Di sebuah desa di kalimantan ada beberapa ilmu hitam yang banyak digandrungi oleh para perempuan yang hendak memikat laki-laki atau menundukkan pandangan suaminya dari perempuan lain yang disebut dengan pirunduk. Ina salah satunya, ia telah lama mencintai adik iparnya sendiri hingga rasa cinta yang puluhan tahun dirasakannya itu benar-benar menggebu, membuat Ina mengambil jalan yang salah, dia mendatangi salah seorang dukun di tempatnya dan meminta mantra untuk mendapatkan hati adik iparnya itu dengan memberikan mantra pirunduk pada makanan adik iparnya.
View More"Kamu yakin sudah sembuh?" tanya Angga pada Galuh yang bersikeras minta pulang ke rumah. "Iya, Mas. Kita sudah sangat lama di sini, aku mau pulang. Kangen masak dan lain-lain." Angga berdecit pelan. "Baiklah, aku ngomong sama dokter dulu." Angga melenggang dari ruangan. Alif menyentuh tangan Galuh. "Ma," ucapnya. "Iya, Nak. Ada apa?" "Kita pulang ke rumah baru kan, bukan ke rumah yang itu?" tanya Lif dengan nada bicara sedikit tertekan. "Belum, sayang. Kita pulang ke rumah Tante Ina dulu, ya. In syaa Allah, sesegera mungkin kita pindah ke rumah baru kita." Galuh mengelus lembut kepala Alif. "Tapi, ma. Alif takut.." Setiap kali Alif mengatakan dia takut, Galuh selalu merasa tidak nyaman dengan nada bicara Alif. Angga sudah menegaskan pada Galuh jikalau Alif hanya mimpi buruk saja sehingga ia berubah jadi selalu ketakutan seperti ini. Namun, tak bisa dipungkiri jikalau Galuh juga merasakan hal yang sama dengan Alif, ada rasa tidak nyaman dan mengerikan di rumah i
Galuh kembali ke dunia di mana tak ada seorang pun selain dirinya dan perempuan yang ia yakini sebagai arwah Adah itu. Setelah berminggu-minggu ia mimpi hal seperti itu, untuk kali ini ia tak begitu takut lagi. "Acil, tolong bicara sama Galuh. Galuh mohon jangan pergi jauh dari Galuh," ucap Galuh meringis. Perempuan berbaju putih dengan rambut panjang itu menghentikan langkahnya. "Sudah kubilang, jauhi laki-laki itu!" ucapnya. "Laki-laki yang mana, cil? Kenapa? Acil belum jawab pertanyaan Galuh." "Galuh..!" "Galuh..!" Panggilan itu sungguh mengusik Galuh, seketika pula perempuan di hadapannya itu telah menghilang, lenyap bagai ditelan bumi. "Galuh!!" Cahaya gelap berganti dengan terangnya sinar lampu. Galuh telah dikerumuni oleh beberapa orang terdekatnya. "Aku di mana?" ucap Galuh gegas bangkit, namun ia tak bisa duduk dengan tegap. "Kamu jangan banyak gerak dulu, kamu istirahat aja ya!" ucap Ina yang berusaha merebahkan Galuh kembali. Peluh sudah memenuhi sekujur tubuh G
Galuh sedari tadi menunggu kedatangan Angga, dia berjanji setelah pulang dari kantor dia akan menggantikan Galuh untuk menjaga Alif. Namun, sudah lewat beberapa jam dari waktu pulang Angga, dia masih belum dayang jua. "Ya Allah, kenapa Mas Angga belum datang! Aku khawatir terjadi apa-apa dengan Mas Angga. Dari tadi, perasaanku nggak enak gini." Galuh bermonolog, dia tidak melepaskan gawainya sembari menunggu pesan ataupun panggilan telepon dari Angga. "Galuh," ucap seseorang yang baru saja membuka pintu. "Ridwan, ya Allah kamu ngagetin aja. Masuk!" Ridwan pun masuk ke dalam ruangan, perlahan kakinya melangkah menuju ranjang yang mana Alif terbaring sudah berhari-hari di atas sana. "Gimana keadaannya, Galuh? Apakah ada pertanda Alif siuman?" tanya Ridwan membelakangi Galuh. Galuh mendekat ke ranjang Alif. "Masih belum, Wan. Tapi Alhamdulillahnya, setelah aku kasih air doa dari paman kemarin, merah-merah di badan Alif sedikit berkurang.""Oh iya, Wan. Kamu ada lihat Mas Angga nda
