"Hei, kenapa?""Mas, maafin aku yang sudah egois." "Egois?" "Andai aku tak memintamu untuk menceraikan Mbak Rosa, pasti lah kalian tak akan berpisah. Aku dengar tadi Keysha pun masih menangis. Ia pasti sangat kehilangan mamanya, Mas." Mas Andra mengelus pucuk kepalaku, ditariknya aku ke dalam pelukannya. Isakanku semakin menjadi. "Sudah, jangan nangis. Ini semua bukan salahmu, Ning. Seandainya kamu tak memintaku untuk menceraikannya pun, aku pasti akan segera mengakhiri hubungan itu. Asal kamu tahu, cinta di hatiku untuknya sudah lah hilang." "Bukankah kamu dulu sangat mencintai Mbak Rosa? Bagaimana mungkin cinta itu bisa hilang dengan cepat, Mas?" "Memang, Ning." Aku tersenyum kecut. B*d*h! Kenapa juga harus cemburu saat Mas Andra mengiyakan ucapaku barusan? Mereka berdua menikah pasti karena saling mencintai. Beda dengan yang terjadi padaku dan Mas Andra. Semua karena perjodohan, dan keterpaksaan. Tak ada cinta dan kasih sayang di dalamnya saat awal mulai membina hubungan sak
"Ibu yakin, nggak mau ikut?" tanyaku lagi. Ibu bersikukuh untuk tak ikut ke kampungku. Kakinya sekarang sering sakit apabila menempuh perjalanan jauh, katanya. "Yakin, Ning. Kalian pergi lah, hati-hati di jalan. Ibu di sini kan banyak temannya." "Iya, Bu Nining, percayakan sama saya," ucap Desi padaku. Aku masih merasa risih ia memanggilku dengan sebutan ibu. Tapi jika tidak begitu, nanti bisa-bisa Bu Mega marah. "Ya sudah, kami berangkat ya, Bu. Hati-hati di rumah. Nanti Pak Jaidi akan di sini. Menjaga rumah," ucap Mas Andra. Pak jaidi adalah bekas satpam rumah ini. Sekarang posisi satpam kosong, entah kenapa Mas Andra ataupun Ibu tak mencari orang lagi semenjak Pak Ahmad memutuskan resign selepas aku dan Mas Andra menikah. "Dadah Oma, Key ke rumah Nenek dulu.""Iya, Sayang. Ingat, jangan merepotkan Nenek dan Kakek, ya?" "Siap, Nek." Kami pun pergi, meskipun berat, namun aku merasa senang karena akan menemui kedua orang tuaku. "Makasih ya, Mas, sudah mau ke kampung. Aku sene
Aku menutup mulut saat foto Mbak Rosa tersebar. Astaga! Apakah ini benar? Mbak Rosa, serendah inikah harga dirimu? Perlahan, rasa bersalah itu menguap begitu saja. Apa karena ini, dulu ia meninggalkan Mas Andra? "Kamu kenapa, Ning?"Suara Mas Andra mengejutkanku. Aku langsung mengurut dada, saking terkejutnya. Mas Andra langsung menghampiriku, ia mengusap tangan ini. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran. "Maaf, aku nggak bermaksud ngagetin kamu," ucap Mas Andra. Aku mengangguk, lalu memeluk tubuhnya. Baru kali ini, aku berani secara lebih dulu memeluk tubuh atletisnya. "Mas, apa dulu Mbak Rosa ninggalin kamu karena tergoda lelaki lain?" Mas Andra mendorong tubuhku pelan, hingga mata kami saling bersirobok. Ada keterkejutan di dua manik indahnya. Ah, jadi itu benar, Mas?"Dari mana kamu tahu?" tanya Mas Andra. "Nebak aja. Karena aku baru melihat berita tentangnya," jawabku. "Berita? Berita apa?" tanyanya, ada rasa penasaran yang kuat di pertanyaannya barusan. "Kamu penasaran bang
"Hah?" "Iya. Dia bersama dua orang lelaki dan satu perempuan. Nampak seperti dua pasangan yang sedang berkencan. Mas ikuti kemana mereka pergi. Untungnya, Rosa dan teman-temannya itu menginap di lantai satu, jadi Mas nggak perlu sampai bingung ketika mereka naik lift. Sampai di sana, Mas bingung. Harus dobrak, atau pergi saja? Di tengah kemelut, Mas mendengar suara tawa manja Rosa. Suami mana yang tak panas mendengar istrinya tertawa dan manja dengan lelaki lain? Akhirnya, Mas izin ke pegawai hotel buat labrak mereka. Mas nggak mau main dobrak aja karena Mas nggak mau dianggap sebagi biang ribut. Setelah diperbolehkan, Mas membawa dua pegawai hotel dan membantu mendobrak pintu itu. Sampai di dalam, Mas terkejut banget, Ning." Mas Andra menggantung ceritanya, dua maniknya nampak menerawang. Seolah tengah menggapai ingatan yang pasti amat sangat menyakitkan itu. "Mbak Rosa ada main dengan salah satu lelaki itu?" tebakku. Mas Andra menggeleng. Jika bukan karena itu, lalu apa? Apa ya
Kutajamkan lagi telinga, mencoba mencari dengar dari balik tembok. Kenapa Mas Andra menyebut nama Mbak Rosa? Apa yang sedang meneleponnya itu Mbak Rosa? Nyess...Tiba-tiba hatiku terasa perih memikirkan berbagai kemungkinan yang berkelibat di pikiranku. "Sudah lah, aku capek." Aku segera menyingkir ketika terdengar suara langkah kaki menghampiri. Kenapa Mas Andra seakan banyak misteri? Ah, apalah kamu ini, Ning? Suami sendiri pula kamu curigai. Mungkin, Mbak Rosa menghubungi Mas Andra meminta ingin bertemu dengan Keysha, kan? Atau jangan-jangan, ia meminta untuk kembali lagi ke rumah? Ah tidak mungkin. Mas Andra sudah memberi talak tiga padanya kemarin, dan aku percaya, suamiku itu tak mungkin mengkhianatiku. Mengingat bagaimana pun ia juga merupakan korban pengkhianat. "Ning?" "Eh, kamu habis dari mana, Mas? Kok nggak kelihatan?" tanyaku saat ia menghampiriku yang tengah memperhatikan Keysha dan Bapak. "Ada telepon dari kantor, Ning." "Oh, kantor, ya," lirihku. "Kenapa?" "
Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Ardi dan Meli, mantan kekasih serta mantan sahabatku dulu. Ya, dulu aku memang menjalin hubungan dengan Ardi, namun ternyata harus kandas karena Meli berhasil merebutnya. Nangis? Tentu. Aku gadis desa, menikah di umur sembilan belas tahun itu sangat lah wajar. Waktu itu sudah ada niat untuk menikah, pun pembicaraan Ardi dengan keluargaku. Nyatanya? Aku harus menelan pil pahit kekecewaan saat mendengar Ardi dan Meli menikah satu bulan kemudian karena Meli hamil duluan. "Eh, Meli, Ardi." "Ini, suamimu?" tanya Meli, tatapannya tak lepas dari suamiku. Aku mengangguk, lalu mengamit lengan Mas Andra. Belajar dari kesalahan. Aku memang sudah memaafkan Meli, tapi bukan berarti aku akan bisa kembali dibodohi."Anak kalian mana?" tanyaku, langsung pada inti. Mereka berdua menunduk, sementara Mas Andra menatapku. Ada apa dengan mereka? Bukankah dulu menikah karena hamil duluan? "Anak kami meninggal, Ning," jawab Ardi."Oh, begitu. Kenalkan, ini suami
"K-kino!" Bau alkohol menguar dari mulutnya. Astaghfirullah! Apakah ia tengah mabuk? Aku menatap ke sekitar, lalu memapah dia yang sepertinya teler menuju kamarnya. "Assalamu ... 'alaikum," ucap Mas Andra saat masuk ke dalam kamar. Ucapan salamnya terjeda karena melihatku yang tengah memapah adiknya. "Nining, apa yang kamu lakukan? Kalian bukan mahram!" ucap Mas Andra sambil menyingkirkanku dari samping Kino, sampai punggung ini menabrak lemari kaca. "Ma-maaf, Mas." Mas Andra hanya diam saja, lalu ia menggantikanku yang tadinya memapah Kino, masuk ke dalam kamarnya. Aku masih termenung, kenapa juga aku tak kepikiran tentang itu? Mas Andra keluar, raut wajahnya terlihat tak bersahabat. Ya Allah, apakah dia marah? "Mas!" panggilku, namun ia tak menghiraukannya dan naik ke atas. Kuikuti langkahnya, lalu terhenti saat Mas Andra justru menutup pintu dengan kencang. Tepat ketika aku sampai di depan pintu kamar. "Astaghfirullah," ucapku karena terkejut dengan suara pintu. Aku berdi
"Mas trauma melihat istri Mas bersama pria lain. Jangan sampai, kamu juga seperti Rosa. Rasanya Mas nggak sanggup kalau itu terjadi lagi, Ning. Mas mohon." Aku tersenyum. Lalu melepaskan tangan Mas Andra dan duduk di sampingnya. Kupegang erat tangannya, lalu mengusap pelan air mata itu. "Mas, nggak mungkin Nining mau begitu saja meninggalkan Mas Andra. Mas itu paket komplit," ucapku. "Kamu kira, Mas ini makanan?" ketusnya. Aku terkekeh. "Ibarat sebuah makanan, Mas itu adalah paket komplit. Ada bahan utamanya, bumbunya, minyaknya. Bahan utamanya, Mas baik, menjaga Nining dengan sepenuh hati. Bumbunya, Mas perhatian, peduli, dan juga pengertian. Minyaknya, Mas itu tampan dan juga kaya," ucapku. Mas Andra terkekeh, entah apa yang membuatnya tertawa seperti itu. Apa ada yang lucu? "Ning?" panggilnya. "Ya?""Sejak kapan kamu pandai menggombal?"Blush! Astaga, malunya! Tok-tok! "Ya?" "Bu, sarapan sudah siap. Ibu dan non Keysha sudah menunggu di meja makan," ucap Bik Minah. Asta