Share

Maaf, Aku Memilih Mundur
Maaf, Aku Memilih Mundur
Penulis: Mami ice bear

Bab 1

Prak!

"Jadi mantu yang becus, dong! Udah jadi ibu gak beres, jadi istri juga bego, ini lagi ... Kamu mau ngeracunin aku sama Ibu, iya?!"

Aku menatap tempat makan berisi lauk yang baru mertuaku lempar di depan mataku. Ini bukan pertama kalinya ia marah-marah seperti ini. Dan kali ini, ia marah gara-gara ada potongan bawang putih yang tidak tergiling sempurna di sambal balado yang kubuat.

"Maaf, Bu. Devi gak teliti tadi," jawabku.

Sekilas, kulirik sambal balado yang berserakan di lantai. Itu pasti sudah tidak bisa dimakan lagi.

"Ah, sudahlah! Ibu udah gak berselera makan!" setelah itu, ibu mertuaku pergi begitu saja dari rumah.

Ya, kami memang tinggal terpisah, tapi jarak rumah kami tidak begitu jauh. Itulah kenapa ibu mertuaku selalu datang untuk meminta makanan, atau sekadar menyuruhku ini-itu.

Aku menghela napas, dan segera membereskan kekacauan itu sebelum Mas Yogi, suamiku, pulang kerja. Hari ini adalah hari gajian, jadi sebisa mungkin aku melayaninya dengan baik.

Pukul 6 sore, Mas Yogi pulang. Ia menghampiriku dan menyerahkan amplop cokelat. Seperti biasa.


"Dev, ini uang belanjanya, ya," ucap Mas Yogi.

"Makasih ya, Mas. Semoga lelahmu menjadi Lillah," jawabku sambil menyelipkan do'a baik untuk lelakiku. Kulihat Mas Yogi hanya mengangguk dan berlalu ke kamar mandi.

Namun, tak lama kemudian, suara Mas Yogi kembali terdengar, "Kalo lebih ditabung ya, Dev. bisa buat dana darurat nantinya."

Alisku bertaut, apa katanya tadi, lebih?

Uang yang Mas Yogi beri hanya satu juta lima ratus, dan dia bilang lebih. 

"Ibu bilang, dia udah belanjain kamu beras dan sabun untuk satu bulan. Mba Yessi juga selalu kasih kamu sayur mayur kalo dia habis terima transferan ..."

Oh! Jadi ini alasan Mas Yogi mengatakan soal uang bulanan yang lebih. Aku akhirnya memilih untuk mengiyakan saja ucapan Mas Yogi dan tak lagi mempermasalahkannya.

Hingga saat Mas Yogi masuk ke kamar mandi, suara notifikasi ponsel suamiku yang berulang kali mengalihkan fokusku yang sedang menyiapkan baju tidur miliknya.

(Transfer uang tunai sebesar dua juta telah berhasil)

Alisku bertaut heran, aku tak pernah tahu berapa gaji Mas Yogi. Aku pun tak pernah mempertanyakannya, tapi ini ...

(Terima kasih Yogi. Kamu memang adik yang baik!)

(Makasih transferannya, Nak. Nanti kalau kurang, Ibu minta lagi ya.)

Semua notifikasi pop up pesan itu hanya kubaca tanpa membukanya sama sekali. Yang jelas, aku tahu jika itu dari kakak ipar. Hingga sekarang aku mulai sadar, bahwa aku hanya mendapat sisa dari uang gaji suamiku.

****

"Devi, mana sarapan untukku?"

"Devi, mana baju kerjaku?"

"Devi, kenapa sepatuku belum disemir?"

Suara teriakan Mas Yoga terdengar melengking dan menggema di seluruh penjuru rumah. Aku yang tengah memandikan Roni hanya diam tak menjawab. Hingga akhirnya fokusku teralihkan.

"Devi! Apa kau tak mendengarku, hah?!"

Teriakan suamiku, Mas Yogi, kembali terdengar bedanya kali ini tak cuma suaranya saja, tapi berikut dengan orangnya yang berdiri dengan tangan berkacak pinggang di depan pintu kamar mandi. Nafasnya memburu seperti seseorang yang baru saja mengikuti lari marathon.

"Hufft," tak ada yang bisa ku lakukan selain menghembuskan nafas perlahan.

"Laki-laki ini benar-benar, apa dia tak bisa melihat? Atau matanya sudah tak berfungsi dengan baik?" Sebuah gerutuan akhirnya meluncur dari mulutku.

Namun aku terlupa jika Mas Yogi adalah seseorang yang peka pendengarannya, "Ngomong apa kamu barusan? Ngomong kok kaya orang kumur-kumur!"

"Ck! Kamu ini, Mas. Kamu liat sendiri kan aku lagi apa?" ucapku sembari menatap malas laki-laki yang sudah menghalalkan aku sebelas tahun lalu. "Pergilah cari sendiri apa yang kau butuhkan, tak perlu sampai berteriak seperti di kebon binatang!"

Masih dengan posisi yang sama Mas Yogi kembali bersuara, "Apa kau tak bisa menyediakan keperluan ku dulu? Baru mengurus si Roni?"

"Atau, tinggalkan saja dia di kamar mandi. Toh cuma sebentar saja!" imbuhnya.

Mataku seketika melotot. Enak sekali dia berkata, sedangkan jika terjadi sesuatu pada Roni, maka aku juga yang kena imbasnya. Dia mana peduli? Dasar Mas Yogi!

Namun meski begitu, aku sama sekali tak berniat untuk menjawab, biarlah laki-laki itu lelah mengoceh. Ku lanjutkan saja aktifitasku menyabuni tubuh Roni, anakku. Mulai hari ini, aku akan lebih memprioritaskan kedua jagoan kecilku. Jika bukan aku, maka tak akan ada lagi yang peduli pada mereka kecuali kedua orang tuaku.

