“Kamu akan menyesal berkata seperti itu, Gadis Kecil!” peringat Sean membalas tatapan Zia.
Bibir Zia langsung mengatup. Tatapan Sean dipenuhi curiga. Jari jemari Sean menyingkirkan helaian rambut yang menutupi gadis kecilnya.
“Kamu yakin dengan ucapanmu?” tanya Sean memastikannya, membuat detak jantung Zia makin berpacu cepat.
Zia hanya mengangguk. Ia tak tahu apa yang direncanakan lelaki di hadapannya, yang jelas Zia hanya meyakini satu hal. Dia tulus menyukai Sean. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
“Kalau begitu saya tidak akan melepaskanmu. Sekarang dan selamanya, kamu adalah milik saya!” ucap Sean dengan tatapan nakalnya.
Gadis itu mengangguk kembali. Ia benar-benar memasrahkan hidupnya pada lelaki di hadapannya. Sean menempelkan telunjuknya pada bibir lembutnya Zia lalu membelainya lembut, hingga membuat detak jantungnya berpacu makin cepat dan suhu tubu
“Gadis nakal!” seru Sean dengan tatapan penuh nafsu.Zia tersenyum tipis. Ia kira lelaki itu tak menyukai tindakannya. Sean memilih duduk dengan bertumpu pada kedua kakinya yang mengangkangi tubuh gadis kecilnya.Lelaki itu melepaskan kemejanya dan melemparnya secara sembarang pula. Kini ia hanya bertelanjang dada dan memilih melanjutkan kembali lumatan pada bibir Zia. Tangan gadis kecilnya menjalar meraba setiap inci dada bidang Sean dengan lembut. Sementara tangan Sean menyelusup ke belakang punggung Zia mencari resleting mini dress yang menutupi tubuh gadis kecilnya.Zia membusungkan dadanya dan sedikit mengangkat dadanya, memberi ruang agar lelaki itu bisa menurunkan resletingnya. Tetap, tanpa melepaskan tautan lidah keduanya, kedua tangan Sean menurunkan kedua lengan mini dress Zia dan menghentikannya di dada gadis kecilnya lalu menyudahi ciumannya lagi.Sean
“Apa? Kamu menyerah?” tanya Zia makin kesal.“Tentu saja tidak!” sahut Sean cepat.Tangan Sean langsung bergerak meraih pinggang Zia dan membawanya naik lalu memutar posisi mereka kembali. Tenaga lelaki itu terlalu besar, Zia tak sempat melawan. Wajah gadis kecilnya kembali memerah menenggelamkan rasa kesalnya.“Kamu berani memanggil nama lengkap saya, Zia Mustika!” serang Sean dengan tatapan nakalnya.Zia menggigit bibir bawahnya dan menurunkan pandangannya. Detak jantungnya berpacu makin cepat. Ia tak berani berpikir lebih jauh, apalagi menatap kedua netra Sean.Tangan kekar Sean meraih rambut gadis kecilnya dan mengumpulkannya ke atas kepalanya, kemudian menariknya paksa hingga gadis itu tersentak dan mendongakkan kepalanya hingga mengerang kesakitan. Zia refleks menatap wajah Sean.Lelaki itu tersenyum puas dan pe
Sean mengerutkan dahinya. Kemudian ia mencoba menahan diri untuk tak tertawa. Gadis kecilnya sepertinya memang sedang cemas.“Memangnya kalau kamu hamil kenapa?” tanya Sean seraya menyilangkan kedua tangannya di hadapan dada.Sayangnya wajah cemas Zia makin membuatnya terlihat menggemaskan. Kedua ujung bibir Sean mengkerut tak lagi bisa menahan dirinya untuk tak tertawa. Namun, Sean masih bisa menahan suaranya untuk tak mengeluarkan tawa.“Paman! Aku serius dengan pertanyaanku,” suara gadis kecilnya merajuk.Ya, Sean harus bisa menghilangkan rasa ingin tertawanya. Ia berdeham kecil untuk menyingkirkan perasaan tersebut. Gadis kecilnya benar-benar terlihat cemas dan mulai ketakutan.Sean menurunkan tubuhnya sembari memutar kursi Zia menghadap dirinya. Ia lalu berjongkok di hadapan gadis kecilnya yang masih duduk di kursinya. Tangan Sean meraih kedua t
Sean memutarkan kedua bola matanya. Gadis kecilnya kembali menundukkan wajahnya. Tak lama, tangannya merasakan satu tetes cairan bening yang berasal dari netra gadis kecilnya.“Paman pasti sudah tahu ‘kan pekerjaan ibuku? Aku bahagia sekali saat tuan Alan berkata menyukaiku dan ia tak peduli dari mana aku berasal, tapi bagaimana jika tuan Alan tahu kalau aku adalah anak dari seorang mucikari. Itu pasti akan menghancurkan nama baikmu dan juga nama baik keluargamu,” Zia berkata dengan terisak.“Maafkan aku, Paman. Aku egois dan tak tahu diri. Seharusnya aku berpikir panjang sebelum berkata menginginkanmu,” sesal Zia seraya menarik tangannya dari genggaman tangan Sean.Sean tertegun. Zia terdiam dengan air matanya yang semakin deras. Lelaki itu lalu meraih kembali dagu gadis kecilnya, tetapi gadis itu mengeraskan wajahnya.“Tuan Alan tidak akan tahu siapa ibumu
Sean memutarkan kedua bola matanya. Gadis kecilnya kembali menundukkan wajahnya. Tak lama, tangannya merasakan satu tetes cairan bening yang berasal dari netra gadis kecilnya.“Paman pasti sudah tahu ‘kan pekerjaan ibuku? Aku bahagia sekali saat tuan Alan berkata menyukaiku dan ia tak peduli dari mana aku berasal, tapi bagaimana jika tuan Alan tahu kalau aku adalah anak dari seorang mucikari. Itu pasti akan menghancurkan nama baikmu dan juga nama baik keluargamu,” Zia berkata dengan terisak.“Maafkan aku, Paman. Aku egois dan tak tahu diri. Seharusnya aku berpikir panjang sebelum berkata menginginkanmu,” sesal Zia seraya menarik tangannya dari genggaman tangan Sean.Sean tertegun. Zia terdiam dengan air matanya yang semakin deras. Lelaki itu lalu meraih kembali dagu gadis kecilnya, tetapi gadis itu mengeraskan wajahnya.“Tuan Alan tidak akan tahu siapa ibumu
Sean diam. Ia tak berani menjawabnya. Ia takut gadis kecilnya makin marah dan tak mau lagi mendengar penjelasannya.“Paman, jawab! Berapa banyak uang yang kamu berikan?” desak Zia sedikit meninggikan suaranya.“100.” “100? 100 apa? 100 dollars atau 100 juta? Tidak mungkin 100 ribu ‘kan?” tebaknya.Lelaki itu menaikkan pandangannya. Ia harus jujur dan memperbaiki segalanya. “100 juta rupiah,”Sean memberanikan diri menatap wajah gadis kecilnya. Zia tampak syok dan tak percaya. Gadis itu mengacak rambutnya frustasi. Ia sendiri belum pernah melihat uang sebanyak itu.“Kenapa kamu memberikannya, Paman?” suara Zia melemah. “Ya Tuhan! 100 juta rupiah itu bukanlah uang yang sedikit, Paman,”“Saya tidak punya pilihan lain, Gadis Kecil. Saya tidak ingin melihat kamu hidup dalam ketakutan dan kekecewaan,“ jelas Sean sungguh-sungguh.Zia kembali mengacak rambutnya frustasi. “Seharusnya kamu memberitahku kalau ibuku buat gaduh di rumah sakit. Aku bisa menenangkan ibuku tanpa harus memberinya uan
Sean membalas lumayan gadis kecilnya. Namun, baru saja lidah mereka bertaut keduanya langsung menghentikannya dan melepaskan ciuman mereka. Cacing di dalam perut Zia tak memberi restu. Keduanya tertawa kecil.“Aku makan dulu, Paman,” ucap Zia malu-malu.“Sepertinya begitu,” sahut Sean seraya memutar tubuh gadis kecilnya. “Kayaknya, mie instannya sudah mengembang. Mau saya buatkan yang baru?” tawarnya.“Nggak usah, Paman. Cacing dalam perutku udah nggak bisa nunggu,” jawab Zia masih sedikit malu-malu.Bagaimana bisa dirinya tidak malu. Cacing dalam perutnya mengganggu saat ia baru saja memulainya lagi. Entah mengapa ia menjadi lebih berani pada pamannya.Sean menemani gadis kecilnya melahap mie instan buatannya. Lelaki itu bahkan memangku dagunya menatap wajah Zia. Gadis itu yang baru saja memasukkan suapan pertamanya langsung tersip
“Kamu ibunya dari penulis Zia?” pertanyaan yang tertuju pada Resa hampir membuat wanita paruh baya itu tersentak.Resa menatap wanita muda yang berdiri di hadapannya dan memandangi wajah serta tubuhnya dengan tatapan mencibir. Tentu saja wanita paruh baya itu membalas tatapan wanita muda itu yang tak lain adalah Agnes. Tak berapa lama kedua bola mata Resa membulat sempurna, hingga ia harus menutupi mulutnya yang menganga saat menyadari sosok wanita muda di hadapannya.Benar. Setelah Agnes mendapatkan informasi tentang gadis yang disukai oleh Sean. Uang dan kekuasaan ayahnya membuatnya lebih mudah menemukan informasi tentang Zia.“Mbak ini Agnes Putri, model terkenal yang lagi kena skandal yah?” tebak Resa seraya menunjuk wajah wanita muda itu. Tak lama ia menatap Agnes dengan tatapan mencibir.“Lancang sekali mulutmu!” geram Agnes dengan tatapan tajam.Resa mendesis dan menatapnya nanar. “Mbak yang lancang! Apa tidak takut kalau ada wartawan yang memergoki kamu berada di rumah bordil.