"Gak becus banget. Masak aja gak bisa. Apa sih kelebihan kamu di mata anak saya?" Airin membentak keras dan marah dengan kejamnya dihadapan suami dan Bi Asih selaku asisten rumah tangganya.
"Maaf ma....." Aku menunduk takut.
"Nyonya maaf, tadi saya yang lupa untuk ingatin non Claire angkat steaknya. Maaf Nyonya..." Bi Asih memelas iba kepada Airin.
"Ah sudah, sekarang kamu pesankan saya makan malam. Atau belikan saja langsung keluar sana...." Perintah Airin, entah itu untukku atau untuk Bi Asih dengan dentuman geprakan meja.
Namun, dengan sigapnya aja aku langsung mengeluarkan ponselku dari saku rokku, membuka layanan makanan online, dan mencari steak yang mertuaku ini inginkan.
"Ma, sebentar ya sedang dipesan....." Ucapku pelan.
***
Setelah kejadian sadis makan malam tadi, aku tidak melanjutkan makan malamku. Ku biarkan Airin dan Roger untuk makan, sementara aku kembali ke kamar. Aku menangis sejadinya, mengingat dari tadi menahan tangisku justru membuat dadaku sesak sendiri. Rasa kesal yang memuncak namun sama sekali tidak bisa diungkapkan adalah sakit yang luar biasa hebatnya.
Di tengah suara gerungku yang ku tutupi dengan bantal ini agar tidak terdengar keluar, ponselku berdering, ku lihat layar utamanya bertuliskan Randi.
"Sayang, aku baru sampai hotel nih. Kamu lagi ngapain?" Ia membuka layanan video call secara tiba-tiba.
"Kenapa video call?" Aku masih menahan untuk menerima panggilan video call tersebut.
"Ya karna aku kangen. Kan udah jadi suami kamu juga, boleh dong..."
Aku langsung buru-buru menghapus air mataku yang ada di pipi meskipun masih jelas terlihat mataku bengkak, langsung dengan sigap juga ku ambil kacamata yang sangat jarang ku pakai. Setelahnya barulah aku mengangkat telfonnya sembari membenahi rambut yang kusut pasca kekacauan di dalam rumah ini padahal baru beberapa jam ia tinggal.
"Tumben banget pakai kacamata....." Jelas saja mengundang pertanyaan, karena selama ini bisa dibilang aku hanya mengenakan kacamata beberapa kali saja setelah tangisku agar orang lain tidak melihat mataku yang bengkak, untungnya rahasia ini Randi tidak pernah tau.
"I...iyaaa lagi kepengen aja...." Jawabku dengan singkat.
"Sayang, are you ok?" Benar saja ia sudah curiga.
"Kenapa emangnya?"
"Kok layar ponselnya gak pas di wajah kamu, kamu nutupin apa?" Iya lantas bertanya hal yang tidak ingin aku jawab.
"Hmm, gak ada. Aku lagi gak dalam mood yang bagus aja untuk video call...." Jawabku.
"Meskipun dengan suami sendiri?" Ia bergidik. Alis matanya naik sebelah mendengar pernyataanku.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Mama barusan cerita, katanya kamu ada buat kesalahan. Benar sayang?"
Aku terdiam selang beberapa detik. Mendengar ucapan Randi yang sama sekali itu adalah alasan mataku kini bengkak, namun ia masih bertanya hal yang sama.
"Iya benar..." Aku sudah hilang mood. Bahkan sekedar melanjutkan obrolan ini aja aku sudah malas. Energiku sudah sangat terkuras karna ibunya.
"Kamu tuh bisa gak coba untuk ambil hati mama, sayang? Dia tuh aslinya pasti sayang sama kamu...."
"Gak bisa. Ran, udah ya, aku cape banget.." Aku langsung menutup ponselku.
