“K-Kenapa Aron bertanya seperti itu?” sentak Meriel dengan wajah memerah karena menahan gejolak emosi yang ada, serta mata biru bak telaga yang kini telah berkaca-kaca. Tangan kecilnya mencengkram kuat sampai gemetaran selimut yang menutupi tubuh bagian bawah.
“Apa? Memangnya aku bilang apa?” tanya Aron balik. Wajahya tetap datar bagai lantai yang ia pijaki ini.
“Yang tadi! ‘Sekarang aku akan memberikanmu waktu. Terserah padamu. Kau akan memilihku atau suamimu itu’ apa maksud Aron mengatakan hal seperti itu?” geram Meriel setengah berteriak. Gila. Ia sudah merasa lelah hanya karena berbicara panjang dengan satu tarikan napas saja. Dada Meriel naik dan turun ketara.
Aron memejamkan mata, berusaha untuk tetap sabar. Ia tidak boleh meledak, Aron juga tidak boleh membentak. Jadi … bagaimana cara pemuda ini meyampaikan rasa sakit hatinya agar Meriel mengerti?
“Kau cobalah kembali ke rumah suamimu dulu. Aku akan selalu menunggu jawabanmu.”Kalimat yang membuat Meriel kini berdiri di depan pintu rumah kediaman Delmara, meski hanya ada Hail seorang di dalam sana. Mungkin iya dan mungkin tidak. Siapa tahu ada sekretaris picik itu yang menemani Hail, kan? Perempuan jalang itu selalu berusaha mencuri kesempatan, ingin merebut Hail dari genggaman. Mereil jadi berang sendiri kalau memikirkan ini.Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. “Ranesha dari Keluarga Seibert, ya?” Meriel melihat jam di tangan. “Saat ini Hail pasti masih kerja.” Ia mengembuskan napas kesal. “Kenapa semua oraang jadi sangat merepotkan begini?” gerutunya lantas melangkah masuk.Kedatangan Meriel segera disambut oleh beberapa pelayan yang segera ia indahkan perihal bantuan apa pun. Meriel hanya ingin menyendiri di dalam kamarnya dan Hail. Ia akan menyusun r
PLAK!Mata Ranesha membulat lebar, pupilnya mengecil, sedangkan pipi kanan perempuan itu memerah. Terasa nyeri dan perih di bagian sana. Meriel menamparnya, wanita itu menampar Ranesha dengan sekuat tenaga, sangat keras.Sampai-sampai ada goresan kecil di pipi kanan Ranesha akibat tergesek oleh kuku panjang Meriel. Namun, malah sang pelaku kekerasan yang menangis. Membuat kening Ranesha berkerut dalam, ia tentu saja keheranan.“Apa katamu tadi? ‘Apa salahnya?’, hah? ‘dasar wanita tidak tahu diri’? kau lah yang telah merebut suamiku!” hardik Meriel murka. Ia kembali menggebrak meja kerja Ranehsa, menciptakan kebisingan yang untungnya tidak sampai kedengaran di luar sana.“Dasar tidak sopan!” tunjuk Meriel lagi dengan sengit saat mendapati Ranesha malah menatapnya nyalang, menyunggingkan senyuman yang terkesan meremehkan.
“Bisa berdiri?” Perhatian Hail masih tertuju pada Meriel yang meringkuk di dalam dekapannya.“Tidak tahu …,” rengek Meriel sambil menggelengkan kepala, semakin mengeratkan pelukannya pada Hail. Hangat. Meriel merasa candu dengan aroma maskulin suaminya ini. aroma yang tentu saja berbeda dengan milik Aron.Di balik pelukan Hail, Meriel masih bisa menatap Ranesha di belakang sana, ia tersenyum penuh kemenangan, sedangkan Ranesha hanya dapat diam saja, menahan diri.“Tidak bisa. Kita harus ke rumah sakit.” Hail berujar pendek. Ia langsung berdiri sambil menggendong tubuh sang istri. Perlakuan seorang gentleman. Ranesha jadi iri. Ingin rasanya memaki saat ini, tapi keadaan genting tadi pasti membuat siapa saja akan salah paham. Ranesha bisa mengerti.Seperti apa pun ia berusaha meraih Hail, pria itu belum bebas dari masa lalunya—Meriel. Ranesha ti
“Kondisi kandungan Nyonya Meriel memang sangat lemah. Pasien dianjurkan banyak istirahat dan jangan gampang stres,” tutup seorang wanita dengan jas putih sebelum akhirnya keluar dari ruang VIP tersebut.Hail menghela napas dalam, memijat pelipis lalu kembali duduk di samping tempat tidur sang istri. Wanita bersurai pirang, berwajah manis dan lucu yang terkesan polos, apalagi mata biru yang memesona itu … kini tengah menghadap ke arahnya.Jakun Hail bergerak pelan. “Jadi … kenapa kau ke kantor?” Pertanyaan basa-basi yang memuakkan. Namun, Hail ingin memastikan satu hal. Andai saja … andai saja jawaban Meriel seperti yang ia harapkan selama ini. Apa yang akan Hail lakukan, ya?“Bukankah harusnya kau bersama orang itu?” tanya Hail lagi. Tangannya mulai mengepal, kepala pria ini terasa panas hanya dengan menyebutkan kata yang merujuk pada selingkuhan sang istri.
Langit seakan mengerti akan perasaan Ranesha kini. Sang sekretaris cantik yang hatinya sedang terluka. Semua pekerjaan Ranesha selesaiakn dengan sangat cepat—karena tercampur emosi juga. Dan sekarang, hari sudah menjajaki malam, cahaya rembulan tidak ada. Bintang-bintang pun menghilang.“Tiba-tiba mendung, ya? Sangat mendukung.” Bagusnya Ranesha tidak menangis lagi. Lebih tepat kalau dikata bahwa air matanya sudah kering.“Hail keparat. Sialan. Kurang ajar. Keterlaluan! Brengsek!” maki Ranesha sambil berjalan dari parkiran. Ia sudah berada di kediaman Keluarga Seibert, rumahnya, dan tempat tinggalnya yang sudah mulai nyaman.“Allen, apa Ayah ada?” tanya Ranesha ketika kedatangannya di sambut oleh sang kepala pelayan.Namun, pria tersebut menjawab dengan gelengan pelan, lalu tersenyum ramah. “Apa terjadi sesuatu, Nona Muda?”Ha
“Jadi istri saya akan tidur cukup lama, ‘kan?” tanya Hail memastikan, kini dirinya sedang berbincang ringan dengan salah seorang dokter kepercayaan.“Iya. Apa Anda ada keperluan lain yang sangat mendesak? Tidak apa-apa, saya dan para perawat bisa menjaga istri Anda, Pak,” tawar sang dokter dengan diakhiri senyuman bisnis.Hail mengangguk setuju. “Tolong buat alasan apa saja yang sekiranya mustahil untuk dia menghubungi apalagi menyusul saya,” tukas pria tersebut. Ia paham betul isi kepala Meriel, jadi dirinya harus menyiapkan tameng untuk jaga-jaga saja, sebagai antisipasi belaka.“Baik, akan saya lakukan.”“Terima kasih, Dokter.”“Terima kasih kembali, Pak Hail.”“Kalau begitu saya pamit undur diri dulu.”“Silakan. Semoga segala urusan Anda da
“Aku sudah memutuskan untuk memilihmu, Ran,” tegas Hail lagi ketika tidak mendapat respon apa-apa dari Ranesha. Dadanya terasa sesak karena pasokan okisgen di ruangan seolah masih kurang dan semakin menipis.Hail gugup. Hail takut. Hail sangat berharap ia tidak terlambat untuk menjelaskan. Pria ini sudah bulat dalam mengambil keputusan. Bahkan jika bayi di dalam janin Meriel sungguh anaknya … dia tidak yakin bisa hidup bahagia kalau tidak bersama Ranesha.Hail berniat untuk mengajak Ranesha tinggal bersama, membesarkan bayi itu kelak. Jika ia bisa memenangkan hak asuhnya. Jika tidak, Hail akan berkunjung secara ruitn dan mengadakan perjanjian dengan Meriel. Lagi pula, Hail yakin Ranesha tidak akan mempermasalahkan anaknya. Karena Hail tahu sendiri dan perempuan ini … sangatlah baik hati.“Katakan … ugh.” Ranesha menuduk dalam, kedua bahunya yang masih Hail pegang tampak gemeta
Hujan. Hari tidak hanya mendung lagi, akan tetapi sudah mulai menumpahkan segala isinya. Bahkan kali ini bersama dengan kilat dan petir yang disertai guntur juga. Seakan langit tengah bersaksi untuk mewakili hati salah seorang hamba Tuhan di dalam ruang VIP dari salah satu rumah sakit ini.“Jadi … begitu, ya,” respon Meriel sambil menggigit jari. Di sebelah sana ada seorang pengawal berbadan kurus tinggi dengan pakaian bebas rapi dan juga memakai masker serta topi. Ia diberikan tugas sedang menyamar kini.“Benar, Nyonya. Tuan Hail saat ini sedang bersama dengan Nona Ranesha Seibert dan … berdasarkan pengamatan saya. Tuan Hail akan memilih Nona Ranesha Seibert dari pada Anda, Nyonya. Mungkin Tuan Hail hanya pura-pura saat itu atau bisa jadi … beliau sangat kaget saat melihat Nyonya Meriel tiba-tiba kesakitan.” Pengawal tadi menjelaskan kembali. Iris mata yang tegas itu tidak menyiratkan barang seti