“Jadi begitulah kejadiaan sebenarnya. Kami mohonn maaf tidak bisa melibatkan kalian semua lebih jauh karena masalah pelik seperti ini. Pastinya kami hanya ingin menyelesaikan masalah kita dengan baik. Kami juga meminta maaf atas ketidaknyamanan bekerja di Delmara Company akhir-akhir ini.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Ranesha bersama Juan dan Alexi serta Bryan menunduk dalam.
Meminta permohonan maaf sebesar-besarnya pada semua orang yang telah terlibat, bahkan ada yang menjadi korban perasaan. Telah terjadi kesenjangan sosial antara tim pengembangan yang baru dan tim pengembangan yang lama. Mereka jadi saling menjaga jarak, saling curiga, bahkan saling tatap saja yang ada hanya kesinisan semata.
Apakah ini adalah kebenarannya? Apakah masa-masa pelik itu sudah berakhir dengan seperti ini?
Maka, Reyhan, Sean, dan juga seluruh anggota tim pengembangan lain yang berada di sana bisa bernapas lega. Selama i
CUP.Satu kecupan yang Ranesha daratkan pada bibir Hail secara singkat. Kemudian disusul cepat dengan kceupan kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Perempuan ini tersenyum jahil, ia sengaja menggoda Hail.Apalagi posisi Ranesha yang berada di atas pangkuan Hail membuatnya semakin mudah untuk memancing pria tersebut, memberi hukuman yang tentu akan berbalik pada dirinya sendiri nanti. Ranesha tahu betul akan hal itu. Namun, ia tidak peduli. Mungkin saja ini bisa menjadi cara dia untuk mengikat Hail agar tetap berada di sisinya.Berdecak kesal, Hail memiringkan kepala, membuatnya tepat berada di sisi wajah Ranesha. Ia berbicik dengan napas yang panas di telinga sang sekretaris. “Ran … hah … this is to much. I can’t handel it anymore.”“Saya sedang memberi hukuman. Jadi Anda tidak mendapat izin apa-apa,” tolak Ranesha tanpa basa-basi dengan waj
Bukankah malam perlu siang untuk tetap saling berdampingan? Bukankah lautan butuh terumbu karang untuk menjadi sebuah keistimewaan? Bukankah pohon bergantung pada air agar bisa bertumbuh kembang?Begitulah sosok Hail bagi Ranesha, kemudian … bagi Hail sendiri, Ranesha bagai malaikat penolong yang menariknya dari kegelapan, dari jurang rasa sakit dan kesengsaraan. Orang yang rela terjun ke neraka demi membawa Hail keluar dari sana.Kedua orang ini sudah terikat begitu kuat. Hati mereka, perasaan mereka, sorot mata yang membara itu seakan mengatakan segalanya.“Ugh …,” desis Ranesha reflek, ketika Hail sudah membaringkannya di tempat tidur khusus yang berada di dalam ruang kerja sang CEO.“Say my name … Ran—hh,” pinta Hail tepat di telinga perempuan yang sudah ditindihnya ini. Tangan Hail bergerak lembut pada kedua paha Ranesha, membuka lebar
“Makan,” pinta seorang pria dengan rambut sedikit ikal yang pirang, mata biru malamnya bagai lautan samudera yang tenang, tapi tersirat kesan yang lumayan menakutkan di dalam sana. Aron menatap wanitanya dengan sendu, entah ingin menafsirkan apa dari ekspresi wajahnya yang rancu.Menunduk ketakutan, wanita bersuami di hadapan Aron sekarang mengambil dengan ragu piring berisi bubur hangat yang menggiurkan. Yah, setidaknya akan begitu kalau kondisi antara sepasang kekasih ini sedang baik-baik saja, masalah saat ini tidak begitu.“Kenapa hanya ditatap? Apa perlu aku suapi?” tanya Aron dengan suara dingin yang menusuk uluh hati. Ia tanpa basa-basi mengambil alih bubur tadi, menyendok sedikit lalu menyodorkannya ke mulut Meriel. Suasana di antara mereka berdua akhir-akhir ini memang sangat suram.“A-Aron … aku—”“Kau harus makan. Anakmu. Anakku.
“K-Kenapa Aron bertanya seperti itu?” sentak Meriel dengan wajah memerah karena menahan gejolak emosi yang ada, serta mata biru bak telaga yang kini telah berkaca-kaca. Tangan kecilnya mencengkram kuat sampai gemetaran selimut yang menutupi tubuh bagian bawah.“Apa? Memangnya aku bilang apa?” tanya Aron balik. Wajahya tetap datar bagai lantai yang ia pijaki ini.“Yang tadi! ‘Sekarang aku akan memberikanmu waktu. Terserah padamu. Kau akan memilihku atau suamimu itu’ apa maksud Aron mengatakan hal seperti itu?” geram Meriel setengah berteriak. Gila. Ia sudah merasa lelah hanya karena berbicara panjang dengan satu tarikan napas saja. Dada Meriel naik dan turun ketara.Aron memejamkan mata, berusaha untuk tetap sabar. Ia tidak boleh meledak, Aron juga tidak boleh membentak. Jadi … bagaimana cara pemuda ini meyampaikan rasa sakit hatinya agar Meriel mengerti?