Aku menangis mengerung tak tertahankan. Rasa cape, sakit hati, cemburu, semuanya terasa jadi satu. Satu-satunya pria yang aku harapin untuk mengertiku nyatanya tidak ada. Ia hanya terus menuntutku untuk mengambil hati ibunya, padahal sama sekali aku ditolak oleh keluarganya. Pria yang sedari awal meyakinkanku akan penerimaan itu, nyatanya sampai saat ini masih terus menuntutku untuk ikutin mau ibunya. Mungkin pria itu lupa, kalo tidak semua hal bisa aku turuti setelah usahaku dibuang sia-sia oleh ibunya.
***
"Pagi Bro.. Claire gak ikutan?" Sapaan pagi Arsy ini membuat Randi langsung berdiri dari bangkunya.
"Eh kenapa sampe berdiri gitu, Bro. Santai-santai...." Arsy menepuk bahu Randi.
"Oh e...enggak.. enggak. Kenapa emangnya, Bro?"
"Kenapa dia gak diajak?" Tambah Arsy menanyakan ketidakhadiran Claire disini.
"Ada keperluan di kantor jadi bagi tugas sama Catherine." Randi sudah enggan menanyakan lebih detail lagi.
"Agenda kita disini sampai kapan? Agendanya apa saja?" Arsy langsung duduk di hadapan Randi.
"Bukannya Claire sudah konfirmasi ke sekretaris lo ya?"
"Oh sudah? Gue lupa berarti. Ya udah deh, gue mau nelfon Claire dulu..." Arsy tersenyum tipis dan beranjak dari tempat duduknya.
"Lo harusnya nelfon sekretaris lo dong, kok malah nelfon sekretaris gue?" Randi meninggikan suaranya.
"Wait wait deh.... Lo naksir dengan Claire, Bro?" Arsy tertawa pelan melihat ekspresi Randi yang begitu serius.
Randi menunduk dan menghela nafasnya, selang 3 detik kemudian ia duduk kembali.
"Terserah lo deh..." Moodnya hancur pagi ini.
Melihat gelagat Randi yang begitu mencurigakan jelas saja Arsy tidak tinggal diam. Ia langsung beranjak dari menuju kamar penginapannya.
"Lisa, tolong kamu atur semua yang ada disini ya. Saya ada keperluan mendadak di Jakarta berkaitan dengan keluarga. Intinya kamu baca dulu semua term and conditionnya, kalo sesuai dengan pertemuan kita kemarin, langsung saja berikan cap saya. Hmm atau kamu kirimin dulu aja ke saya draftnya. Setelah sampai Jakarta saya respon..." Ucap Arsy melalui sambungan telepon.
Pagi itu juga ia langsung berangkat menuju bandara untuk terbang menemui Claire. Sebab nalurinya sebagai lelaki sudah tahu kalo sahabatnya ini juga menyukai Claire dengan jelas meskipun ia selalu menutupinya. Bagi Arsy, ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bersama dengan Claire di kondisi apapun.
***
"Halo Claire, sore ini bisa ketemu?" Terang saja, telfon dan pertanyaan langsung dari Arsy membuat jantungku berdegup kencang. Tanpa salam ia langsung mengucapkan hal seperti ini.
"Loh lo kan lagi di Bali? Sudah selesai acaranya?"
"Belum..."
"Terus?" Aku coba menerka nerka maksudnya.
"Aku mau nemuin kamu, ada yang mau aku bahas dan hal yang perlu kamu tau. Sekarang aku lagi perjalanan menuju bandara. Sampai ketemu sore nanti di tempat favorit kita ya Cle...." Ia langsung menutup sambungannya.
Aku jelas saja tidak bisa berkata apapun. Apa yang sedang ia rencanakan dan yang ingin ia katakan padahal acara yang ia hadiri disana adalah event terpenting untuk personal brandingnya. Sepenting itukah sampai dia harus meninggalkan acaranya?
***
Di tengah perjalanan menuju bandara, Arsy membuka tas kecilnya yang biasa sering ia bawa, terlihat sebuah kotak kecil merah yang begitu mengkilap didalamnya. Sudah jelas ini adalah kotak mahal yang masih menjadi misteri apa isinya. Perlahan dan dengan hati-hati, Ia membuka dengan pelan isi dari kotak tersebut.
