“Nona Zia, lihat berita ini!”Hampir saja Zia terkejut. Piring di tangannya yang baru saja dibilas, hampir terlepas pula. Bi Asti berjalan cepat menuju ke arahnya. Gadis itu langsung mengeringkan tangannya dengan handuk putih di dekat pencucian piring.“Ada apa, Bi?” tanyanya penasaran.“Lihat ini, Nona!” Bi Asti menyodorkan ponsel miliknya.Gadis itu langsung menerimanya. Siaran langsung berita gosip yang terlampir pada layar ponsel bi Asti. Kedua bola mata Zia langsung membulat sempurna saat melihat timeline pada berita tersebut. Ia lalu menoleh pada wanita paruh baya di hadapannya.“Ini hanya gosip, Nona! Ini berita hoax. Nona Zia tahu sendiri ‘kan, tuan Sean tidak menyukai nona Agnes,” jelas bi Asti dengan hati-hati.Wajah Zia terlihat berpikir. Ingatannya langsung tertuju pada kejadian malam tad
Tak banyak yang mereka perbincangkan dengan pak Sadin. Zia dan lelaki paruh baya itu justru membincangkan ayahnya. Tentu saja, pak Sadin sangat mengenal ayahnya, Darul.Hingga tak terasa obrolan ringan mereka sudah mengantarkan Zia mendekat pada hotel Holfive. Gadis itu terlihat terkejut melihat banyaknya wartawan yang mengerumuni hotel milik Sean. Pasti Sean kesulitan keluar dari kejaran mereka, dan memutuskan untuk tidak pulang.“Sebagian dari mereka sudah pulang, Nona. Siang tadi bisa dua kali lipat jumlahnya,” ucap pak Sadin menyadari ekspresi melongo dan terkejutnya Zia. “Tapi ada untungnya sih. Seluruh hotel langsung penuh diisi beberapa dari wartawan yang pura-pura menjadi pengunjung hotel dan menanyai beberapa karyawan hotel.”“Sayangnya usaha mereka sia-sia. Semua pegawai hotel tak akan ada yang buka suara,” terang pak Sadin. Zia terkikih mendengar ucapan pak Sadin. Gadis itu kembali melongo, mobil yang dikemudikan pak Sadin justru berjalan melewati mesin parkir yang seharus
Suara ketukan pintu menghentikan lumatan hangat Sean dari bibir. Wajah langsung berubah cemas, sedangkan gadis kecilnya terlihat tegang, hingga ia refleks membuka matanya yang sedari terpejam menikmati lembutnya lidah Sean. Indera penglihatannya langsung menangkap wajah cemas lelaki tampan di hadapannya.Sean langsung meletakkan telunjuknya pada bibirnya. Isyarat agar Zia berdiam diri dan tak bertanya. Kemudian lelaki itu menggerakkan kedua bola matanya ke sebelah kanan. Itu juga isyarat agar gadis kecilnya bergeser ke arah tersebut.“Pelayanan kamar, Tuan,” ucap suara di balik pintu setelah ketukan pintu terdengar lagi.Tangan Sean merapikan piyamanya, memastikan tubuhnya terlindungi sebelum membuka pintu kamarnya. Seingatnya, ia tak meminta seseorang datang menemuinya. Tentu saja, ia sedikit cemas.Terlihat seorang pegawai wanita hotelnya dengan troli makan di sampingnya. Ya, Sean mengenali seragam pegawainya tengah tersenyum ramah padanya. Sean membaca nama tag pada baju tersebut,
Tubuh pelayan wanita itu langsung melorot turun dan bersimpuh di hadapan kaki Sean. Tubuhnya makin bergetar hebat hingga air matanya langsung tumpah membasahi wajah ketakutannya. Sean bahkan tak menunjukkan rasa iba dan segera bergerak menuju meja nakas di dekat pintu. Ia lalu meraih gagang telepon kabel di sana dan menekan sebuah angka sebelum berbicara.“Ampuni saya, Tuan! Saya tidak tahu apa-apa,” pelayan itu memohon belas kasihan dari Sean.Sean tak melirik pelayan wanita itu. Ia lalu menoleh pada Zia. “Gadis Kecil, kamu bisa mengawasi pelayan itu? Saya harus mengganti pakaian saya,” pintanya.“Tentu saja,” sahutnya diikuti senyuman tipisnya.Wajah Zia melemas. Rencananya menghibur pamannya berakhir dengan rasa kesal dan cemas. Ia tak menyangka karyawan Sean berkhianat, padahal lelaki itu sedang tersandung masalah. Gadis itu menatap pelayan wanita itu yang terus terisak menangisi nasibnya.“Berhentilah menangis! Tuan Sean pasti muak denganmu,” ketus Zia pada pelayan itu.“Nona, t