“Kau cobalah kembali ke rumah suamimu dulu. Aku akan selalu menunggu jawabanmu.”Kalimat yang membuat Meriel kini berdiri di depan pintu rumah kediaman Delmara, meski hanya ada Hail seorang di dalam sana. Mungkin iya dan mungkin tidak. Siapa tahu ada sekretaris picik itu yang menemani Hail, kan? Perempuan jalang itu selalu berusaha mencuri kesempatan, ingin merebut Hail dari genggaman. Mereil jadi berang sendiri kalau memikirkan ini.Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. “Ranesha dari Keluarga Seibert, ya?” Meriel melihat jam di tangan. “Saat ini Hail pasti masih kerja.” Ia mengembuskan napas kesal. “Kenapa semua oraang jadi sangat merepotkan begini?” gerutunya lantas melangkah masuk.Kedatangan Meriel segera disambut oleh beberapa pelayan yang segera ia indahkan perihal bantuan apa pun. Meriel hanya ingin menyendiri di dalam kamarnya dan Hail. Ia akan menyusun r
PLAK!Mata Ranesha membulat lebar, pupilnya mengecil, sedangkan pipi kanan perempuan itu memerah. Terasa nyeri dan perih di bagian sana. Meriel menamparnya, wanita itu menampar Ranesha dengan sekuat tenaga, sangat keras.Sampai-sampai ada goresan kecil di pipi kanan Ranesha akibat tergesek oleh kuku panjang Meriel. Namun, malah sang pelaku kekerasan yang menangis. Membuat kening Ranesha berkerut dalam, ia tentu saja keheranan.“Apa katamu tadi? ‘Apa salahnya?’, hah? ‘dasar wanita tidak tahu diri’? kau lah yang telah merebut suamiku!” hardik Meriel murka. Ia kembali menggebrak meja kerja Ranehsa, menciptakan kebisingan yang untungnya tidak sampai kedengaran di luar sana.“Dasar tidak sopan!” tunjuk Meriel lagi dengan sengit saat mendapati Ranesha malah menatapnya nyalang, menyunggingkan senyuman yang terkesan meremehkan.
“Bisa berdiri?” Perhatian Hail masih tertuju pada Meriel yang meringkuk di dalam dekapannya.“Tidak tahu …,” rengek Meriel sambil menggelengkan kepala, semakin mengeratkan pelukannya pada Hail. Hangat. Meriel merasa candu dengan aroma maskulin suaminya ini. aroma yang tentu saja berbeda dengan milik Aron.Di balik pelukan Hail, Meriel masih bisa menatap Ranesha di belakang sana, ia tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Ranesha hanya dapat diam saja, menahan diri.“Tidak bisa. Kita harus ke rumah sakit.” Hail berujar pendek. Ia langsung berdiri sambil menggendong tubuh sang istri. Perlakuan seorang gentleman. Ranesha jadi iri. Ingin rasanya memaki saat ini, tapi keadaan genting tadi pasti membuat siapa saja akan salah paham. Ranesha bisa mengerti.Seperti apa pun ia berusaha meraih Hail, pria itu belum bebas dari masa lalunya—Meriel. Ranesha ti
“Kondisi kandungan Nyonya Meriel memang sangat lemah. Pasien dianjurkan banyak istirahat dan jangan gampang stres,” tutup seorang wanita dengan jas putih sebelum akhirnya keluar dari ruang VIP tersebut.Hail menghela napas dalam, memijat pelipis lalu kembali duduk di samping tempat tidur sang istri. Wanita bersurai pirang, berwajah manis dan lucu yang terkesan polos, apalagi mata biru yang memesona itu … kini tengah menghadap ke arahnya.Jakun Hail bergerak pelan. “Jadi … kenapa kau ke kantor?” Pertanyaan basa-basi yang memuakkan. Namun, Hail ingin memastikan satu hal. Andai saja … andai saja jawaban Meriel seperti yang ia harapkan selama ini. Apa yang akan Hail lakukan, ya?“Bukankah harusnya kau bersama orang itu?” tanya Hail lagi. Tangannya mulai mengepal, kepala pria ini terasa panas hanya dengan menyebutkan kata yang merujuk pada selingkuhan sang istri.