Share

Bab 2

Lagi, datang satu manusia yang akan membuat pagi ini semakin bermakna. Ku langkahkan kaki menuju ke ruang tamu dan membuka pintu. 

"Dimana Yogi?" tanyanya saat baru saja pintu utama rumah kami terbuka. Namun aku memilih berbalik tanpa menanggapi pertanyaannya. 

"Apa kau tuli, hah?!"

Kini kalimat tanya itu kembali terdengar, namun dengan nada yang lebih tinggi. Membuatku menghentikan langkah. 

"Maaf Nyonya, saya tidak tahu jika ada manusia disini. Sebab sejak tadi saya hanya mendengar suara namun tanpa wujud," jawabku dengan nada sindiran. Manusia mana yang masuk rumah tanpa mengucapkan salam? 

Ku abaikan Mas Yogi yang mungkin nanti akan kembali berteriak minta kopi, lebih baik aku lanjutkan satu hal yang sejak tadi tertunda. Sambil duduk di bangku kecil milik anak-anak, tanganku kini kembali bergerak menyemir sepatu Mas Yogi. Sebelum laki-laki itu kembali berubah wujud menjadi tarzan. 

"Devi, dimana Yogi?" pertanyaan yang sama kembali terdengar, namun kali ini aku mencoba menjawabnya, "Ada di dalem, Bu. Masuk saja!"

Ya, dia adalah Bu Jubaedah, mertuaku, ibu dari Mas Yogi. Setiap pagi, ibu mertua pasti akan datang ke rumah hanya sekedar untuk meminta sarapan. Aku bahkan sangat hafal pola kedatangannya, lucu bukan? 

"Devi.."

Teriakan Mas Yogi kembali terdengar, untungnya sepasang sepatu miliknya sudah selesai disemir. 

Ku ayunkan kaki, melangkah menuju arah asal suara yang sudah bisa ku tebak, pasti dari arah dapur. 

"Mana sarapannya?" tanya Mas Yogi. 

Alisku seketika bertaut, padahal saat ini bahkan dirinya tengah menyantap nasi goreng ayam. Dengan santai aku menjawab, "Yang sedang kau makan itu apa, Mas?"

Ibu mertua yang duduk di samping kiri Mas Yogi seketika mendelik sempurna. Baru saja ibu mertua membuka mulut, suara Mas Yogi kembali terdengar, "Aku tau ini menu sarapan kita. Tapi, masa iya cuma ini sih!"

"Nggak ada, Mas. Cuma itu!" jawabku singkat. Aku menarik kursi dan memakan pisang goreng yang tadi sempat aku goreng, tentunya setelah mencuci tangan terlebih dahulu. 

Suara kres kriuk pisang goreng itu mampu menggugah selera siapa pun yang mendengar. 

"Ibu mau?" tawarku pada ibu mertua yang tampak melihat ku makan dengan mulut terbuka. Tampak sekali jika wanita tua itu menginginkan pisang goreng yang ada di tangan ku. 

Hap! 

Ibu mertua bahkan belum sempat bersuara, pisang goreng terakhir sudah masuk ke dalam mulutku. 

"Hei! Tadi kau menawari ku, kenapa malah kau makan?" pekik Bu Jubaedah. 

Hati ku tergelitik geli, ingin rasanya aku tertawa. Namun, semua itu urung ku lakukan. "Bukankah hal itu juga yang Ibu lakukan pada Rayyan?"

"Apa maksudnya, Dev?" tanya Mas Yogi dengan mulut penuh makanan. Aku dengan santai mengunyah pisang goreng itu tanpa dosa, tak mengindahkan ibu mertua ku yang menatap sinis. 

"Ya, Rayyan pernah melihat Ibu dan anak Mba Yesi makan pisang goreng. Mereka melihat Rayyan, tapi alih-alih menawarinya. Mereka justru dengan sengaja menghabiskannya dengan cepat-"

"Bohong! Jangan fitnah kamu, Devi!" sergah Bu Jubaedah cepat.

Urat di wajahnya menegang, ditambah dengan mata melotot dan telunjuk teracung ke arah ku. 

"Jangan membuat cerita yang akan menimbulkan masalah, Devi. Mas mohon.." ujar Mas Yogi lirih. Ia sangat tahu, karakter ibunya itu. 

"Terserah Mas kalo gak percaya!" cetusku pada akhirnya. 

Aku beranjak dari tempat duduk dan berlalu pergi dari dapur, ini sudah jam setengah tujuh pagi. Saatnya aku kembali menjadi tukang ojek langganan kedua anakku. 

"Devi, jangan pergi!" cegah Mas Yogi kala kaki ku baru saja melangkah. "Apa lagi sih, Mas?"

"Mana sarapannya?" tanya Mas Yogi lagi. Aku bukan tak tahu apa maksudnya, tapi aku memang sengaja melakukannya. 

Aku memutar langkah, kembali ke arah meja dapur. Ku ulurkan tangan dan meraih sepiring nasi goreng yang ada di hadapan Mas Yogi. "Yang kau makan ini apa, Mas? Makanan 'kan?"

Mas Yogi melirik pada nasi goreng yang tengah ku angkat dan mengangguk. Kemudian aku kembali bersuara, "Lalu, sarapan apa lagi yang kau cari? Bahkan wadah nasi gorengnya aja udah kosong mlompong. Dan aku tau itu pasti ulahmu, 'kan?"

"Kamu ini, Dev! Orang buta juga tau kalo itu nasi goreng. Tapi Dev, apa iya cuma ini?" sangkal Mas Yogi lembut. Meski bernada lembut, tetap saja membuatku kesal. 

Aku tahu persis jika itu adalah akal-akalan dari Mas Yogi. "Ya, cuma itu, Mas!"

Tak ada jawaban lain yang ku berikan, sebab memang begitulah kenyataannya. 

"Tapi kan biasanya ada jatah untuk delapan orang, Dev." Dengan lugu, Mas Yogi mengatakan hal yang selama ini ku sesali. 

Perih, sakit, namun tak bisa ku ungkap lagi. Dulu, aku pasti akan memasak menu yang sama, jika Mas Yogi sudah mode seperti ini. Tapi tidak untuk kali ini. 

"Gak ada! Aku cuma bikin untuk empat porsi!" ketusku singkat. Ku yakin Mas Yogi tak akan percaya dengan perkataan ku ini. 

Benar saja, suara sendok yang di letakkan dengan kuat di atas piring, hingga menimbulkan bunyi riuh. "Jangan bercanda kamu, Dev!"

"Terserah!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status