"Paman, gimana keadaan Alif sekarang?" tanya Ridwan. "Maaf, kemarin Ka Ina nggak ada di rumah, jadi Ridwan harus jaga rumah." Amin terdiam sejenak. "Alif masih belum sadarkan diri, Wan. Badannya penuh dengan bintik merah." Nada Amin sangatlah pelan. Ridwan duduk di samping Amin, pula dengan perasaan yang tidak menyenangkan, kesedihan tentu membubuhi hati mereka. "Ya Allah, kalau gitu kita ke sana yuk paman. Ridwan belum ada jenguk Alif." "Paman ndak bisa, Wan. Angga sedang marah sama paman. Dia ndak bolehin paman ketemu sama Alif." Ridwan menepuk pelan paha Amin. "Kenapa lagi dengan si Angga itu. Bukannya sudah dibantu keluar dari jerat ilmu hitam itu, malah begini sikapnya pada paman." Ridwan sedikit naik pitam. "Sudahlah, Wan. Angga tidak percaya akan hal seperti itu. Paman mau minta tolong sama kamu untuk bawakan air doa buat Alif. Semoga dengan air doa ia bisa segera pulih dan penyakit anehnya itu segera hilang." "Baiklah paman." "Ingat, jangan sampai ketahuan oleh Angga!"
Angga duduk di taman rumah sakit, lampu menerangi gelapnya taman yang terhampar rumput. "Angga," panggil seseorang. Angga gegas menoleh dan seorang perempuan yang mengenakan long dress berwarna biru muda itu tersenyum, membuat Angga terdiam sejenak sembari menatapnya. "Ka Ina," ucap Angga gegas berdiri. "Kakak, ruangan Alif ada di nomor 7A, biar Angga antarkan!" "Tunggu sebentar, Angga!" Ina menarik tangan Angga. Angga menatap aluran tangannya yang dipegangi oleh Ina itu. "Kamu kenapa? Tadi aku perhatiin kayaknya kamu lagi banyak pikiran?" tanya Ina. Angga menelan salivanya, ia pun kembali duduk di bangku taman yang diikuti oleh Ina. "Ceritalah Angga, barangkali aku bisa bantu!""Aku kesal kak, kenapa semuanya selalu disangkut pautkan dengan hal mistis.""Paman Amin?" sela Ina dengan tatapan dalamnya pada Angga. Angga mengangkat kepalanya, tatapan keduanya saling beradu. Tak lam, Angga mengangguk membenarkan, tangannya menggenggam erat."Itulah, Angga. Namanya juga di desa, seg
"Mas, kamu kenapa?" tanya Galuh pada Angga yang sedang memegang kepala. "Nggak tau, kepalaku sakit banget!" Angga meremas rambutnya. "Mas, duduk dulu!" Galuh membantu Angga untuk duduk di sofa. "Galuh panggilin dokter ya, Mas," ucap Galuh gegas hendak beranjak, namun Angga menarik tangannya. "Nggak perlu, Sayang. Ini cuman sakit kepala biasa kok, aku mau tidur dulu ya sebentar, kamu jagain Alif." "Ya udah, Mas. Kamu tidur aja!" Galuh mengambilkan selimut dan menyelimuti tubuh Angga. Jam telah menunjukkan pukul dua belas malam, Galuh masih terjaga dan tidak hentinya membacakan tiap ayat qur'an di telinga Alif, berharap berkah Al-quran bisa menjadi as-syifa(penyembuh) bagi Alif. Namun, seiring berputarnya jarum jam, kantuk mulai menggerogoti pelupuk matanya. Galuh gegas meletakkan mushaf di atas nakas, kemudian ia merebahkan kepalanya di samping Alif. *** Isak tangis mengejutkan Galuh, ia masuk ke dalam lorong yang gelap tanpa ujung. Semakin jauh berjalan, semakin nyari
