Share

Part 15 Pulang

"Gak becus banget. Masak aja gak bisa. Apa sih kelebihan kamu di mata anak saya?" Airin membentak keras dan marah dengan kejamnya dihadapan suami dan Bi Asih selaku asisten rumah tangganya.

"Maaf ma....." Aku menunduk takut.

"Nyonya maaf, tadi saya yang lupa untuk ingatin non Claire angkat steaknya. Maaf Nyonya..." Bi Asih memelas iba kepada Airin.

"Ah sudah, sekarang kamu pesankan saya makan malam. Atau belikan saja langsung keluar sana...." Perintah Airin, entah itu untukku atau untuk Bi Asih dengan dentuman geprakan meja. 

Namun, dengan sigapnya aja aku langsung mengeluarkan ponselku dari saku rokku, membuka layanan makanan online, dan mencari steak yang mertuaku ini inginkan.

"Ma, sebentar ya sedang dipesan....." Ucapku pelan. 

***

Setelah kejadian sadis makan malam tadi, aku tidak melanjutkan makan malamku. Ku biarkan Airin dan Roger untuk makan, sementara aku kembali ke kamar. Aku menangis sejadinya, mengingat dari tadi menahan tangisku justru membuat dadaku sesak sendiri. Rasa kesal yang memuncak namun sama sekali tidak bisa diungkapkan adalah sakit yang luar biasa hebatnya.

Di tengah suara gerungku yang ku tutupi dengan bantal ini agar tidak terdengar keluar, ponselku berdering, ku lihat layar utamanya bertuliskan Randi.

"Sayang, aku baru sampai hotel nih. Kamu lagi ngapain?" Ia membuka layanan video call secara tiba-tiba.

"Kenapa video call?" Aku masih menahan untuk menerima panggilan video call tersebut.

"Ya karna aku kangen. Kan udah jadi suami kamu juga, boleh dong..." 

Aku langsung buru-buru menghapus air mataku yang ada di pipi meskipun masih jelas terlihat mataku bengkak, langsung dengan sigap juga ku ambil kacamata yang sangat jarang ku pakai. Setelahnya barulah aku mengangkat telfonnya sembari membenahi rambut yang kusut pasca kekacauan di dalam rumah ini padahal baru beberapa jam ia tinggal.

"Tumben banget pakai kacamata....." Jelas saja mengundang pertanyaan, karena selama ini bisa dibilang aku hanya mengenakan kacamata beberapa kali saja setelah tangisku agar orang lain tidak melihat mataku yang bengkak, untungnya rahasia ini Randi tidak pernah tau.

"I...iyaaa lagi kepengen aja...." Jawabku dengan singkat.

"Sayang, are you ok?" Benar saja ia sudah curiga.

"Kenapa emangnya?" 

"Kok layar ponselnya gak pas di wajah kamu, kamu nutupin apa?" Iya lantas bertanya hal yang tidak ingin aku jawab.

"Hmm, gak ada. Aku lagi gak dalam mood yang bagus aja untuk video call...." Jawabku.

"Meskipun dengan suami sendiri?" Ia bergidik. Alis matanya naik sebelah mendengar pernyataanku.

Aku hanya mengangguk pelan.

"Mama barusan cerita, katanya kamu ada buat kesalahan. Benar sayang?" 

Aku terdiam selang beberapa detik. Mendengar ucapan Randi yang sama sekali itu adalah alasan mataku kini bengkak, namun ia masih bertanya hal yang sama. 

"Iya benar..." Aku sudah hilang mood. Bahkan sekedar melanjutkan obrolan ini aja aku sudah malas. Energiku sudah sangat terkuras karna ibunya. 

"Kamu tuh bisa gak coba untuk ambil hati mama, sayang? Dia tuh aslinya pasti sayang sama kamu...." 

"Gak bisa. Ran, udah ya, aku cape banget.." Aku langsung menutup ponselku. 

Aku menangis mengerung tak tertahankan. Rasa cape, sakit hati, cemburu, semuanya terasa jadi satu. Satu-satunya pria yang aku harapin untuk mengertiku nyatanya tidak ada. Ia hanya terus menuntutku untuk mengambil hati ibunya, padahal sama sekali aku ditolak oleh keluarganya. Pria yang sedari awal meyakinkanku akan penerimaan itu, nyatanya sampai saat ini masih terus menuntutku untuk ikutin mau ibunya. Mungkin pria itu lupa, kalo tidak semua hal bisa aku turuti setelah usahaku dibuang sia-sia oleh ibunya.