Sean mendesis kesal. Ucapan pelayan itu semakin membuat amarahnya memuncak. Bagaimana tidak, kehadirannya saja yang bisa memasuki ruangan rahasianya sudah membuatnya marah, ditambah membawa kamera pengintai. Kemudian sekarang pelayan itu berkilah dengan alasan yang membuatnya makin muak.Lelaki itu membawa tubuhnya bergerak turun ke bawah. Sean berjongkok menghadap pelayan wanita itu dan menatapnya tajam, penuh kebencian. Tangisan pelayan itu mendadak terhenti dan wajahnya langsung tertunduk menghadap lantai.“Tidak usah pura-pura tidak tahu, Nona! Membawa kamera pengintai saat bekerja saja itu adalah kesalahan besar, kamu bahkan berani memasuki ruang rahasia saya. Itu adalah kesalahan yang tak akan pernah bisa saya toleransi,” Sean memberikan penekanan pada setiap katanya. “Saya tidak peduli siapa orang yang berada di belakangmu dan seberapa kuat orang tersebut, hingga berani mengusik kehidupan saya. Katakan padanya, kalau
Wajah Zia tampak tak berdaya. Ia tak bisa mengartikan tatapan tajamnya Sean. Kemudian lelaki itu berjalan mendekat padanya dengan cepat.Tentu saja Zia refleks memundurkan langkah kakinya cepat. Ia yakin Sean sedang mencurigainya. “Pa—paman apa yang mau kamu lakukan?” gagap Zia hingga menghentikan langkah Sean.Tunggu! Sean menghentikan langkah kakinya bukan karena ucapan Zia, tetapi ia terhenti di samping paper bag yang dibawa gadis kecilnya. Lelaki itu lantas berbalik membelakangi Zia dan berjalan santai menuju sofa dengan menjinjing paper bag tersebut. Zia mengerutkan dahinya heran.“Paman?” tanyanya bingung.“Saya tidak mencurigaimu, hanya saja saya bingung denganmu,” jawab Sean seraya mengeluarkan isi paper bag tersebut. “Bingung kenapa?” tanya Zia mengikuti langkah pamannya dan duduk di sofa yang sama dengan Sean.“Kenapa kamu mengatakan pada dua penjaga keamanan tadi kalau kamu adalah penulis biografi saya? Padahal saya akan menjawab kalau kamu itu pacar saya,” jawab Sean sant
Tidak sia-sia pengalaman menulisnya, pikir Zia. Cerita romansanya dulu memang khayalannya saja dan beberapa hasil survei dan riset dari berbagai drama romantis. Ia sendiri tak menyangka kalau pemikirannya akan diterapkannya dan langsung berhasil.“Baiklah, saya percaya ucapanmu kalau kamu belum pernah mencium lelaki lain selain saya,” jawab Sean seraya kembali meraih kotak bekal yang ia jatuhkan tadi.“Kenapa bisa begitu?” Zia memasang wajah penasaran.Sean menoleh dan menatap lekat pada kedua netra gadis di sampingnya. “Karena saya juga belum pernah mencium gadis lain selain kamu,” jawabnya.Wajah Zia memerah. Sean langsung tersenyum menyadari gadis kecilnya tersipu malu. Ia lalu kembali fokus pada kotak bekal di tangannya dan membukanya.“Aku yang masak, Paman,” ucap Zia saat Sean sudah membuka kotak bekal pemberiannya. “Pas
Sontak saja wajah Zia langsung memerah bagaikan kepiting rebus. Tangan Zia refleks meraih bantal sofa di samping kanannya dan melayangkan pukulan pada Sean. Lelaki itu hanya tertawa dan tak melawan dari pukulan gadis kecilnya. Sean hanya melindungi wajahnya dengan tangannya. Pukulan Zia terhenti. Suara ketukan pada kamar tersebut kembali terdengar. Mereka berdua langsung bertukar pandang dengan tatapan cemas. “Saya pak Sadin, Tuan,” Suara dari balik pintu langsung membuat wajah keduanya berubah tenang. Sean langsung bergegas bangkit dari duduknya. Namun, lelaki itu memasang wajah heran. “Bagaimana pak Sadin bisa ke sini? Pasti saya tidak akan bisa istirahat,” keluhnya seraya berjalan menuju pintu. Ya, pak Sadin pasti akan langsung menindak masalah tersebut hingga tuntas. Bahkan asisten pribadinya lebih tegas darinya jika menyangkut keselamatan dirinya. Lelaki itu lantas memilih keluar dari kamar tersebut menemui pak Sadin. “Ada apa, Pak Sadin?” tanya Sean setelah ia menutup rapa