Angga pulang ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan, sedangkan Galuh menunggu Alif di rumah sakit. Galuh tak beranjak, ia menunggu Alif sembari membaca al-qur'an tepat di telinga Alif yang masih terbaring kaku. "Angga,"panggil Amin saat bertemu dengan Angga di jalan. Angga tersenyum simpul. "Paman," jawab Angga. "Mau kemana kamu bawa barang sebanyak ini?" tanya paman menyelidik barang bawaan Angga. Angga menghela nafas. Ia bingung harus bilang apa pada Amin tentang Alif. "Oh iya, gimana keadaan Alif sekarang, sudah sehat kan?" tanya Amin. Angga menggeleng. "Alif di rumah sakit paman, sudah lima hari ini Alif belum sadarkan diri." "Inna lillahi, kenapa kamu ndak bilang ke paman? Cepat, bawa aku ke sana sekarang!" "Maaf paman, kami ndak mau nambah pikiran paman. Mari, kita ke rumah sakit sekarang!" Amin pun naik ke atas motor Angga di boncengan belakang. Sedangkan Galuh di rumah sakit, sedari tadi ia merasakan angin dingin yang berhembus di lehernya. Ia juga mer
Galuh duduk lesu di bangku tunggu, badannya lemas tak berdaya setelah dokter mengatakan jikalau penyakit anaknya tidak diketahui oleh medis, dokter masih berusaha mencari tahu gejala apa yang sedang Alif alami dan Alif masih belum sadarkan diri, terbaring di ruangan inap. Ia kembali ditangani oleh dokter setelah kejang-kejang dan tubuhnya berwarna kemerahan. "Sayang, kamu istirahat dulu ya. Nanti kamu juga sakit," ucap Angga lembut. Galuh masih menatap kosong ke arah lantai. Tak ada gerakan dari bibirnya. Angga menggenggam tangan Galuh pelan. "Sayang, jangan gini. Ingat Allah, jangan putus asa!" Angga masih berusaha menguatkan istrinya. "Sakit!!!" teriak dari dalam ruangan yang membuat Angga dan Galuh terperangah. "Alif," ucap keduanya. "Mas, Alif Mas!" Galuh semakin khawatir mendengar teriakan Alif yang kesakitan. Begitu pun Angga, ia berusaha tegar namun batinnya tersiksa. Tiba-tiba penglihatan Galuh menguning, sekian detik semakin menggelap, dan brukkk.... Galuh pingsan di t
Malam hari dengan rembulan yang menyinari gelapnya bumi, tepat malam ke-15 yang mana bulan bersinar terang. Ina tengah mengendap-endap, menuju rumah Mbah Iwa. "Huhh, akhirnya..." "Ina," ucap mbah Iwa yang mengagetkan Ina. "Mbah, ngagetin aja!" "Kenapa kamu kemari lagi?" tanya mbah Iwa sembari berjalan menuju tempat duduknya yang diikuti oleh Ina. "Mbah, kenapa Angga kembali lagi pada jati dirinya? Bukannya kata mbah kalau aku berhasil kasih makam dia dengan pirundukku, Angga hanya akan mendengarkan ucapanku? Tapi, tadi pagi aku lihat dia mesra-mesraan sama Galuh, mbah." Mbah Iwa membuka penutup kendi keramatnya. "Kamu yang salah, Ina. Kamu tidak memenuhi persyaratan yang sudah aku katakan padamu." Ina menatap menyelidik. "Persyaratan mana yang tidak aku lakukan mbah?" nada bicara Ina merendah. "Bukannya aku sudah bilang untuk memberinya makanan yang kotor-kotor darimu," jelas mbah Iwa. Ina menyimak dengan seksama. "Iya, mbah. Sulit bagi Ina untuk melakukan persyarata
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.