"Aarrghh!" teriak Mas Yogi frustasi. Percuma, Mas! Sekeras apapun kau berteriak. Aku tetap tak memperdulikannya, meski kamu berteriak seratus kali sekalipun.

Selang lima menit setelah selesai mengurus Roni, kini aku pun mulai menyiapkan apa yang sejak tadi Mas Yogi ributkan. Sebelum akhirnya..

"Devi, sarapanku mana?"

Teriakan Mas Yogi kembali terdengar, hanya saja kali ini dari arah dapur. Apa dia benar-benar sedang menguji emosiku di pagi hari?

"Astaghfirullah.." gumamku sembari mengelus dada. Baru saja aku membuka mulut untuk menimpali, suara Mas Yogi kembali terdengar.

"Kopiku juga, kok dingin gini? Kamu bikin kopi panas atau es kopi sih sebenernya?"

Lagi, suara Mas Yogi memenuhi gendang telingaku.

"Apaan lagi sih!"

Aku tak lagi bisa menahan kesabaran. Dengan tangan yang masih memegang sepatu dan alat semir, aku berjalan cepat, menuju ke arah dimana Mas Yogi berada. "Kamu bisa liat ga sih, aku lagi apa?"

Ku sodorkan sepatu dan sikat semir ke hadapannya, matanya tampak berkilat, memancarkan kemarahan yang tak berkesudahan. "Kalo minta sesuatu itu satu-satu! Aku bukan dewa yang punya banyak tangan, tanganku cuma dua sama sepertimu!"

"Sarapan udah ada di meja, tinggal kamu ambil dan taruh piring, beres!"

"Kopi juga. Aku sudah membuatnya sejak tadi, tapi kamu justru sibuk dengan ponselmu itu! Jadi jangan salahkan aku jika kopi itu berubah jadi es! Masih untung jadi es, bukan jadi artefak! Karna terlalu lama kamu anggurin!" rentetan kalimat akhirnya ku layangkan, demi agar laki-laki itu berhenti berteriak.

Masih dengan wajah bersungut-sungut, aku kembali bersuara, "Dan satu lagi, Mas! Bisa ga sih gak usah teriak? Ini rumah, buka hutan! Kalo kamu mau teriak-teriak begitu, sonoh tinggal di hutan aja! Ganti namamu jadi Tarzan, aku rasa itu lebih cocok untukmu!"

Mas Yogi hanya diam membisu, namun dari ekspresi wajahnya aku tahu, jika dia terkejut karna aku bisa bicara seperti ini padanya. Sebab selama ini, seorang Devi dikenal sebagai istri yang penurut dan nrimo. Begitu kata simbah pemilik warung di ujung jalan.

"Tutup mulutmu itu, Mas! Awas kemasukan lalat ijo nanti!" tegur ku diiringi nada candaan ketika melihat mulut Mas Yogi yang terbuka.

Sontak Mas Yogi menutup mulutnya yang menganga itu dengan kedua tangan. Ku katupkan bibir rapat-rapat, agar jangan sampai terlihat jika tengah menertawakan dirinya. Bisa brabe urusannya nanti.

"Dev!" panggil Mas Yogi saat aku baru saja berbalik.

Membuat ku terpaksa kembali membalikkan badan menghadapnya. "Apa lagi?"

"Kopinya dingin, mana enak diminum?" keluh Mas Yogi dengan nada sendu. Syukurlah ia sudah tak lagi berteriak. Kalau begini kan adem rasanya telingaku ini.

Ku langkahkan kaki mendekati meja makan. Sikat sepatu yang ada di tangan kanan ku, kini ku masukkan ke dalam saku daster. Kemudian mengelap tangan dengan daster yang sama, yang tengah ku pakai. Setelah memastikan bersih, ku ulurkan tangan meraih segelas kopi milik Mas Yogi.

Slurrpp..

Kopi itu ku sruput, hingga tandas setengahnya. Setelahnya aku pun mengecap sisa kopi yang tertinggal di bibir. "Enak aja kok, gak ada bedanya. Gak mungkin juga kan berubah jadi tuak!"

"Hah?"

Aku tak lagi memperdulikan Mas Yogi, kakiku kembali mengayun, melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

"Bukan itu maksudku, Dev!"

Tangannya dengan cepat mencekal lengan kecilku. Membuatku terpaksa menghentikan langkah. Dengan bola mata berputar malas, ku tepis tangan Mas Yogi dengan kuat. Dan kembali berbalik menghadap suamiku itu.

"Terus? Kamu mau aku ngapain?"

Ku tatap mata Mas Yogi yang bergerak kesana kemari seperti orang kebingungan. Hingga akhirnya sebuah kalimat meluncur dari bibirnya, "Setidaknya, buatkan lagi kopi panas untukku. Kamu tau 'kan, kalo aku lebih suka kopi panas ketimbang-"

"Kalo udah tau lebih suka kopi panas, kenapa kamu anggurin itu kopi?" tanyaku, menyergah perkataan Mas Yogi yang belum selesai.

"Kopi dan gula tergeletak manis di meja dapur. Di sebelahnya ada termos air panas yang juga terisi penuh. Tanganmu juga ada dua, dan masih bisa berfungsi dengan benar. Lalu apa lagi masalahnya?" Kembali ku layangkan rentetan kalimat menohok yang berhasil membuat Mas Yogi terpaku.

"Kamu liat sendiri, aku lagi apa 'kan. Ini juga kamu yang suruh, dan sekarang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status