dan Mas Yogi hanya saling pandang. Kami tak bisa berkata banyak, sebab ada Rayyan dan Roni, tak baik bagi mereka jika sampai menonton adegan kekerasan. 

"Rayyan, bisa tolong bawa adek ke kamar? Ajak adek dengerin musik ya," ucapku lembut. Rayyan yang sudah berusia 10 tahun, tentu sudah paham dengan apa yang terjadi. Anak sulungku itu mengangguk dan menggandeng adiknya, kemudian berjalan masuk ke kamar mereka. 

"Ada apa mba?" Kini Mas Yogi sudah bisa dengan bebas berbicara, setelah anak kami masuk ke kamar. Aku dan Mas Yogi sudah berdiri berhadapan dengan mba Yessi, anak sulung Bu Jubaedah, mertuaku. 

"Ada apa kau bilang? Harusnya aku yang bertanya, ada apa denganmu, Yogi?" cecarnya tak sabaran. 

Alis Mas Yogi mengernyit, ia masih belum paham dengan apa yang terjadi. 

"Bisa-bisanya kamu malah lebih belain Devi dibanding Ibu. Apa hati mu buta? Tak bisa melihat siapa yang benar dan siapa yang penipu? Atau kau ingin menjadi anak durhaka, iya?!" Dengan tangan bertengger di pinggang, kakak dari suamiku itu tampak menatap adik kandungnya dengan amarah yang menggebu. 

"Anak laki-laki sampai kapanpun akan menjadi anak ibunya! Sedangkan istri adalah orang lain yang lain yang kau pungut! Asal kau tahu itu!" teriak mba Yessi kemudian. Jari telunjuknya mengacung tegak, tepat di depan wajahku. 

"Dan kamu Devi!" ucapnya kemudian, "Bisa-bisanya kamu hasut adikku agar membelamu. Dasar Adik Ipar tak tau diri!"

"Aku? Hasut Mas Yogi? Apa gak salah Mba?" Aku tak terima begitu saja akan tuduhan yang dilayangkan Mba Yessi. Hingga aku pun membantah tuduhan tersebut, dengan cara cantik. Dengan nada tegas dan penuh penekanan, aku kembali melanjutkan, "Bukankah kalian yang menghasut Mas Yogi, agar dia hanya memberiku nafkah dua puluh ribu sehari?"

"Hei! Jangan fitnah kamu, ya!" Jari telunjuk mba Yessi kini semakin mengacung tepat menempel di wajahku. 

Dengan kasar ku tepis jari kakak ipar. "Aku tak pernah memfitnah siapapun! Asal Mba tau itu!"

"Buktinya, Ibu sampai nangis-nangis karena ulah kalian!" mba Yessi sepertinya sama sekali tak berniat menurunkan nada bicaranya. 

"Heleh! Ngadunya cuma omong kosong, doang!" cibirku dengan wajah mengejek. 

"Heh! Terserah kau saja Wanita Udik! Lagipula, aku dan Ibuku lebih berhak atas uang Yogi, bukan kau! Karna kami adalah keluarga Yogi, bukan kau, Wanita Udik yang Yogi pungut dan dijadikan istri oleh adikku!"

"Jadi seperti ini, kelakuan kalian?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status