***

"Pagi Bro.. Claire gak ikutan?" Sapaan pagi Arsy ini membuat Randi langsung berdiri dari bangkunya.

"Eh kenapa sampe berdiri gitu, Bro. Santai-santai...." Arsy menepuk bahu Randi.

"Oh e...enggak.. enggak. Kenapa emangnya, Bro?" 

"Kenapa dia gak diajak?" Tambah Arsy menanyakan ketidakhadiran Claire disini.

"Ada keperluan di kantor jadi bagi tugas sama Catherine." Randi sudah enggan menanyakan lebih detail lagi.

"Agenda kita disini sampai kapan? Agendanya apa saja?" Arsy langsung duduk di hadapan Randi.

"Bukannya Claire sudah konfirmasi ke sekretaris lo ya?" 

"Oh sudah? Gue lupa berarti. Ya udah deh, gue mau nelfon Claire dulu..." Arsy tersenyum tipis dan beranjak dari tempat duduknya. 

"Lo harusnya nelfon sekretaris lo dong, kok malah nelfon sekretaris gue?" Randi meninggikan suaranya.

"Wait wait deh.... Lo naksir dengan Claire, Bro?" Arsy tertawa pelan melihat ekspresi Randi yang begitu serius.

Randi menunduk dan menghela nafasnya, selang 3 detik kemudian ia duduk kembali.

"Terserah lo deh..." Moodnya hancur pagi ini.

Melihat gelagat Randi yang begitu mencurigakan jelas saja Arsy tidak tinggal diam. Ia langsung beranjak dari menuju kamar penginapannya.

"Lisa, tolong kamu atur semua yang ada disini ya. Saya ada keperluan mendadak di Jakarta berkaitan dengan keluarga. Intinya kamu baca dulu semua term and conditionnya, kalo sesuai dengan pertemuan kita kemarin, langsung saja berikan cap saya. Hmm atau kamu kirimin dulu aja ke saya draftnya. Setelah sampai Jakarta saya respon..." Ucap Arsy melalui sambungan telepon.

Pagi itu juga ia langsung berangkat menuju bandara untuk terbang menemui Claire. Sebab nalurinya sebagai lelaki sudah tahu kalo sahabatnya ini juga menyukai Claire dengan jelas meskipun ia selalu menutupinya. Bagi Arsy, ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bersama dengan Claire di kondisi apapun.

***

"Halo Claire, sore ini bisa ketemu?" Terang saja, telfon dan pertanyaan langsung dari Arsy membuat jantungku berdegup kencang. Tanpa salam ia langsung mengucapkan hal seperti ini.

"Loh lo kan lagi di Bali? Sudah selesai acaranya?" 

"Belum..."

"Terus?" Aku coba menerka nerka maksudnya.

"Aku mau nemuin kamu, ada yang mau aku bahas dan hal yang perlu kamu tau. Sekarang aku lagi perjalanan menuju bandara. Sampai ketemu sore nanti di tempat favorit kita ya Cle...." Ia langsung menutup sambungannya.

Aku jelas saja tidak bisa berkata apapun. Apa yang sedang ia rencanakan dan yang ingin ia katakan padahal acara yang ia hadiri disana adalah event terpenting untuk personal brandingnya. Sepenting itukah sampai dia harus meninggalkan acaranya?

***

Di tengah perjalanan menuju bandara, Arsy membuka tas kecilnya yang biasa sering ia bawa, terlihat sebuah kotak kecil merah yang begitu mengkilap didalamnya. Sudah jelas ini adalah kotak mahal yang masih menjadi misteri apa isinya. Perlahan dan dengan hati-hati, Ia membuka dengan pelan isi dari kotak tersebut.

"Claire, padahal gue mau menyatakannya di Bali, tempat yang paling romantis dengan hembusan angin kencang dan nyanyian deburan ombak seperti impian kamu dulu. Tapi kamunya malah gak hadir." Arsy mengusap kotak kecil tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status