"Claire, padahal gue mau menyatakannya di Bali, tempat yang paling romantis dengan hembusan angin kencang dan nyanyian deburan ombak seperti impian kamu dulu. Tapi kamunya malah gak hadir." Arsy mengusap kotak kecil tersebut.
"Claire, kamu dimana?" "Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam...." "Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini. "Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya . "Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini. "Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya. "Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." **** "Mau i
"Claire, kamu dimana?""Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam....""Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini."Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya ."Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini."Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya."Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." ****"Mau istirahat d
"Berantem hebat ya?" Asha seolah bisa membaca raut wajahku."Iya Mbak, biasalah..." Aku senyum tipis. Perasaanku amat tidak enak untuk menceritakan permasalahan ini dengannya, terlebih ia juga bagian dari keluarga Randi."Jujur, dulu selama ada di rumah suamiku ya sama kayak kamu juga. Apapun yang aku lakukan tuh gak disukain sama Airin, dia sebagai adik tapi ngatur, adu dombanya bukan main...." Asha menceritakan secara detail apa yang terjadi. Justru buatku diam tidak bergidik untuk menyimak apa yang terjadi."Ya menurutku, kamu akan terus seperti ini ya jika masih tinggal bersama Airin. Apalagi Randi putra tunggalnya, wah sudah pasti gak kebayang kamu makan hatinya gimana....." Ungkap Asha yang menaruh simpati kepadaku."Mbak......" Aku meneteskan air mataku, seolah ingin mengungkapkan semua yang aku rasakan setelah pernikahanku terjalin."Kamu bisa cerita kok sama aku. Karna kondisinya aku juga pernah ada diposisimu...." Asha coba menenang
"Non tapi ini kita mau kemana?" Sopir taxi ini juga bingung untuk mengarah kemana karna saat ini yang aku butuhin hanya menghindari Arsy terlebih dahulu."Tolong ke Jalan Cendrawasih aja Pak..." Balasku sembari seseklai menoleh ke arah belakang memastikan kalo Arsy sudah tidak mengikuti jejakku lagi."Baik Non.."Mobil melaju kencang, entah ini keputusan yang benar atau salah aku untuk mengasingkan diri terlebih dahulu di rumah tante Alexa. Meskipun aku tau akan terjadi kemarahan pada keluarga Randi dan mungkin juga Randi sendiri, tapi aku butuh sendiri saat ini.***"Assalamualaikum tante...." Beberapa kali ku mengetuk pintu namun masih belum ada jawaban.Aku melihat sekeliling rumah, tampak rumah ini begitu sepi.Ku coba mengambil ponsel di dalam tas tanganku, ku cari kontak yang bertuliskan Tante Alexa di dalamnya dan langsung saja aku menyentuh tanda hijau bergambar telfon.Dari sambungannya, terdengar berdering yang artiny
Degup jantungku berdetak cukup kencang. Tanganku gemetar, mulutku terkunci rapat, kakiku bahkan seolah mati rasa untuk bergerak sampai menapak di lantai bawah. Aku hanya bisa diam dan menatap bola mata Airin yang tepat berada dihadapanku."Iya, saya jamin hidup kamu sampai kamu tua asalkan kamu tinggalkan anak saya!" Kedua kalinya kalimat itu dilontarkan oleh bibir tipisnya yang berwarna merah tua."Cle, atur nafasmu, atur nafasmu...." Batinku sebab kini nafasku sudah tersengal-sengal."Gimana? Diam artinya kamu setuju kan?" Ia berdiri dan hendak memberiku sebuah amplop coklat."Di dalamnya sudah saya buat nominal cek yang akan bisa biayai hidup kamu. Kamu cuma perlu untuk tinggalin Randi dan hilang seperti ditelan bumi. Paham?" Ia menjulurkan tangannya lagi ke arahku."Ma, maaf aku gak bisa terima ini...." Seolah ada tenaga tambahan untukku menolaknya entah darimana.Aku menghalau tangannya yang berada di depan dadaku. Aku gak bisa nerima i
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya